Sebelum memulai tulisan ini, saya ingin menyatakan bahwa artikel saya ini bukan dibuat oleh tim. In Sya Allah karya ini asli, bukan kebohongan intelektualitas demi popularitas.
Memang, akhir-akhir ini agak sulit memastikan keaslian sebuah artikel opini. Bisa jadi, orang yang mengaku sebagai penulis hanya menyampaikan pokok-pokok pikirannya saja, sedangkan timlah yang merumuskan kata-katanya.
Saya ulangi sekali lagi, tulisan ini adalah karya yang ditulis sendiri. Banyak waktu untuk merumuskan tulisan ini, kendati saya belum dalam masa cuti.
Di dunia kerja, terutama media, mengajukan izin cuti memang tak pernah mudah, terlebih cuti ratusan hari. Jika mau mendapat cuti panjang yang mudah, barangkali lebih baik banting setir saja menjadi politisi.
Bayangkan saja, DPR bisa dibuat sepi karena anggotanya izin obral janji. Seorang gubernur seperti Jokowi pun hanya dalam hitungan hari bisa mengajukan cuti panjang demi misinya duduk di Istana Negara. Hebatnya lagi, semasa cuti itu para politisi dan gubernur ini tetap bisa menerima gaji yang uangnya dari keringat rakyat.
Tapi bukan berarti dengan cuti waktu politisi ini jadi lebih luang. Tengok saja yang dialami Jokowi. Dia sampai tak punya waktu untuk menuliskan tulisannya sendiri di sebuah media.
Dia perlu tangan-tangan pembantu untuk menghasilkan karya jurnalistik yang memiliki identitas penulis Jokowi semata. Terserah, apakah orang mau bilang itu wajar atau sebuah penipuan akademis. Masing-masing orang tentunya punya penafsiran pribadi.
Berbicara soal Jokowi, maka kita akan berbicara seseorang yang makin sulit diterka. Pada awal kemungculannya, banyak publik termasuk saya, akan mudah menerka siapa sosok pria asal Solo itu.
Sosok yang paling mudah diterka adalah sikap Jokowi yang out of the box. Dia mendobrak kemapanan pejabat dan birokrat di tanah air.
Bila sebelumnya pemimpin erat dengan jalur birokratis dan tetek bengek protokoler, Jokowi jadi antitesisnya. Dia bukan pemimpin yang sulit untuk dijangkau. Sebaliknya, Jokowi justru yang datang menjumpai rakyat. Maka akhirnya dikenal istilah blusukan sebagai trade mark Jokowi.
Bisa dikata, Jokowi adalah pejabat dengan tampilan rakyat jelata. Berkat tingkah polahnya itu Jokowi dapat simpati. Alasan lain orang menyukai Jokowi adalah gayanya yang tak neko-neko. Jokowi bukan pemimpin yang bersuara keras. Dia pun bukan pemimpin yang reaksioner pada pengkritik dan penghujat. Mungkin fans Jokowi yang justru jauh lebih reaksioner dibanding Jokowi sendiri.
Namun semakin hari, Jokowi malah tidak bisa ditebak. Terutama antara kata yang dia ucapkan dan perbuatan yang bertolakbelakang. Simak saja, awal tahun ini Jokowi sempat berujar bahwa dia tak mau bicara soal "copras-capres." Menurutnya, dia lebih mementingkan mengurusi banjir dan kemacetan di Ibu Kota.
Faktanya kini, urusan "copras-capres" jadi kesibukannya nomor satu. Urusan banjir dan kemacetan? Jawabannya cuti dulu.
Saya pun ingin mengutip ucapan Jokowi dalam jumpa pers di rumah Megawati Soekarnoputri pada 20 September 2012. Saat itu dia mengatakan akan memimpin Jakarta selama lima tahun dan tidak menjadi kutu loncat dengan mengikuti Pemilu 2014. Faktanya? Nilai saja sendiri kini.
Dan yang terbaru, Jokowi mengatakan akan membuat koalisi yang ramping demi efektifitas pemerintahan. Namun hanya dalam hitungan hari, ucapan itu tak terbukti. Koalisi ramping pun jadi makin gembrot dengan bergabungnya Partai Golkar.
Sulit rasanya menerka maksud dari ucapan dan janji Jokowi. Sebab nyatanya, ucapan dan perbuatan tak melulu sama. Sebuah sikap yang bisa menjadi bumerang bagi Jokowi dalam kontestasi pemilihan presiden 2014.
Namun apapun itu, Jokowi bisa bernafas lega karena kalaupun dirinya gagal di bursa presiden, dia masih punya pekerjaan. Jabatan pun masih di tangan. Sebab faktanya, dia masih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hanya saja, sedang cuti demi mengadu untung di Pilpres.
Rasanya, lagu Koes Plus berjudul "Kembali ke Jakarta" pantas dinyanyikan Jokowi, apapun hasil Pemilu Presiden 9 Juli nanti. "Ke Jakarta aku kan kembali....Walaupun apa yang kan terjadi....". [Abdullah Sammy/republika]
POLITIK ITU CAIR DAN CENDERUNG DINAMIS, POLITIK ITU BUKAN SUATU KONSISTENSI dan sharusnya penulis tau akn hal itu!
BalasHapus