Sabtu, 11 Oktober 2014

Daripada Menaikkan Harga BBM, Turunkan Saja Kandungan Oktan di Premium

Pengamat ekonomi yang juga mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli, mengatakan, kebijakan yang tidak hati-hati dalam menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bisa menjadi "bumerang" bagi pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi).
"Kalau tak hati-hati dan BBM naik sampai Rp 3.500, maka harga premium bisa mencapai Rp 10.000 dan itu akan lebih tinggi dari harga keekonomian karena biaya produksi hanya sekitar Rp 2.800 per liter. Itu sama saja pemerintah melawan konstitusi, dan bukan tidak mungkin presiden bisa di-impeach oleh Koalisi Merah Putih di DPR," kata Rizal Ramli dalam sarasehan Tata Kelola Migas di kampus Universitas Riau, Pekanbaru, Sabtu (11/10/2014).
Rizal meminta Jokowi untuk menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945 dengan tetap menjamin agar harga bahan kebutuhan pokok tetap murah bagi rakyat, dan harganya tidak boleh sama dengan harga internasional. Apalagi, Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004, mengeluarkan putusan yang membatalkan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Migas 2001 yang berbunyi, "harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar."
Artinya, aturan dalam UU Migas itu tidak punya kekuatan hukum dan jika ada upaya-upaya pemerintah tetap menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar bebas, maka hal itu sama dengan melanggar konstitusi.
"Saya tetap berprinsip, masih ada cara lain untuk mencegah menaikan harga BBM karena yang menjadi korbannya nanti adalah ratusan juta rakyat Indonesia. Cari dong cara lain yang ada nilai tambahnya," katanya.
Rizal menambahkan, masih banyak cara lain untuk mengurangi defisit neraca perdagangan selain dari menaikan harga BBM bersubsidi. Cara pertama, yakni subsidi silang dengan menaikan harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan Pertamax Plus. Sedangkan harga premium masih tetap, tetapi kandungan oktan diturunkan.
Menurut dia, premium di Indonesia terlalu "mewah" karena kandungan oktan mencapai 88, dan jauh lebih tinggi dibandingkan jenis serupa di Amerika Serikat sekali pun yang oktannya hanya 86.
Ia meyakini cara tersebut bisa menurunkan konsumsi BBM subsidi sekitar 40 persen karena pemilik mobil mewah yang biasa ikut "menyedot" BBM subsidi takut mobilnya rusak.
"BBM rakyat ini masih tetap bisa digunakan untuk motor, angkot dan nelayan, tapi untuk mobil mewah akan cepat rusak. Dari subsidi silang ini, konsumsi BBM subsidi dari 55 persen akan turun jadi 40 persen dan pemerintah untung Rp 40 triliun dari subsidi silang," katanya.
Cara kedua, pemerintah perlu benahi mekanisme "cost recovery" dari industri migas yang terlalu menguntungkan perusahaan, khususnya kontraktor asing. Sebabnya, kontrak bagi hasil produksi yang mengatur "cost recovery" sangat tidak adil dan rawan terjadi korupsi, dimana kontraktor bisa membebankan biaya produksi sampai biaya main golf dan pasang iklan di media massa kepada negara.
"Dari pembenahan cost recovery migas, pemerintah bisa hemat Rp 64 triliun. Ketika saya menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi pada 2012 terhadap gugatan Undang-undang Migas, saya mempertanyakan kenapa produksi migas turun 40 persen, tapi biaya cost recovery naik 200 persen. Benahi itu, kita bisa hemat 30 persen," ujarnya.
"Cara lainnya adalah sikat itu mafia migas, kita bisa hemat Rp 100 miliar dan bangun kilang pengolahan BBM kita bisa hemat berpuluh-puluh triliun rupiah daripada terus-terusan menguntungkan kilang Singapura dan bayar pajak ke Singapura," lanjut Rizal Ramli.  [antara]

1 komentar:

  1. MUNGKIN INI SOLUSI YANG LEBIH BAIK. ATAU DIBUATKAN SAJA DI POM2 BENSIN YANG SUDAH ADA DIBUATKAN JALUR KHUSUS YANG HANYA BISA DIMASUKI SEPEDA MOTOR YANG HARGANYA MASIH HARGA SUBSIDI DAN BELINYA DIBATASI.

    BalasHapus