Peneliti Senior Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan pendekatan panggung melalui orasi kerap membungkus banyak kebohongan dan klaim-klaim yang tidak terkonfirmasi. Menurutnya, tipu daya orator dengan kepiawaiannya berpidato jelas akan membodohi pendengar.
Pernyataan ini disampaikan Lucius menanggapi polemik yang membandingkan gaya berpidato Prabowo Subianto dengan Joko Widodo.
Dari cara berpidato, Jokowi dianggap tak layak jadi presiden karena kalah hebat dibanding Prabowo.
Lucius mengatakan penilaian ini tentu menyesatkan. Kata dia, kemampuan seorang pemimpin tidak biasa diukur dari cara orasi saja. Apalagi, opini tak pandai berpidato sengaja digiring oleh lawan politik dengan tujuan menjatuhkan.
"Penilaian itu menyesatkan. Kemampuan seorang pemimpin tak bisa hanya dinilai dari kepiawaian berorasi. Masyarakat tak butuh pemimpin yang hanya pandai orasi tapi tak mampu bekerja," kata Lucius di Jakarta, Kamis (5/6).
Dijelaskan Lucius, pandangan yang hanya melihat kemampuan calon pemimpin berdasarkan cara berbicara di hadapan publik merupakan bentuk sikap yang merendahkan demokrasi. Lagipula, Jokowi dari awal menegaskan bahwa dirinya tak pandai berpidato dan lebih menunjukkan kepada masyarakat hasil kerja nyata yang teruji.
"Jokowi dikenal karena karakter personal yang bersahaja, pekerja keras yang tidak banyak berorasi dengan teori yang rumit dan ilmiah macam-macam. Apa untungnya bagi masyarakat kalau cuma ngomong aja," tegas Lucius.
Dia pun menyarankan untuk menghentikan polemik soal pidato tersebut, lebih baik kemampuan calon pemimpin ini dilihat rekam jejak dari pasangan calon, Prabowo-Hatta Radjasa dan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Sebab, track record akan membongkar jati diri masing-masing calon.
Lucius berharap Jokowi tak perlu sibuk dengan debat tak penting soal kemampuan berpidato. Panggung orasi dan kampanye, kata dia jelas bukan tempat untuk menguji kapasitas Jokowi. [jpnn]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar