Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsudin
Haris, mengkritik maraknya penggunaan sentimen suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) untuk kampanye hitam guna menjatuhkan lawan
politik. Menurut dia, tindakan itu hanya membuat bangsa ini jalan di
tempat.
“Sangat disayangkan bahwa kompetisi pilpres bukannya mengadu gagasan tapi mengadu asal usul,” katanya kepada Tempo pada Kamis (5/6/2014).
Ia
menanggapi kampanye hitam terhadap calon presiden Joko Widodo yang tak
kunjung reda sampai masa kampanye hari kedua. Isu SARA yang ditembakkan
kepada Jokowi di antarnya dikabarkan keturunan Cina, beragama Kristen,
dan berpihak kepada nonmuslim.Kepala
Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI ini mengatakan penggunaan isu
kebencian terkait dengan SARA membodohi rakyat. Alasannya, isu itu tak
relevan dengan syarat calon presiden dan wakil presiden. Berdasarkan
konstitusi dan undang-undang, tak ada syarat yang berkaitan dengan latar
belakang SARA tadi.
Masalah lainnya, menurut Syamsudin,
kampanye hitam dengan isu SARA akan membuat suasana pemilihan umum
menjadi panas lantaran masyarakat terprovokasi. Kualitas pemilihan umum
juga akan rendah. “Yang harus kita usung itu lebih ke kapasitasnya,
pemimpin yang punya konsep yang jelas, bukan latar belakangnya."
Meski
diserang dengan isu SARA, tutur Syamsudin, elektabilitas Jokowi
berdasarkan hasil survei sementara ini masih lebih tinggi ketimbang
pesaingnya, Prabowo Subianto. [tempo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar