Selasa, 25 Maret 2014

Jokowi = Inul

Joko Widodo (Jokowi) itu fenomenal. Politisi PAN Dr Didik J Rachbini menyebut fenomena Jokowi mirip Inul Daratista, penyanyi dangdut bertitel goyang ngebor.
Inul datang dari sebuah kampung di Sidoarjo, Jawa Timur, datang ke Jakarta dengan modal talenta goyang ngebor dan nyanyi dangdut. Di Ibukota, Inul harus berhadapan dengan raja dan ratu yang sudah establish berpuluh-puluh tahun. Para raja dan ratu ini merasa tak pernah tergoyahkan, apalagi terkalahkan oleh pendatang baru.
Ternyata publik menerima Inul dengan kedua tangan terbuka. Bahkan penampilannya menyedot perhatian publik. Di mana pun Inul tampil selalu dielu-elukan publik. Bukan hanya pecinta lagu dangdut tetapi juga para broadcaster yang melihat Inul sebagai tambang emas baru dalam dunia hiburan.
Akibatnya, para raja dan ratu yang sudah mulai karatan dimakan usia itu, merasa terganggu. Mereka mulai bikin gerakan menghabisi Inul dengan beragam alasan. Ada yang bilang kehadiran Inul telah merusak nama baik dunia perdangdutan. Ada juga yang bilang ‘’goyang ngebor’’-nya mengundang syahwat laki-laki. Karena itu, goyang ngebor dianggap bisa merusak moral.
Yang mengejutkan, semakin disudutkan dan dihabisi Inul justru makin eksis dan kian berkibar. Mereka yang semula ikut-ikutan mengutuk justru berbalik jadi penikmat ‘’goyang ngebor.’’ Mereka menjadikan Inul sebagai penghibur baru yang memberikan nuansa dan kesegaran baru. Inilah fenomena Inul.
Di jagat politik, Jokowi kurang lebih dipandang sama dengan Inul di dunia hiburan. Jokowi di mata para elite politik di Jakarta tak lebih dari seorang walikota dari kota kecil Solo. Nama Jokowi memang tak pernah ada di peta politik nasional. Bahkan salah seorang pengurus DPP Partai Demokrat menolak ketika diminta mengusulkan nama Jokowi agar dimasukkan dalam daftar calon menteri pengganti Menpera Suharso Manoarfa ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Nama Dahlan Iskan muncul dalam daftar nama calon menteri yang akan digodok Presiden SBY bersama timnya. Dan, benar-benar dipilih Presiden SBY uuntuk menempati pos Meneg BUMN. Nama Jokowi tidak ada. Ini fakta empiris bahwa orang Jakarta, baik orang partai maupun para petinggi di jajaran pemerintahan sangat meremehkan Jokowi.
Ketika nama Jokowi muncul sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pun, orang Jakarta masih menganggap sebelah mata. Apalagi Jokowi sendiri tak pernah melakukan proses pencitraan melalui media promosi modern. Yang dilakukan Jokowi sangat konvensional seperti yang selalu dilakukannya selama 7 tahun menjadi Walikota Solo, yakni blusukan ke kampung-kampung.
Pada zaman Presiden Soeharto, model komunikasi politik semacam ini disebut komunikasi sambung rasa. Komunikasi tatap muka langsung antara komunikator dengan komunikan. Sebuah model komunikasi purba yang memberikan tempat sejajar antara komikan dengan komunikator. Model komunikasi yang memungkinkan saling ‘’ngewongke’’ alias saling menghargai secara adil. Melalui model komunikasi politik konvensional ini Jokowi berhasil membeli hati rakyat.
Para elite politik di Jakarta sepertinya tak sensitif terhadap perubahan arus besar mengenai sudut pandang masyarakat terhadap para pemimpinnya. Masyarakat di kota-kota besar, bahkan di desa sudah bosan melihat tokoh-tokoh yang memposisikan dirinya sebagai pemimpin formal, tetapi hanya sibuk dengan aneka ragam retorika dan pencitraan diri. Orang-orang macam ini oleh sebagian besar masyarakat tak lagi dianggap sebagai pemimpin, tetapi pembual.
Karena itu, ketika muncul sosok Jokowi yang berwajah desa, tetapi memiliki karakter yang dirindukan publik, yaitu bersahaja, tampil apa adanya, menyapa siapapun dengan tulus, selalu berani mengakui kekurangan dan menyampaikan apa yang akan dia lakukan untuk mengatasi kekurangan itu.
Lebih dari itu, Jokowi juga pendengar yang sangat cerdas. Ia akan mendengarkan dengan sangat serius siapapun lawan bicaranya dan Jokowi tak pernah memotong pembicaraan siapapun termasuk suara yang muncul dari mulut rakyat ketika dia melakukan komunikasi sambung rasa pada event blusukan.
Mantan walikota Solo ini kini sudah resmi calon Presiden RI dari PDI Perjuangan. Lawan politik partai ini masih tetap menganggap Jokowi bukan apa-apa. Itu sah-sah saja. Tetapi fenomena Jokowi kian menarik untuk terus dicermati hinggga akhir musim kampanye legislatif nanti.

Sumber :
inilah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar