Pengamat ekonomi yang juga mantan Menteri Koordinator Perekonomian,
Rizal Ramli, mengatakan, kebijakan yang tidak hati-hati dalam menaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bisa menjadi "bumerang" bagi
pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi).
"Kalau tak hati-hati dan BBM naik sampai Rp 3.500, maka harga premium
bisa mencapai Rp 10.000 dan itu akan lebih tinggi dari harga
keekonomian karena biaya produksi hanya sekitar Rp 2.800 per liter. Itu
sama saja pemerintah melawan konstitusi, dan bukan tidak mungkin
presiden bisa di-impeach oleh Koalisi Merah Putih di DPR," kata Rizal
Ramli dalam sarasehan Tata Kelola Migas di kampus Universitas Riau,
Pekanbaru, Sabtu (11/10/2014).
Rizal meminta Jokowi untuk menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945
dengan tetap menjamin agar harga bahan kebutuhan pokok tetap murah bagi
rakyat, dan harganya tidak boleh sama dengan harga internasional.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004, mengeluarkan putusan
yang membatalkan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Migas 2001 yang
berbunyi, "harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar."
Artinya, aturan dalam UU Migas itu tidak punya kekuatan hukum dan
jika ada upaya-upaya pemerintah tetap menyerahkan harga BBM pada
mekanisme pasar bebas, maka hal itu sama dengan melanggar konstitusi.
"Saya tetap berprinsip, masih ada cara lain untuk mencegah menaikan
harga BBM karena yang menjadi korbannya nanti adalah ratusan juta rakyat
Indonesia. Cari dong cara lain yang ada nilai tambahnya," katanya.
Rizal menambahkan, masih banyak cara lain untuk mengurangi defisit
neraca perdagangan selain dari menaikan harga BBM bersubsidi. Cara
pertama, yakni subsidi silang dengan menaikan harga BBM nonsubsidi
seperti Pertamax dan Pertamax Plus. Sedangkan harga premium masih tetap,
tetapi kandungan oktan diturunkan.
Menurut dia, premium di Indonesia terlalu "mewah" karena kandungan
oktan mencapai 88, dan jauh lebih tinggi dibandingkan jenis serupa di
Amerika Serikat sekali pun yang oktannya hanya 86.
Ia meyakini cara tersebut bisa menurunkan konsumsi BBM subsidi
sekitar 40 persen karena pemilik mobil mewah yang biasa ikut "menyedot"
BBM subsidi takut mobilnya rusak.
"BBM rakyat ini masih tetap bisa digunakan untuk motor, angkot dan
nelayan, tapi untuk mobil mewah akan cepat rusak. Dari subsidi silang
ini, konsumsi BBM subsidi dari 55 persen akan turun jadi 40 persen dan
pemerintah untung Rp 40 triliun dari subsidi silang," katanya.
Cara kedua, pemerintah perlu benahi mekanisme "cost recovery" dari
industri migas yang terlalu menguntungkan perusahaan, khususnya
kontraktor asing. Sebabnya, kontrak bagi hasil produksi yang mengatur
"cost recovery" sangat tidak adil dan rawan terjadi korupsi, dimana
kontraktor bisa membebankan biaya produksi sampai biaya main golf dan
pasang iklan di media massa kepada negara.
"Dari pembenahan cost recovery migas, pemerintah bisa hemat
Rp 64 triliun. Ketika saya menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi
pada 2012 terhadap gugatan Undang-undang Migas, saya mempertanyakan
kenapa produksi migas turun 40 persen, tapi biaya cost recovery naik 200 persen. Benahi itu, kita bisa hemat 30 persen," ujarnya.
"Cara lainnya adalah sikat itu mafia migas, kita bisa hemat Rp 100
miliar dan bangun kilang pengolahan BBM kita bisa hemat berpuluh-puluh
triliun rupiah daripada terus-terusan menguntungkan kilang Singapura dan
bayar pajak ke Singapura," lanjut Rizal Ramli. [antara]
MUNGKIN INI SOLUSI YANG LEBIH BAIK. ATAU DIBUATKAN SAJA DI POM2 BENSIN YANG SUDAH ADA DIBUATKAN JALUR KHUSUS YANG HANYA BISA DIMASUKI SEPEDA MOTOR YANG HARGANYA MASIH HARGA SUBSIDI DAN BELINYA DIBATASI.
BalasHapus