RI maujud Jumat Legi, bisanya bahagia, makmur dan mulia, jika
didampingi Rabu Legi. Sialnya, Prabowo dan Jokowi maujud Rabu Pon,
cemburuan, suka berdagang dan lihai ngalap rezeki, bernuansa borjuis
komprador.
Prabowo dan Jokowi mustahil berjodohan: Rabu bersua
Rabu susah. Agaknya, inilah alasan "pengkhianatan" terhadap kesepakatan
Batu Tulis.
Jusuf Kalla (JK) dan Hatta Rajasa (HR), persis RI,
maujud Jumat Legi, ngambekan, licin mulung rezeki sebatas memenuhi
kebutuhan sehari hari, beraroma marhaen. Apesnya, Jumat RI dimadu Jumat
JK dan HR: melarat, marhaennya marhaen.
Maka mresiden, "tak ada yang pantas", sabda Ki Gendheng Pamungkas (Misteri No. 578/2014). Tapi ntar dulu.
Berkat
globalisasi, shio, fengshui dan bintang ndomestik. Prabowo kebalikannya
Jokowi. Prabowo nan gagah tegap kekopasus-pasusan Kelinci rapuh dan
trah bangsawan. Jokowi nan kurus nggemulai kesolo-soloan Kerbau perkasa
dan bangsa awam, tapi mungkin sempat dikecup kerbau bule Mbah Debleng,
pusaka hidup keraton Solo.
Ayam RI sejoliannya Kerbau Jokowi,
tapi non-jodohnya Kelinci Prabowo. Sebab bercawapres, Kerbau Jokowi
disubversipin Kuda JK, non-jodohnya Ayam RI. Sebaliknya Kelinci Prabowo
dipersuasifkan Ular HR ke pasangannya, Ayam RI.
Maujudan Jokowi
21/6/1961 berangka 8, bintang kekayaan, kemujuran abadi. Sedangkan JK,
maujud 15/5/1942, berangka 9, bintang ganda, berhoki di masa depan, hobi
ndobelin: Jokowi mresiden gak dipantesin, nyapres diakurin, sesuai
rumus pengalaman dan pengaleman (pujian).
Prabowo, maujud
17/10/1951, berangka 7, bintang kekerasan, kekasaran. Sedangkan HR,
maujud 18/12/1953, berangka 3, bintang percekcokan, tabrakan. Gaibannya:
revolusi total, minimal ke-Hugo-Chavez-Chavez-an.
Sesuai
bintang, Gemini Jokowi itu Soekarno dan Soeharto; Taurus JK Hitler;
Libra Prabowo Mahatma Gandhi dan Sagitarius HR Stalin.
Berbeda
dari Mahatma Gandhi, di Kempitan Kiwa (kiri) kontrasan koboi Western,
Prabowo berkeris wrangka Ladrang Surakarta, pertanda keningratannya,
adalah jenis Naga Siluman, pernah ngawal Pangeran Diponegoro, tapi
tuahnya bisa njegal Prabowo, bisik Empu Basuki Teguh Yuwono (Liberty No.
2551/2014). Sedangkan Jokowi wong Surokarto, kevirusan pendobelan JK:
pas mau nggubernur, mlototin si kumis; pas nyapres, mesrain si kumis.
Maka, cukuplah revolusi parsial: revolusi mental.
Dari rumpun
hewannya, Jokowi Kerbau Gemini, mulia hatinya, suka menolong; Prabowo
Kelinci Libra, perayu, pantunannya itu GERahan berINDikasi RAyuan; HR
Ular Sagitarius, mantap nan kaya, rajanya harta; JK Kuda Taurus, penarik
dokar beregois tinggi. Jokowi bisa stres sama JK, ruhutan paranormal
Demokrat.
Belum ngicipin stres, sudah di-Tunggul Ametung-in Ken Ahok: "Prabowo lebih pantas jadi presiden ketimbang Jokowi".
Sulit
itu karapan presiden 9/7/2014, berangka 5, bintang buruk, angka
tersukar dipadukan dan merugikan. Rabu Wage pula, bikin melarat dan
susah bila dijodohin Rabu Ponnya Jokowi dan Prabowo.
Sesajennya
rumit. Wuku Sungsang Jokowi: nasi dang-dangan, ayam dan bebek, urap dari
9 macam dedaunan. Wuku Wukir JK: nasi uduk, ayam putih dan kuluban
(rebusan daun) 5 macam. Wuku Julungpujud Prabowo: nasi tumpeng, ayam
merah, kuluban 9 macam. Wuku Warigagung HR: nasi uduk, bebek putih
dimasak beras gurih, kuluban 5 macam.
Sayuran capres 9 dan
cawapres 5 macam, alias borjuis komprador patut mewahan ketimbang
marhaen. Sukar itu lauknya Jokowi, Prabowo dan JK. Perlu ayam, yang
shionya RI. Bebek putih, sebutannya bebek Bali, cuma bisa dikhayal HR,
sebab dalam pemilu DPR 2014, PAN gak nangkap seekor bebekpun di pulau
dewata.
Ruwetnya nujuman itu, agaknya cerminan presidensialisme
Nusantara. Mau niru AS, sejak 1960-an asasnya divided government
(separation of power dan purpose), tapi kepleset Amerika Latinan. Sabda
Eyang Detlef Nolte, parlementarisasi presidensialisme berasaskan united
government (convergence of power dan purpose). "Efektifnya pemerintahan
tidak hanya tergantung pada pemerintah, tetapi sangat tergantung pada
kombinasi antara pemerintah dan DPR", ujar JK 20/10/2006. Tiam-hiat-hoat
(Ilmu Menotok Jalan Darah) DPRD Jakarta dirasakan Jokowi.
Presiden
memang berhak berprerogatifan. Tapi, demi janji-janjinya, haruslah
didukung oleh DPR. Kata JK 23/10/2006: "eksekutif merasakan sekali
bagaimana susahnya menyelenggarakan negara karena kewenangan legislatif
sangat besar". Berabenya, DPR susah berkonsensus, rapatnya bertele-tele,
aduan gapermen di MK Januari 2009, bikin presidensialisme gak efektif
alias terpingit.
Maka macam di Brasil, biar berhak prerogatifan,
presiden dipaksa ecerin pos kabinet sesuai perimbangan otot kongsian di
parlemen. Wajarlah, jika Cak Imin PKB sebut Menag dari NU.
Ngutip
Cabinet-Index Eyang Octavio Amorim Neto, "the less proportional the
cabinet, the less satisfied the coalition partners in the legislature,
and the higher the cost of 'purchasing' their loyalty. Such situations
imply a higher cost of governing, more coordination problems, and a
greater necessity of side payments to discipline the coalition. Ignoring
such expectations can undermine support from within the governing
coalition", santet Eyang Carlos Pereira. Mungkin perlu pelet pamungkas,
pembikin pasangan tergila-gila, harganya cuma 1,29 juta Rupiah.
Prerogatifan
Presiden Brazil bisa berupa kooptasi parlemen (umpamanya merontokan
lawan lewat pementerian oposisi atau nyuap para legislator produk sarat
modalnya proporsional daftar terbuka suara terbanyak dalam gegeran
Mensalaonya Presiden Lula) dan kooptasi non-parlemen (berzaken kabinet
tapi impoten dipatukin parlemen di era redemokratisasi).
Jika
abai merevisi hubungan eksekutif-legislatif dan mempermak legislatif
(misalnya presiden berhak mengawasi agenda legislasian parlemen,
bereferendum saat dijegal parlemen, penyetaraan jumlah komisi kerja
ngimbangin kementerian, syarat keanggotaan di komisi/panitia kerja)
serta membagi eksekutif ke pembuat dan pelaksana kebijakan; maka akibat
amat luasnya fragmentasi kepartaian di DPR dengan non-dominannya PDIP
dan Gerindra, Jokowi atau Prabowo bakal jadi Satrio Terpingit.
Top-topnya blusukan sinterklasan. [tts/merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar