Rabu, 23 Januari 2013

Berikut Alasan Jokowi Usai Ngamuk Berat Pada tvOne

Program khusus 100 Hari Jokowi-Ahok yang ditayangkan tvOne semalam (Senin, 21/01/13) pkl 19:30 wib, bikin Jokowi sewot. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta yang baru ini merasa dijebak oleh tvOne. Setidaknya ini dikatakan oleh Ajudan Jokowi, Anggit. “Semalam Bapak marah banget. Tumben-tumbenan marah sama wartawan kayak gitu,” ujar Anggit pada saya pagi ini via HP.

Awalnya, tvOne ingin melakukan wawancara Jokowi perihal banjir dan tanggul di jalan Latuharhary yang ambruk. Saat itu, Jokowi sudah wanti-wanti tidak berkenan ditanya mengenai hal lain di luar masalah banjir. Selain itu, ia juga sudah berpesan untuk tidak menyertakan narasumber lain dalam interviewnya. Semua pesan tersebut disanggupi oleh pihak tvOne. Namun, tvOne rupanya memanfaatkan momentum interview-nya dalam rangka “100 Hari Pemerintahan Jokowi-Ahok”. Apalagi, tvOne sudah mengendus, bahwa Metro TV akan memproduksi program sejenis dengan mengundang Jokowi. Sebelumnya, Metro TV sudah dua kali menayangkan program khusus Gebrakan Jokowi, yang secara eksklusif menginterview Jokowi di lokasi bersama masyarakat. Agar tidak kalah 3-0 dari Metro TV, tvOne terpaksa membohongi Jokowi. Pesan-pesan Jokowi pun diabaikan. “Staff di Balaikota merasa miss, karena interview yang dilakukan tvOne cuma persoalan banjir, eh ternyata malah menanyakan persoalan-persoalan lain. Wajah Bapak pun berubah begitu ada narasumber lain dalam interview itu,” ujar Anggit. Tak heran, begitu kelar shooting, Jokowi langsung marah besar pada tvOne. Perstiwa Jokowi marah-marah pada wartawan sebetulnya sangat langka. Maklumlah, ia sangat dekat dengan semua wartawan. Namun, kejadian semalam merupakan puncak kekesalan Gubernur DKI Jakarta ini. Di tengah musibah, tvOne tega menghianati janjinya pada Jokowi. Ternyata bukan cuma Jokowi yang kesal. Dalam sebuah milis yang saya ikuti, beberapa anggota mengumpatkan kekesalannya. Henry Pasarian, misalnya. Interview yang dilakukan Muhammad Rizki dianggap sangat dangkal. “Lebih banyak sok tahunya, ketimbang riset dahulu. Masak tetap ngotot bertanya, ‘Jadi kapan Jakarta bebas banjir?’. Lha wong sejak jaman Belanda Batavia sudah banjir kok,” ujar Henry kesal. Lanjut Henry, ketika Jokowi mengakui tidak sempat mengecek soal tanggul-tanggul yang ada di Jakarta, Rizki malah bertanya, “Kenapa tidak mengecek, Pak?”. Seharusnya, kata Henry, bertanya seputar bagaimana pemeliharaan tanggul-tanggul itu dan siapa yang bertanggung jawab. “Benar-benar miskin riset.” Di milis ini, Reporter tvOne juga dikritik oleh Armin Bell dari Ruteng Flores. Lewat tulisan berjudul tvOne dan Reporter Antipati yang diposting pada Sabtu, 19 January 2013 pukul 14:00 WIB, ia menilai Reporter tvOne begitu sok tahu. Ini terlihat saat seorang Reporter perempuan dengan bersemangat melaporkan situasi di sebuah tenda pengungsian di Jati Asih. Reporter memulainya dari pertanyaan tentang pola distribusi bantuan yang dijawab oleh si relawan dengan mengatakan, “Kami melakukan distribusi langsung kepada para pengungsi di tenda-tenda.”. Belum selesai berbicara, Reporter langsung bertanya dengan tendensius: “Lho kenapa tidak melalui RT? Kan lebih bagus kalau melalui RT?” Dalam pertanyaan sok tahu berikutnya, Reporter menanyakan tentang bahan-bahan yang didistribusikan. Relawan pun menjawab, “Macam-macam mbak, ada pakaian, selimut, mie instan dan kebutuhan-kebutuhan lain.”. Namun, Reporter perempuan tvOne ini kembali bertanya sekaligus memberikan kesimpulan. “Saya pikir yang sangat mereka butuhkan adalah air bersih. Kenapa tidak disiapkan air bersih?” tanya Reporter itu. Terakhir Armin juga mencatat kesoktahuan Reporter ini, ketika menanyakan tentang mie instan, dimana menurut Reporter ini salah. “Mas, koq distribusi makanannya mie instan? Kan susah itu diolah oleh para pengungsi. Mengapa tidak menyiapkan nasi bungkus?” Oleh karena sudah hilang kesabaran, Relawan yang diinterview pun Nampak marah. Wajahnya sangat jelas menunjukkan kemarahan. Namun ia tetap menjawab dengan sedikit ketus, “Selama ini tidak masalah koq mbak. Semua baik-baik saja. Mereka bisa mengolahnya dengan baik!” Menurut Armin Bell, Reporter Nampak sekali sangat tendensius, menuduh apa yang dilakukan Relawan semuanya salah, mulai dari pola pendistribusian bahan-bahan, air bersih, sampai mie instan. Padahal. Seharusnya Reporter tidak menuduh sesuatu yang belum tentu benar di depan kamera televise, yang pada saat itu disiarkan secara langsung. “Bagi saya, reporter tadi tidak menunjukkan sikap empati yang harusnya dimiliki oleh setiap wartawan, tetapi dia sedang antipati pada para relawan. Heran!” ujarArmin kesal.


Sumber :
ruanghati.com

Jokowi Tawarkan Satu Gebrakan Atasi Banjir

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengatakan harus ada program gebrakan untuk mengatasi banjir di Jakarta. Dia menggagas program yang sempat diajukan pada masa Sutiyoso dan Fauzi Bowo, yaitu terowongan multiguna atau multipurpose deep tunnel.

"Masalah banjir katanya kerugiannya sampai Rp 20 triliun. Kalau bikin skenario deep tunnel kan habis Rp 16 triliun sekalian, biar beres masalahnya," ujar Jokowi di Balai Kota Jakarta, Selasa, 22 Januari 2013.

Dengan adanya deep tunnel, kata Jokowi, berarti kota sekelas Jakarta dapat memiliki fasilitas untuk pembuangan air.

Deep tunnel menjadi satu dari enam langkah yang diajukan Jokowi untuk mengatasi banjir di Jakarta. Lima langkah lainnya adalah normalisasi sungai; sodetan Kali Ciliwung dari Otista ke arah Kanal Banjir Timur; pembuatan sumur serapan; penyediaan pompa air; dan pembuatan waduk besar di Ciawi dan Cimanggis.

Pembangunan deep tunnel di Jakarta diperkirakan mencapai Rp 16,4 triliun. Nantinya terowongan multiguna ini akan dimulai dari MT Haryono hingga Pluit.

Jika di Malaysia memiliki deep tunnel punya dua fungsi, yakni sebagai pengendali banjir dan jalan tol, di Jakarta nantinya akan memiliki lima fungsi. Fungsi itu di antaranya pengendali banjir, jalan tol, sistem utilitas kota, pembuangan limbah kota, dan terowongan air bawah tanah.

Sumber :
www.tempo.co

Jokowi: Kalau Ada Daun Jatuh di Cilincing, Saya harus Tahu

Pada 15 OKtober 2012, Jokow Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dilantik menjadik Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakaqrta periode 2012-2017. Begitu dilantik, Jokowi dan Ahok, begitu kedua pemimpin itu biasa disapa, langsung menggebrak. Keduanya turun lapangan, mendatangi warga, merasakan denyut rakyat, dan rapat siang-malam untuk menuntaskan masalah-masalah kronis Jakarta. Pada 23 Januari 2013 ini tepat 100 hari usia kepemimpinan Jokowi-Ahok. Apa saja langkah Jokowi, apa kendala dan berbagai yang ia siapkan, nukilan wawancara Jokowi kepada reporter Metro TV Prisca Niken:

Tanya (T): Bagaimana program 100 hari setelah mengepalai Jakarta? Apalagi karakteristik Solo dan Jakarta kan berbeda?

Jawab (J): Saya tidak punya 100 hari, satu hari atau 1.000 hari. Yang penting adalah bagaimana saya bekerja sebaik-baiknya. Saya ditugaskan dari rakyat untuk bekerja baik. Sabtu dan Minggu, kalau ada masalah saya tetap kerja. Kalau dilihat perbedaan, ya sama saja. Kalau musim panas ya panas. Cuaca di Solo dan Jakarta sama saja. Jika di sana pas musim hujan, ya di sini musim hujan.

Hanya cara mengelola masalah itu harus diterminate dengan baik. Sebagai orang baru tentu saja saya harus menguasai medan, menguasai masalah, dan menguasai persoalan. Itu sebabnya saya selalu ke lapangan. Saya ingin bekerja detail. Ibaratnya, ada daun jatuh di Cilincing, ada daun jatuh di Penjaringan, ada daun jatuh di Setu Babakan, serta ada daun jatuh ke Kampung Melayu, saya dengar. Itu yang saya inginkan.

Jangan sampai saya membuat kebijakan, tapi saya tidak menguasai permasalahan. Itu yang selalu saya berusaha sekeras-kerasnya, agar saya selalu mendengar apa yang menjadi keinginan masyarakat.

Apa saya harus duduk di kantor untuk tandatangan kertas. Atau kemudian dapat laporan dari bawahan saya, yang semuanya berisi laporan baik-baik saja. Atau apa yang disebut dengan ABS (asal bapak senang), apa itu yang saya lakukan? Kan tidak. Jika saya datang ke suatu kampung pasti ada datanya, bukan seperti jalan-jalan. Hanya tak mungkin saja disampaikan. Ada yang saya sampaikan terbuka kepada masyarakat. Ada juga yang tidak, dan nantinya bisa menjadi kebijakan.

T: Apakah itu tidak menyita waktu?

J: Lah kok ke sita! (nada tinggi). Saya ke sana kan juga bekerja dalam rangka mendengar keinginan masyarakat, dalam rangka melihat problem, melihat masalah. Memang waktunya habis di situ, tapi kan pembagian kerja tetap ada. Setiap hari ada wakil gubernur, ada Sekda, dan ada asisten. Untuk apa saya harus duduk di kantor terus. Saya tanda tangan setengah jam juga sudah rampung.

T: Budaya tersebut kan sudah bapak lakukan selama delapan tahun?

J: Ya, memang sudah selama delapan tahun saya lakukan dengan cara-cara ini. Dan itu tak ada masalah di manajerial, manajemen. Secara birokrasi alhamdulillah tidak masalah.

T: Blusukan bapak ke kampung-kampung menghasilkan dua gebrakan paling besar, Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar? Kenapa dua gebrakan itu yang dipilih?

J: Itu kebutuhan dasar, kebutuhan dasar rakyat kita. Kalau sebelumnya ada yang ngomong kesehatan dan pendidikan gratis, lah sistemnya kaya apa? Mengucurkah uang itu ke masyarakat secara real? Faktanya sejak ada Kartu Jakarta Sehat lonjakan ke Puskesmas meningkat antara 40 persen hingga 70 persen di sejumlah wilayah. Itu artinya, sebelum itu mereka sakit, tapi ditahan karena tidak punya biaya.

Ini sistem yang kita bangun itu sistem. Bukan hanya omomngan kesehatan dan pendidikan gratis, realnya seperti apa. Bila cara mengakses atau mendapatkannya sulit, ya untuk apa. Wong anggarannya ada tapi masyarakat tidak bisa mengakses, ya untuk apa.

T: Berarti yang dulu belum tepat sasaran juga?

J: Ya itu sistem yang harus dibangun. Ini sistem kartu. Nanti kartu itu suatu saat bisa digunakan untuk hal-hal lain. Kan masih satu kepentingan, karena ada chipnya bisa digunakan untuk hal lain.

T: Nanti sistemnya terintegrasi?

J: Ya, terintegrasi. Yang jelas ada sistemnya dulu.

T: Apa sih yang mau dibenahi dari Jakarta?

J: Semuanya yang belum baik, semuanya perlu diperbaiki. Fakta dan realitasnya Jakarta sudeh ruwet dan kronis, kita harus omong apa adanya. Tapi seperti banjir jangan menjadikan kita pesimis, harus optimis. Kita jangan menyerah.

Banjir di Jakarta itu ada sejak tahun 1932, diselesaikan tahun 1938 dengan dibangun Kalan Banjir Barat. Lalu tahun 2004 dibangun Kanal Banjir Timur. Kita harus konsistensi dan fokus terhadap dua masalah, macet dan banjir sehingga bisa terselesaikan.

Tapi itu perlu proses dan perlu waktu. Jangan baru tiga bulan, Pak masih banjir. Kaya saya dewa atau superman saja. Ya ngga bisa seperti itu dong.

T: Optimis Jakarta bisa selesai dari masalah-masalah?

J: Loh loh, ini kan masalah kelihatan. Negara lain bisa kenapa kita tidak bisa. Negara lain, kejadian sudah ada dan terselesaikan. Kan kelihatan mata semuanya. Tapi jangan nuntut terlalu tinggi ke saya. Saya baru tiga bulan, beri waktu saya.

T: Masyarakat memberi waktu dan kepercayaan?

J: Sekali lagi perencanaan sudah ada. diperlukan tambahan untuk terobosan. Saya berikan contoh, proyek Mass Rapid Transportation (MRT) itu rencananya sudah sejak tahun 1986. Kenapa nggak diputuskan, kan dari dulu sudah punya. Kalau saya disuruh buat studi lagi yang ada saya putuskan. Tapi jangan lantas ngomong itu idenya gubernur yang lalu, ya jangan seperti itu dong. Apa saya harus membuat ide sendiri dan membuat suatu kajian.

Sumber :
metrotvnews.com