Jumat, 28 Juni 2013

Jokowi Tak Beri Komentar Soal HUT Ahok

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mengaku tak tahu wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), akan genap berusia 47 tahun pada Sabtu (29/6/2013).
"Enggak tahu tuh," kata Jokowi, sambil mengangkat bahu dan tangannya, di Monas, Jakarta, Jumat (28/6/2013) malam.
Jokowi kemudian hanya tertawa, ketika ditanya apakah Basuki akan menghindari wartawan, seperti Jokowi, yang menghindari wartawan ketika berulang tahun pada 21 Juni 2013.
Ketika Jokowi berulang tahun, sejumlah wartawan menyiapkan kejutan di Balaikota. Namun, Jokowi sama sekali tak muncul di Balaikota. Seharian itu, Jokowi mengunjungi Kepulauan Seribu.
Sementara itu, Basuki sendiri mengaku tak menyiapkan apa pun berkaitan dengan hari ulang tahunnya. Menurut Basuki, pada Sabtu (29/6/2013), ia akan menggantikan Jokowi menghadiri sebuah acara untuk anak-anak dan setelahnya pergi ke dokter gigi langganannya.
 
Sumber :
kompas.com

Jokowi Komentari Ariah

Pagelaran drama musikal "Ariah", di Monumen Nasional, Jumat (28/6/2013), dinilai bagus oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) . Jokowi berterima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyelenggaraan pertunjukan itu.
Drama musikal Ariah bercerita tentang seorang perempuan Betawi yang berjuang mempertahankan martabat dan kehormatannya. Sejumlah tokoh yang terlibat dalam pertunjukan ini antara lain Atilah Soeryadjaya (sutradara dan penulis naskah), Jay Subiakto (penata artistik), dan Erwin Gutawa (penata musik).
Pertunjukan ini diselenggarakan untuk memeriahkan HUT ke-486 DKI Jakarta dan akan dilaksanakan selama tiga hari, yang mulai dari Jumat (28/6/2013).
 "Bagus sekali, karena mengangkat nilai-nilai perjuangan, dan digarap dengan manajemen yang baik, penontonnya juga rapi. Pokoknya semuanya bagus," kata Jokowi, di Monumen Nasional, Jakarta, Jumat (28/6/2013) malam.
"Ya, tahun depan diselenggarakan dengan tema berbeda-beda lagi," saran Jokowi.


Jokowi Kawal Mega Nonton Ariah

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) malam ini menonton sendra tari Ariah di Monas. Jokowi tiba di Silang Monas sekitar pukul 19.30 WIB bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri dan Puan Maharani. Jokowi mengantarkan keduanya duduk di kursi VIP tamu undangan.
Ada pemandangan menarik usai Jokowi mengantarkan Mega dan Puan di kursi penonton. Dia berkeliling di sekitar lokasi pertunjukan yang bertarif Rp 2.000,-
Di pintu masuk menuju tempat pertunjukan. Jokowi mempersilakan orang-orang yang berkumpul di depan pintu masuk pertunjukan untuk masuk dengan gratis. Selesai mengajak masyarakat untuk masuk ke area pertunjukan, Jokowi langsung menuju ke area penonton, tidak menuju kursi tamu dimana Mega dan Puan duduk.
"Lha wong kalau saya nonton dimana-mana lesehan," ujar Jokowi sambil berjalan menuju kerumunan penonton. Kehadiran Jokowi menjadi perhatian masyarakat yang ada di sekitar lokasi pertunjukan, warga menyalami dan seperti biasa "acara foto bersama Jokowi" pun dimulai.


Pengamat: Jokowi Populer Tapi Jadul

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) memang populer dan melakukan sejumlah “gebrakan” seperti blusukan, lelang jabatan lurah dan camat, menerbitkan Kartu Jakarta Sehat, merombak model hunian di rumah susun, dan pengerukan Waduk Pluit Jakarta Utara.
Walau tampak populis, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte menilai gaya kepemimpinan Jokowi masih menggunakan model lama (jadul), seperti para gubernur sebelumnya dan pejabat publik lainnya: patron-klien “Hanya dikemas dengan cara yang berbeda” kata kata Philips, pekan lalu.
Menurut dia, Jokowi memposisikan diri layaknya “hero” yang mampu menyelesaikan semua masalah di Ibu Kota. “Dia masih sedikit membuat jarak antara pemimpin dan rakyat," ujarnya. Philip menjelaskan gaya kepemimpinan ini mengibaratkan bahwa pemimpin selalu bisa menyelesaikan masalah masyarakat.
Philip mencontohkan dengan program Kartu Jakarta Sehat. Banyak warga sakit kemudian Jokowi datang dan langsung mencetuskan KJS sehingga warga bisa berobat dengan gratis. "Ibaratnya ini ada masalah dan saya ada solusi," kata Philip. Langkah seperti ini, kata dia, kesannya hanya meredam gejolak di masyarakat.
Jokowi dinilai dalam program ini tidak melihat bagaimana sistem bekerja yang mengikuti program kebijakan ini. Dalam bidang perumahan juga diperlakukan hal serupa.
Seharusnya Jokowi, Philip melanjutkan, bisa memimpin dengan model yang "lebih dari sekedar Jokowi." Sederhananya, menurut dia, Jokowi bisa mengajak elemen lain di masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Jokowi perlu menjadi pemimpin yang menggerakan dan menginspirasi masyarakat untuk mengerakkan berbagai kelompok masyarakat. “Misal dalam kasus KJS mengajak Ikatan Dokter Indonesia," ujarnya.
Langkah semacam ini, menurut Philip, sebenarnya bagus. “Apa lagi gaya komunikasi Jokowi pas dalam menyampaikan ke masyarakat.”


Sumber :
tempo.co

Jokowi Diminta Benahi Armada PPD

Pengamat transportasi publik, Yayat Supriyana mengatakan, menaikan harga BBM tanpa persiapan regulasi yang memadai terhadap efek ekonomi dan psikologi dari kenaikan harga BBM tersebut akan memperburuk sektor pelayanan publik.
"Salah satu sektor yang rentan terhadap efek ini adalah layanan transportasi publik. Harga BBM naik, telah mendorong kinerja angkutan publik semakin buruk," kata Yayat Supriyana, dalam diskusi "Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Angkutan Umum di Daerah", di gedung DPD, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Jumat (28/6/2013).
Muara dari semakin buruknya pelayanan sektor angkutan publik ini, lanjut Yayat, akan semakin banyaknya kecelakaan terjadi dan rasa aman serta nyaman dalam transportasi publik dengan sendirinya tidak lagi jadi acuan.
Selain itu dia juga menjelaskan kenaikan harga BBM tanpa diikuti oleh peningkatan kualitas angkutan publik akan mendorong terjadi penurunan kualitas hidup masyarakat. "Yang terjadi itu justru makin bertambahnya orang miskin," tegas Yayat Supriyana.
Dia juga mengkritisi sikap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) yang hanya mensubsidi bus way sementara angkotan kota lainnya seperti PPD yang juga milik BUMD DKI Jakarta dibiarkan semakin terpuruk.
"Jokowi mestinya mengoptimalisasi semua armada angkutan kota yang menunjang dinamika warga DKI Jakarta. Jangan bersikap membiarkan mati sesuatu yang sudah ada karena terlalu fokus pada bus way. Selaku gubernur, Jokowi juga berkewajiban mengoptimalisasi armada PPD," harapnya.


Sumber :
jpnn.com

Mungkinkah Jokowi dan Demokrat Bergabung Dalam Pilpres

Di tengah sentimen positif publik terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) muncul kabar baru yang bagi sementara orang mungkin saja cukup mengejutkan.
Jokowi disebutkan sudah bertemu dengan SBY dalam beberapa kesempatan. Pertemuan yang digelar di Cikeas itu bukan pertemuan biasa, atau sekedar untuk makan-makan. Pertemuan itu bagian dari upaya dalam menghadapi Pemilu 2014.
Jembatan pertemuan ini, disebutkan, adalah Soekarwo. Soekarwo mewakili "garis merah" di tubuh Demokrat. Soekarwo, yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), masih dipandang di sementara orang PDI Perjuangan. Maka tak heran, bila Gubernur Jawa Timur yang juga anggota Dewan Pembina Demokrat itu menjadi penghubung antara SBY dan Jokowi.
Tentu saja, ini bukan pertemuan antara PDI Perjuangan dengan Demokrat. Tapi bisa dikatakan pertemuan antara Jokowi dengan Demokrat. Jokowi bertemu secara personal dengan SBY, yang merupakan Ketua Umum Demokrat, Ketua Dewan Pembina Demokrat, Ketua Dewan Kehormatan Demokrat dan juga Ketua Majelis Tinggi Demokrat.
Citra Jokowi yang sedang naik daun menjadi sumbu dari komunikasi dalam pertamuan itu. SBY, yang tahu persis Demokrat sedang benar-benar terpuruk, mau menggunakan Jokowi untuk menaikkan citranya. Bila proses lancar, Jokowi akan diusung menjadi calon presiden dari Demokrat.
Bagaimana dengan konvensi Demokrat? Dalam AD/ART Demokrat disebutkan bahwa pihak yang berwenang menentukan calon presiden adalah Majelis Tinggi. Cara menjaring capres itu bisa memakai mekenisme apa saja, termasuk konvensi ataupun berbasis hasil survei. Namun yang jelas, otoritas ada di tangan SBY.
Artinya, bila pun Jokowi tidak memungkinkan ikut konvensi, ada banyak dasar dan argumen yang bisa dirasionalisasikan. Toh, beberapa waktu lalu, salah satu dasar mengapa Anas Urbaningrum diminta mundur dari kursi ketua umum oleh sementara elit Demokrat seperti Syarif Hasan, Jero Wacik dan Amir Syamsuddin, juga karena alasan elektoral. Dan hingga kini banyak yang percaya bahwa ketiga elit ini didorong oleh SBY untuk bicara demikian.
Dengan alasan yang sama, bila Jokowi mau maju jadi Capres Demokrat, maka konvensi bisa dibatalkan, atau tetap dilakukan dengan menggunakan silent operation. Hal utama bagi Demokrat adalah menaikkan citra, dan itu harus dilakukan dan ditempuh dengan berbagai cara. Cara saat ini yang paling relevan, adalah mengusung Jokowi jadi capres.
Apakah Jokowi kira-kira akan menerima tawaran itu?
Hal ini dianggap cukup membebani psikologis Jokowi. Di satu sisi, ini momentum yang baik untuk menaiki tangga politik yang lebih tinggi, di tengah ketidakpastian PDI Perjuangan. Apalagi berdasarkan survei, dukungan kepada Jokowi bukan hanya datang dari kader PDI Perjuangan. Artinya, elektabilitas Jokowi jauh menggungguli elektabilitas PDI Perjuangan
Namun bagaimanapun Jokowi masih ewuh pakewuh dengan Megawati Soekarnoputri. Harus diakui, ia tampil menjadi calon gubernur Jakarta saat itu karena sokongan dari Megawati, di tengah situasi politik PDI Perjuangan saat itu yang belum stabil. Misalnya ada faksi di tubuh PDI Perjuangan, yang disebutkan sebagai faksi almarhum Taufiq Kiemas, yang menghendaki agar PDI Perjuangan mengusung Fauzi Bowo berpasangan dengan Adang Ruchiatna.
Ada yang percaya, Jokowi tidak akan meninggalkan PDI Perjuangan, sebagaimana ada yang percaya bahwa PDI Perjuangan juga tidak akan membiarkan Jokowi dimanfaatkan oleh partai lain, terutama oleh Demokrat. Maka disebutkan situasi kebathinan di PDI Perjuangan juga mulai mengarah untuk mengusung Jokowi sebagai capres. Banyak politisi PDI Perjuangan yang menghendaki, atau berharap, atau juga sudah yakin, Megawati akhirnya akan mengajukan Jokowi sebagai capres.
Selain karena diyakini akan mudah meraih kekuasaan, langkah PDI Perjuangan mengusung Jokowi juga dinilai untuk menghindari sentimen negatif dari publik. Kini, publik sangat merindukan Jokowi dan siapapun yang meminggirkan dia, baik langsung atau tidak langsung, justru akan mendapat perlawanan yang kuat.
Kembali ke persoalan utama. Bila kabar pertemuan antara Jokowi dan SBY ini benar, tentu saja peta politik semakin cair dan dinamis. Politik, yang bukan ilmu matematika itu, semakin tidak bisa diprediksi karena persoalan juga menyangkut dengan situasi politik di Demokrat, situasi politik di PDI Perjungan, dan juga menyangkut arus persepsi publik.
Hal yang bisa dipastikan, Pemilu dan Pilpres 2014 benar-benar akan menarik dan menegangkan.


Sumber :
rmol.co

Hasil Lain Survei IRC: Pemilih PDIP Dukung Jokowi Bukan Mega

Hasil temuan lain pada survei Indonesia Research Centre (IRC) menunjukkan pemilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lebih memilih Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai Capres bukan Megawati.
"Pemilih Gerindra solid mendukung Prabowo. Pemilih PDIP lebih banyak yang menyatakan akan memilih Jokowi daripada memilih Megawati. Jokowi juga mendapat banyak dukungan dari pemilih partai lainnya," kata Direktur IRC Agus Sudibyo dalam siaran pers, Jumat (28/6/2013).
Survei IRC menunjukkan Jokowi didukung oleh 36,8% pemilih PDIP, sementara Megawati hanya 25,2% pemilih PDIP. Jokowi juga mendapatkan dukungan dari pemilih partai lain seperti Partai NasDem (28,4%), PKB (22,0%), PKS (24,0%), PD (31,6%), PAN (19,6%), PPP (30,2%), dan PBB (12,5%).
Pemilih Golkar juga cukup banyak yang mendukung Jokowi (16,4%), meskipun mayoritas pemilih Golkar mendukung pencapresan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (38,6%). Pemilih Gerindra memang mayoritas memilih Prabowo Subianto (65,2%), tetapi ternyata ada juga yang memilih Jokowi (17,4%).
Pemilih Hanura yang memilih Jokowi yakni 19,4%, setengahnya terbelah mendukung pencapresan Wiranto (33,3%), dan Hary Tanoesoedibjo (15%).
"Yang menarik, swing voter di pemilu legislatif sebagian besar menyatakan akan memilih Jokowi," imbuh Agus Sudibyo.

Bak Kacang Goreng Di Luar Jawa
Yang menarik, masih menurut survei IRC, adalah dukungan Jokowi bak kacang goreng di luar Jawa.
"Hal lain yang menarik adalah, kendati Jokowi beretnis Jawa, berdasarkan data IRC, justru
dukungan terhadap Jokowi diberikan oleh mereka yang tinggal di luar Jawa sangat besar," kata Agus Sudibyo.


Jokowi Lagi, Jokowi Lagi

Menyusul survei yang dilakukan oleh LIPI, Indonesia Research Centre (IRC) hari ini mengumumkan hasil survei yang mereka lakukan bulan Mei 2013 dengan metode penarikan sample multistage random sampling. Jumlah responden sebanyak 1800, pengumpulan data dengan wawancara tatap muka dengan responden menggunakan kuisioner. Margin of error (MoE) 2.3% pada tingkat kepercayaan 95%.
Yang mengejutkan, ternyata hasil survei mirip yang dilakukan oleh LIPI, yaitu lagi lagi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menjadi top hit survei.
"Jokowi menunjukkan trend elektabilitas yang cukup menyakinkan. Sebagian besar (24.8%) masyarakat cenderung memilihnya menjadi presiden RI," kata Direktur IRC Agus Sudibyo dalam siaran, Jumat (28/6/2013).
Jokowi muncul sebagai capres paling top dengan torehan jarak yang semakin tak terjangkau pesaingnya.


Berikut elektabilitas capres jika Pilpres digelar saat ini, sesuai survei IRC:
  1. Joko Widodo: 24,8% 
  2. Prabowo Subianto: 14,8
  3. Aburizal Bakrie: 7,95
  4. Megawati Soekarnoputri: 5,5%
  5. Wiranto: 3,9%
  6. Mahfud MD: 3,7%
  7. Dahlan Iskan: 3,5%
  8. Rhoma Irama: 2,7%
  9. Hary Tanoesoedibjo: 2,3%
  10. Ani Yudhoyono 2%
  11. Lainnya (Hatta Rajasa, Surya Paloh, Sri Mulyani, Anis Matta, Rustriningsih, Puan Maharani, Yusril Ihza Mahendra, Gita Wiryawan, Djoko Suyanto, Hidayat Nurwahid, Sutiyoso, Jusuf Kala) : 8,4%
Tidak tahu (tidak menjawab): 10%
Rahasia: 8,9%
Tidak memilih: 1,6%

Buya: Jadi Capres Tak Perlu IPK 4, Jokowi: IPK Saya < 2

Berbicara bersama Mahfud MD di seminar mengenai kepemimpinan di Universitas Islam Indonesia membuat Jokowi harus menjawab pernyataan yang mendorongnya maju menjadi calon presiden. Rosiana Silalahi, moderator seminar berjudul "Memimpin dengan Hati" itu malah bergurau menjodohkan dua nama sebagai pasangan di Pilpres 2014.
"Buya Syafii, silahkan pilih mana yang RI 1 dan RI 2," kata dia kepada Buya Syafii Maarif yang juga menjadi pembicara di seminar merujuk pada sosok Mahfud dan Jokowi, Jumat 28 Juni 2013. Saat mendapat giliran bicara Buya Syafii menyatakan tidak akan memenuhi permintaan Rossi. "Moderatornya kurang ajar, saya ditodong," Buya Syafii bergurau.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu kemudian mengulas singkat karakter calon presiden idaman publik, yakni mampu bertindak nyata untuk persoalan rakyat dan jujur serta anti pencitraan. "Hanya itu ukurannya, IPK 4 bukan indikator," kata dia.
Namun, dia buru-buru menambahkan IPK capres sebaiknya tidak tiga ke bawah. Saat dia bertanya ke Mahfud berapa IPK saat kuliah, mantan Ketua MK itu menjawab "IPK saya dulu 3,8." Giliran Jokowi, jawabannya "Dua saja tidak ada."
Pada sesi tanya jawab, sejumlah peserta seminar menyatakan dukungan untuk Mahfud dan Jokowi maju di Pilpres 2014. Seorang peserta malah bertanya ke Jokowi, "apabila bersama Mahfud jadi penghuni istana kepresidenan, bagaimana konsep blusukan untuk konteks wilayah Indonesia?"
Menanggapi itu Jokowi meyatakan saat ini dia masih menjadi Gubernur DKI Jakarta yang berkosentrasi menuntaskan masalah-masalah rumit di Ibu Kota. "Di mana-mana saya digosok-gosok, dipanas-panasi, jawaban saya selalu begini," kata dia.
Soal model blusukan jika menjadi presiden, Jokowi menjawab enteng "Tanya ke presiden. Saya Gubernur DKI, blusukannya ke Cakung, Pondok Indah, dan sekitarnya."
Rossi sempat belum puas memancing Jokowi. Dia bertanya "Kalau demi rakyat bagaimana pak?" Kehabisan kata, Jokowi mengulangi jawaban tadi. "Sekarang saya Gubernur DKI, tanya saja soal Pluit," ujar dia yang memancing mayoritas peserta seminar terpingkal-pingkal.


Sumber :
tempo.co

Syafii Maarif: Jokowi The Most Popular Leader

Mantan Ketum PP Muhammadiyah Syafii Maarif rupanya kesengsem dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Dia menyebut Jokowi sebagai the most popular leader. Apa alasannya?
"(Dia) Berangkat dari Solo, memimpin kota dengan 500 ribu penduduk, tapi bisa langsung memimpin DKI," kata Syafii dalam jumpa pers sebelum seminar kebangsaan 'Memimpin dengan Hati' di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jl Kaliurang KM 14,5 Sleman, Jumat (28/6/2013).
Bagi Syafii, pencapaian Jokowi sangat dramatis. Dari kota kecil, lalu memimpin Ibukota. Tidak banyak atau malah tidak ada yang bisa melakukannya sejauh ini.
"Dia the most popular leader," sebut Syafii.
Jokowi yang ikut dalam jumpa pers tak berkomentar. Jokowi mau menjadi pembicara setelah ditelepon mantan Ketua MK Mahfud MD. Dia sempat tidak pede karena mengaku tidak bisa berteori.
Seminar dalam rangka HUT ke-70 UII ini diikuti sekitar 500 mahasiswa dan civitas akademika UII. Jokowi, Mahfud, dan Syafii mendapat sambutan meriah. Usai menyampaikan pengalaman sebagai wali kota dan gubernur, Jokowi langsung kembali ke Jakarta.


Sumber :
detik.com

Mahfud: Gaya Jokowi Merakyat

Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), memuji sosok Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi). Sanjungan ini disampaikan pada saat memberi seminar 'Memimpin dengan Hati' di Auditorium di Kampus UII, Yogyakarta, Jumat (28/6/2013).
Mahfud menilai Jokowi merupakan sosok yang memenuhi syarat sebagai pemimpin di Indonesia.
"Kalau memang Jokowi ditakdirkan dipilih oleh rakyat, menurut saya beliau ini sangat memenuhi syarat sebagai pemimpin. Karena bisa dilihat dari gaya kepemimpinannya sampai saat ini beliau sangat dekat dengan rakyat," ujar Mahfud.
Saat disinggung mengenai kepastian Mahfud dan Jokowi akan maju bersama dalam bursa pemilu 2014 mendatang, Mahfud mengaku menyerahkan semua keputusan maju atau tidak dirinya sepenuhnya kepada rakyat.
Mahfud berharap, ke depan Indonesia menjadi negara yang mengalami perubahan lebih baik dalam tata kelola dan sisitim pemerintahan negaranya.
"Biar rakyat saja yang menilai. Nanti pada saatnya yang penting Indonesia menjadi semakin baik ke depan dan ada perubahan dalam pengelolaan negara," ujarnya.

Jokowi: Kalau Mahfud MD Nyapres, Saya Dukung

Survei LIPI menunjukkan elektabilitas Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), semakin meningkat. Dia diprediksi layak maju dalam pilpres 2014 nanti. Namun Jokowi mengaku tak berminat nyapres.
"Jangan ada yang memanas-manasi atau menggosok-gosok saya," jawab Jokowi sebelum tampil dalam seminar kebangsaan "Memimpin dengan Hati" di Auditorium Universitas Islam Indonesia (UII) Jl Kaliurang Km 14,5, Sleman, Jumat (28/6/2013).
Dia mengaku saat ini masih fokus sebagai gubernur DKI jakarta. Dia fokus untuk menyelesaikan berbagai pekerjaannya di Jakarta.
"Jangan ada yang gosok sana-sini biar panas," katanya sekali lagi.
Jokowi justru memuji Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII), Mahfud MD. Jokowi bahkan menggoda Mahfud MD agar nyapres.
"Yang dibutuhkan rakyat itu ya seperti beliau. Kalau beliau maju pasti saya dukung. Sekarang ini kan saya Gubernur DKI Jakarta," kata Jokowi sembari menoleh ke arah Mahfud MD yang duduk disampingnya.


Sumber :
detik.com

Jokowi Kenang 'Kecelakaan' Saat Jadi Wali Kota, Mahasiswa Tepuk Tangan

Di hadapan peserta seminar di UII Yogyakarta, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menceritakan pengalaman lucu dan sedikit ironis saat menjadi wali kota Solo. Karena disampaikan dengan gaya bercanda, mahasiswa bukannya bersimpati, tapi malah tertawa dan bertepuk tangan.
Jokowi yang hadir bersama mantan Ketua MK Mahfud MD dan mantan Ketum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, mengawali ceritanya dengan masa-masa awal menjadi wali kota Solo. Setelah 23 tahun mengurusi kayu atau mebel, akhirnya ia terpilih menjadi wali kota.
"Jadi wali kota itu kecelakaan. Saya waktu itu tidak siap," kata Jokowi disambut tepuk tangan ratusan mahasiswa peserta seminar kebangsaan "Memimpin dengan Hati" di Auditorium UII, Jl Kaliurang KM 14 Sleman, Jumat (28/6/2013).
Seperti di forum-forum lainnya, Jokowi menceritakan insiden upacara ketika ia pertama masuk kantor sebagai wali kota. Dia dilantik pada hari Jumat dan harus menjadi inspektur upacara pada hari Senin.
"Saya kurus sekali waktu itu. Berat badan hanya 54 kg. Masuk kantor jam 7 dengan mengenakan seragam PNS lengan pendek," katanya.
Karena sudah puluhan tahun tidak mengikuti upacara, apa lagi menjadi inspektur upacara, Jokowi minta dipandu protokoler. Protokoler menyatakan, jika komandan upacara hormat, maka ia harus ikut hormat. Jika komandan laporan, maka dijawab 'laksanakan'. Jika komandan laporan untuk membubarkan upacara, dijawab 'bubarkan'.
Pada sesi awal, semua lancar. 2.500 Peserta upacara tampak cukup puas. Kejadian memalukan terjadi saat komandan upacara melakukan penghormatan. Jokowi mengikuti.
"Tapi saya masih gini terus," katanya sambil mengangkat tangan dalam posisi hormat.
Selama beberapa menit, Jokowi dalam posisi menghormat. Peserta tidak menurunkan tangannya. Banyak peserta yang ketawa-tawa. "Ternyata mereka baru menurunkan tangannya, kalau inspektur juga sudah turun," katanya disambut tawa dan tepuk tangan mahasiswa peserta seminar.
Ajudan ganteng juga diceritakan lagi oleh Jokowi. Jokowi menyatakan karena ajudan lebih ganteng, maka sebagian tamu tidak tahu wali kota. Setiap tamu datang, yang disalami ajudan.
"Dua bulan saya masih tahan, tiga bulan juga tahan dan setelah itu ajudan diganti," katanya.
Setelah menceritakan pengalamannya sebagai wali kota dan gubernur, Jokowi menyempatkan berdialog sebentar. Seminar digelar dalam rangka HUT ke-70 UII.


Sumber :
detik.com

Jokowi dan Mahfud MD Bahas 'Memimpin dengan Hati' di Yogya

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Mahfud MD berada dalam satu ruang seminar di Yogyakarta. Keduanya mendapat sambutan hangat ratusan mahasiswa.
Seminar dengan tema 'Memimpin dengan Hati' itu digelar di Auditorium Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jl Kaliurang KM 14,5 Sleman, Jumat (28/6/2013). Selain Jokowi dan Mahfud, pembicara lainnya adalah mantan Ketum PP Muhammadiyah Syafii Maarif. Sekitar 500 mahasiswa hadir.
Tepuk tangan membahana di ruangan saat ketiganya memasuki ruangan. Jokowi tampil pakaian kebesarannya, kemeja lengan panjang warna putih.
Sebelum seminar dimulai, Jokowi mengatakan seorang pemimpin hendaknya harus bisa mendengar suara rakyat dan mengendus keluhan. "Caranya dengan membuat kebijakan untuk rakyat," katanya kepada wartawan.

Sumber :
detik.com

Jokowi Sempat Tidak Pede Diajak Mahfud Bahas 'Memimpin dengan Hati'

Meski sudah terbiasa berbicara di depan umum, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sempat tidak pede saat diajak Mahfud MD menjadi pembicara seminar. Apa lagi temanya soal 'Memimpin dengan Hati'. Mengapa Jokowi tidak pede?
"Katanya, saya nggak biasa. Nggak bisa berteori," kata Mahfud menirukan ucapan Jokowi beberapa waktu lalu. Mahfud mengaku menelepon Jokowi secara langsung dan memintanya menjadi pembicara seminar di UII Yogyakarta.
Seminar 'Memimpin dengan Hati' di Auditorium Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jl Kaliurang KM 14,5 Sleman, Jumat (28/6/2013). Selain Mahfud dan Jokowi, acara juga dihadiri mantan Ketum PP Muhammadiyah Syafii Maarif. Sebelum masuk ke ruang seminar, mereka menggelar jumpa pers.
"Terus saya bilang, Pak Jokowi nggak usah berteori. Bicara soal pengalaman saja. Kalau cuma teori, sudah banyak di seminar. Yang penting pelaksanaannya. Kita ingin bekerja," kata Mahfud yang juga Ketua IKA UII ini.
Jokowi yang mengenakan kemeja kebangsaannya, warna putih, hanya tersenyum saat Mahfud menyampaikan hal itu. Pun halnya dengan Syafii Maarif.
Saat ini, seminar dalam rangka HUT UII ke-70 ini tengah berlangsung. Sekitar 500 mahasiswa dan civitas akademika UII meramaikan acara tersebut.


Sumber :
detik.com

Tip Untuk Lawan Jokowi: Cara Membendung Elektabilitas Jokowi

Menurut peneliti Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Sukardi Rinakit, menganjurkan para kontestan pemilu 2014 untuk tidak melancarkan kampanye hitam atau back campaign. Sekali tidak tepat, black campaign malah mengangkat orang yang menjadi korban secara luar biasa dan menjadi tokoh baru.
"Karakter masyarakat kita melodramatik. Mereka pasti menganggap itu manuver pihak lawan," kata Sukardi di Jakarta, Jumat 28 Juni 2013.
Sukardi mencontohkan sosok Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki elektabilitas tinggi. Bila ada orang yang mencoba menjelek-jelekkan Jokowi dengan harapan agar suaranya turun, yang terjadi adalah kebalikannya.
"Jangan coba-coba mengkritik Jokowi, karena kalau dikritik elektabiliitasnya akan semakin naik," ujarnya.
Sukardi melihat dalam sejarah politik di Indonesia, figur lebih penting dari pada partai atau institusi politik. Salah satu kasus adalah kemenangan SBY dalam pemilihan presiden 2004 dan 2009.
"Dia begitu populer. Karena ketokohannya, dalam pemilu 2009 Demokrat malah dapat suara 20 persen lebih yang sebelumnya hanya sekitar 7 persen," jelasnya.


Sumber :
viva.co.id

Jokowi Momok Semua Capres 2014

Dibolah balik, diracik-racik, berbagai survei tetap menunjukkan keperkasaan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Survei terkahir yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI juga memperkuat hal ini, dalam survei terakhir elektabilitas Jokowi mencapai 22,6%,  Prabowo Subianto 14,2 % dan Aburizal Bakrie 9,4 %.
Nama nama yang berada di bawah 3 besar adalah Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan 9,3% , Jusuf Kalla 4,2%, Rhoma Irama 3,5%,  Wiranto 3,4%, Mahfud MD 1,9%, Hatta Rajasa 1,2%, Sri Sultan HB X 1,2%, dan sebagai juru kunci Surya Paloh 1,2%.
Menurut pengamat politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, posisi Jokowi yang selalu berada di urutan teratas tentu menjadi momok bagi capres-capres lain karena kian hari trend elektabilitas Jokowi terus menanjak nenogoh capres-capres lain. Diakui atau tidak, meningkatan elektabilitas Jokowi menjadi hantu mimpi capres-capres lain yang berniat maju di Pilpres 2014.
"Saya kira kekhawatiran itu beralasan. Melihat elektabilitas Jokowi yang terus menanjak, tentu akan mempengaruhi peta pencalonan capres nanti. Jadi wajar saja nama-nama lain jadi ketakutan," kata Arya, Kamis (27/6/2013).
Di sisi lain, Arya melanjutkan, debut Jokowi setiap hari juga terus dibesarkan oleh media massa. Sehingga tingkat keterpilihan publik lebih besar.
Namun demikian, menurut Arya, sebenarnya Jokowi juga sulit maju sebagai capres. Alasanya, sebelum maju dia harus memiliki tiket dari partai politik (parpol) lebih dulu. Padahal beberapa partai sekarang sudah memiliki calon masing-masing, misalnya PAN, sudah memiliki Hatta Rajasa, Golkar sudah memiliki Aburizal Bakrie, Gerindra sudah memiliki Prabowo Subianto, dan beberapa partai lain juga sudah punya calon.
Partai besar tinggal PDIP, Demokrat, PPP dan PKB. Tapi kalau PDIP masih ada Megawati. Jokowi juga sepertinya tidak akan ikut konvensi Demokrat, karena dia masih menjabat sebagai gubernur aktif. Sementara PKB dan PPP meski masih belum jelas sikapnya.
"Masalahnya Jokowi itu kalau tidak mendapat tiket partai agak susah. Kekuatan Jokowi hanya pada personalnya. Saya kira, keputusan maju dan tidaknya, yang paling mempengaruhi besar adalah Jokowi sendiri. Kalau Jokowi pengen maju, kalau dia berniat, bisa saja melunakkan hati Mega," kata Arya.
Peluang Jokowi paling besar memang lewat PDIP. Namun demikian dia harus bersaing dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Bila elektabilitas Jokowi konsisten sebesar 35%, maka Megawati besar kemungkinan legowo menyerahkan tiket capres ke dia. Namun dia tentu memiliki kesepakatan-kesepakatan dengan Jokowi.
"Misalnya, silakan Jokowi maju tapi dia akan menyorongkan Puan Maharani atau tokoh PDIP lainya menjadi wakil presiden. Karena asumsinya Jokowi sudah 35 persen. Itu bukti orang sudah tidak lagi melihat asal partai, tapi lebih kepada figur," tuturnya.
Namun demikian, Arya lebih memilih Jokowi bekerja lebih dulu di Jakarta untuk membuktikan kinerjanya. Apakah dia mampu atau tidak mengubah Jakarta, dan merealisasikan janji-janjinya.


Ref :
merdeka.com

Fahri Hamzah: Jokowi Biasa Saja

Elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tak terbendung lagi setelah merajai sejumlah survei calon presiden 2014, survei terbaru yang dilakukan oleh LIPI juga menyebutkan bahwa keperkasaan Jokowi makin tak tertandingi.
Menanggapi kian meledaknya nama Jokowi sebagai raja survei, Wasekjen PKS Fahri Hamzah menilai Jokowi bisa saja diusung sebagai capres.
"Kalau PDIP mau misalnya menganggap Jokowi mampu, ya bisa saja Jokowi dijadikan Capres," kata Wasekjen PKS Fahri Hamzah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (27/6/2013).
Menurut Fahri, wajar saja Jokowi dianggap sebagai capres potensial karena memang publik menginginkannya. Tapi ia mengingatkan bahwa elektabilitas itu tidak berlangsung lama sebentar lagi juga hilang.
"Pada dasarnya ada sifat temporary-nya pencalonan itu sendiri," ucap anggota Komisi III DPR itu.
Fahri punya penilaian sendiri terkait sosok Jokowi mengapa layak diusung sebagai calon presiden. "Kenapa banyak orang tertarik pada Jokowi karena orang itu sederhana, nggak feodal, enak diajak ngmong, itu yang penting karena itu kepemimpinan baru di zaman reformasi," ucap politisi PKS itu.
"Orang itu harus apa adanya," tegas Fahri


Sumber :
detik.com

Tanggapan Yusril dalam Perbincangan Masalah Jakarta dengan Jokowi

Permasalahan yang terjadi di DKI Jakarta sangat kompleks dan rawan berujung ke meja hukum. Untuk mencari masukan soal permasalah ini, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menemui ahli hukum dan tata negara Yusril Ihza Mahendra. Apa kata Yusril seputar masalah waduk, PKL, dan Bank DKI?
"Terdapat tanah yang ada di ujung Jalan Thamrin, di sebelah Hotel Sari Pan Pasific sampai menteri ESDM dan itu tembus sampai ke Jl Sabang, tanah besar sekali. Tanah statusnya milik Pemda DKI dan sekarang dijadikan modal Bank DKI," tutur Yusril Ihza Mahendra soal permasalah Bank DKI.
Hal tersebut dikatakannya usai melepas kepulangan Jokowi dari kediamannya, Jl Karang Asem Utara No. 32, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2013).
Yusril Ihza Mahendra mengatakan permasalahan muncul karena tanah yang berstatus milik Bank DKI tidak bisa dimanfaatkan. Bank DKI selalu kalah di pengadilan karena bermasalah dengan pembeliannya.
"Konon perusahaan yang lama itu sudah diakuisisi dengan perusahaan lain, karena itu Bank DKI selalu kalah, bahkan sampai MA," tutur Yusril Ihza Mahendra.
Yusril Ihza Mahendra mengatakan akan membantu Jokowi menyelesaikan masalah Bank DKI. Kelak jika sengketa lahan sudah rampung, Yusril meminta pemprov DKI memanfaatkannya untuk keperluan umum.
"Sebaiknya kita duduk bareng dan secara bersama mencari jalan keluarnya, dan pemerintah DKI dapat memanfaatkan tanah itu, menyerap tenaga kerja, dapat pajak, dan bisnis dapat berjalan. Yang paling penting adalah negosiasi dan niat baik sebenarnya," ujarnya.
Di sisi lain Yusril dan Jokowi juga membicarakan masalah penertiban pedagang kaki lima (PKL) dan parkir waduk pluit, sudahkah sesuai dengan aturan hukum. Yusril mengatakan Jokowi tidak perlu resah akan masalah hukum, karena yang paling penting adalah rakyat kecil merasa terayomi, dan kepentingan mereka terpenuhi.
"Sebenarnya menyelesaikan masalah-masalah seperti itu kan tidak sepenuhnya pakai hukum, pastinya pemerintah DKI menyelesaikan masalah ini dengan baik, dan Pak Jokowi sudah sangat baik. Kalau pakai hukum, orang kecil itu kalah semua, yang terpenting kebijaksanaan dari pimpinan," tutup Yusril Ihza Mahendra.

Sumber :
detik.com

Kemanusiaan: Demi BLSM, Nenek "Nyasar" ke Kantor Jokowi-Ahok

Saani, seorang nenek berusia 65 tahun, "nyasar" di Balaikota DKI Jakarta, Kamis (27/6/2013). Dia sampai ke kantor Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), setelah dua hari berkeliling instansi, berusaha mendapatkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).
Berjilbab hitam dan baju daster berwarna coklat, Saani bercerita awal perjalanannya berusaha mendapatkan BLSM, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu. Awalnya, Saani menanyakan kepada seseorang di Kelurahan Angke, Jakarta Barat, bagaimana memperoleh BLSM, Rabu (26/6/2013).
Dari kelurahan, Saani diarahkan mendatangi Kantor Wali Kota Jakarta Barat di Puri Kembangan. Kamis (27/6/2013) pagi, Saani sampai di Kantor Wali Kota Jakarta Barat. Ia bertemu petugas satpam di sana, dan bertanya lagi bagaimana cara mendapatkan BLSM.
Petugas di Kantor Wali Kota Jakarta Barat mengatakan bahwa ia harus mendatangi kantor BNP2P dan menuliskan alamat kantor itu. Saani menunjukkan secarik kertas dengan tulisan alamat kantor BNP2P di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, dari petugas tersebut.
Saani pun melanjutkan perjalanan untuk mendatangi BNP2P itu. Bukannya mendapati kantor tersebut, Saani malah "nyasar" ke kantor Balaikota DKI Jakarta. "Saya nyampe di sini, istilah kasarnya pengen itu, pengen duit BLSM, buat modal dagang," kata Saani di Balaikota DKI Jakarta.
Di KTP, Saani tertulis merupakan warga Jalan Sawah Lio, RT 10 RW 08, Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat. Namun, kini dia tinggal di kontrakan di wilayah Kalideres, Jakarta Barat.
Untuk sampai ke Balaikota, Saani menumpang angkutan umum, menyambung-nyambung dengan bus, sambil bertanya-tanya kepada orang tentang lokasi yang hendak dia tuju. Saani sama sekali tidak tahu di mana kantor BNP2P tersebut. "(Jalan) sendiri aja, naik mobil (angkutan umum) sambil baca-baca Bismillah," ucapnya.
Namun, usahannya mendapatkan BLSM gagal. Saani tidak memiliki Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai salah satu syarat mendapatkan BLSM. Dari penuturannya, Saani tidak tahu apa itu KPS. Ia hanya mengatakan tengah mengurus kartu sehat di sebuah puskesmas di Jakarta barat.

Untuk modal dagang
Meski tidak memiliki KPS, ia tetap berkeinginan bisa mendapatkan uang BLSM untuk modal membuka usaha dagang kecil-kecilan. Namun, ia tidak tahu kapan bisa mewujudkannya. "Saya pengen jual daging sosis panggang. (Tapi) kudu mesti beli alatnya dulu, nyari modalnya pake duit itu (BLSM)," ujarnya.
Selama ini, untuk menyambung hidup, Saani mengaku "menyambi" menjadi tukang pijat di kontrakannya. Pekerjaannya dahulu sebagai pedagang kue cucur dan pastel sudah dia tinggalkan. "Dulu bangunnya (buat jualan cucur dan pastel) jam lima pagi, tapi sekarang udah enggak kuat," paparnya.
Dari lima anaknya, empat di antaranya terpencar di luar Jakarta. Ada yang di Bengkulu, Jawa, Cirebon, dan Purwokerto. Hanya satu anaknya yang kini berada di Muara Angke, Jakarta Utara. Namun, Saani memilih untuk hidup sendiri tanpa kehadiran anak-anaknya di dekatnya.
"Takut ribut (sama anak), saya tinggal sendiri aja. Biar begini, saya mah masih bisa nyari duit sendiri," ujar Saani lirih. Dari mimik wajahnya saat bercerita soal anaknya, ada ekspresi kesedihan di setiap ucapannya. Mulutnya pun sesekali gemetar.
Berteman tas kecil berwarna biru, Saani pulang dengan tangan hampa dari Kantor Balaikota DKI Jakarta. Tak ada BLSM yang dia dapatkan.
Saat ditanya apakah mengenal Jokowi, Saani mengiyakan. "Saya pernah salaman sama Pak Jokowi, di Petamburan, tangannya halus," ujar dia.


Sumber :
kompas.com