Sepekan ini, obrolan masyarakat Indonesia soal politik makin panas.
Terlebih, setelah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) memastikan
maju sebagai calon presiden (capres).
Pro dan kontra pun muncul di masyarakat. Pada akhirnya obrolan warung kopi kini lebih didominasi oleh pro kontra soal Jokowi.
Politik
pun untuk sementara mencuri perhatian masyarakat melebihi sepak bola.
Secara jujur, saya pribadi juga sangat ingin menuliskan tentang
pencapresan Jokowi.
Namun, berhubung halaman yang saya isi ini
adalah halaman Piala Dunia 2014 maka saya pun sementara harus menahan
syahwat menguliti calon gubernur DKI Jakarta dengan masa jabatan
tersingkat itu.
Pilihan SulitYa, lupakan
sejenak soal Jokowi. Mari fokus pada gelaran Piala Dunia 2014 yang kini
tinggal menyisakan kurang beberapa hari lagi sebelum kick-off perdananya.
Di tengah persiapan Piala Dunia itu, para pemain sedang dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pilihan itu adalah klub atau negara.
Sudah
bukan rahasia bahwa sebagian pemain yang akan berlaga di Piala Dunia
Brasil kini sedang sibuk-sibuknya bermain di klubnya masing-masing.
Liga sepak bola, seperti Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, dan
Liga Italia, sedang memasuki fase-fase krusial. Di tiga liga itu,
mayoritas pemain peserta Piala Dunia 2014 berkecimpung.
Karena
liga memasuki fase yang krusial, para pemain yang memperkuat klub pun
dituntut untuk total. Alhasil, karena dituntut bermain all out, pemain menjadi riskan terhantam cedera yang mengancam keikutsertaan mereka di Piala Dunia.
Contoh
teranyar adalah gelandang timnas Belanda, Kevin Strootman, yang
memperkuat AS Roma. Strootman, pekan lalu, dihantam cedera setelah
bermain dalam laga keras antara AS Roma versus Napoli.
Apa yang
dialami Strootman juga terancam dialami pemain lain yang diandalkan
negara peserta Piala Dunia. Walhasil, negara peserta Piala Dunia 2014
menjadi harap-harap cemas menyaksikan pemainnya berlaga di klub.
Namun,
ancaman cedera tak lantas membuat negara peserta itu nekat menarik
pemainnya dari klub. Sebab, para pemain memang punya kewajiban kepada
klubnya dalam jangka waktu sesuai kontrak. Tak ada alasan yang bisa
membuat pemain mundur di tengah jalan demi memperkuat negaranya.
Rebutan Pemain
Sebab,
FIFA punya aturan main soal pelepasan pemain untuk memperkuat negara.
Walau FIFA sudah punya aturan, pelepasan pemain dari klub ke timnas
tetap saja mengundang polemik.
Contoh teranyar adalah konflik antara pelatih Juventus Antonio Conte
dengan Cesare Prandelli. Keduanya berkonflik soal etis atau tidaknya
timnas Italia memanggil Giorgio Chiellini untuk memperkuat panji negara.
Prandelli
merasa sikap Juventus yang menolak melepas Chiellini ke timnas Italia
sangat tak berdasar. Menurutnya, adalah hak negara untuk memanggil
anak-anak terbaiknya.
Terlebih, Prandelli merasa Chiellini sangat dibutuhkan Italia untuk
persiapan menuju Piala Dunia 2014. Conte justru berpikir sebaliknya.
Selaku
pelatih Chiellini di level klub, Conte paham betul bahwa pemainnya
belum dalam kondisi layak untuk memperkuat Italia ke timnas. Sebab, saat
itu ada sejumlah kewajiban dasar yang belum ditunaikan Chiellini.
Kewajiban
dasar itu adalah pemulihan cedera kaki kiri Chiellini. Conte sadar
kondisi fisik Chiellini masih cedera, sehingga pemanggilannya tak akan
bermanfaat banyak bagi Italia maupun Juventus.
Menurut Conte,
alangkah lebih baik jika Chiellini merampungkan sendiri kondisi fisiknya
agar kelak dia bisa memperkuat Italia secara maksimal. Sebaliknya, jika
Chiellini tetap memaksakan bermain bersama Italia, Conte khawatir
cedera Chiellini akan semakin parah dan bisa memupuskan harapannya di
Piala Dunia.
Di tengah polemik itu, Prandelli tetap memaksa
memanggil Chiellini untuk persiapan laga persahabatan kontra Spanyol
pada awal Maret ini. Pada akhirnya, Prandelli pun tahu kondisi Chiellini
memang belum fit. Bek jangkung itu pun tak dimainkannya semenit pun di
laga kontra Spanyol.
Contoh Nyata
Konflik
antara Conte dan Prandelli bisa jadi hanya sepenggal contoh bagaimana
kepentingan negara dan klub berkompromi. Sebab, tak selamanya klub bisa
membatasi peluang pemain memperkuat negaranya di Piala Dunia.
Sebaliknya, tampil baik bersama klub adalah jembatan pemain untuk tampil
baik di Piala Dunia.
Sebagai contoh nyata, simak fakta
bintang-bintang Piala Dunia berikut ini. Pada 1994 Romario tampil baik
bersama klubnya Barcelona hingga menjadi finalis Liga Champions 1994.
Penampilan baik Romario bersama Barcelona itu berbuah manis bagi
Brasil dua bulan berselang. Sebab, Romario jadi kunci bagi Tim Samba
saat merebut Piala Dunia keempatnya.
Pada 1998 giliran Zinedine
Zidane yang mencatatkan performa impresif bersama klubnya Juventus. Saat
itu, Zidane sukses mengantarkan si Nyonya Tua meraih gelar Liga Italia
dan finalis Liga Champions 1998. Performa maksimal di Juventus berbuah
manis buat Prancis yang menjadi juara dunia di tahun yang sama.
Pada 2002, Ronaldo tampil baik bersama Inter Milan yang menjadi runner-up Seri A. Dua bulan berselang, Ronaldo menjadi bintang Piala Dunia yang mentantarkan Brasil juara.
Pun halnya pada 2006 dan 2010. Pada 2006 deretan pemain Juventus yang merajai Italia menjadi kunci Azzurri meraih titel Piala Dunia. Dan, pada 2010 giliran pemain Barcelona yang saat itu berjaya di La Liga menjadi kunci Tim Matador meraih gelar pertama Piala Dunia.
Semua
itu menjadi bukti bahwa prestasi di klub akan berimbas manis ke negara
peserta Piala Dunia. Karenanya, tak ada alasan bagi seorang pemain
profesional untuk meninggalkan klubnya di tengah jalan demi persiapan
Piala Dunia.
Situasi seorang pemain sepak bola ini jelas berbeda dengan seorang gubernur Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar