Selasa, 25 Maret 2014

Jokowi dan Piala Dunia

Sepekan ini, obrolan masyarakat Indonesia soal politik makin panas. Terlebih, setelah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) memastikan maju sebagai calon presiden (capres).
Pro dan kontra pun muncul di masyarakat. Pada akhirnya obrolan warung kopi kini lebih didominasi oleh pro kontra soal Jokowi.
Politik pun untuk sementara mencuri perhatian masyarakat melebihi sepak bola. Secara jujur, saya pribadi juga sangat ingin menuliskan tentang pencapresan Jokowi.
Namun, berhubung halaman yang saya isi ini adalah halaman Piala Dunia 2014 maka saya pun sementara harus menahan syahwat menguliti calon gubernur DKI Jakarta dengan masa jabatan tersingkat itu.

Pilihan SulitYa, lupakan sejenak soal Jokowi. Mari fokus pada gelaran Piala Dunia 2014 yang kini tinggal menyisakan kurang beberapa hari lagi sebelum kick-off perdananya.
Di tengah persiapan Piala Dunia itu, para pemain sedang dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pilihan itu adalah klub atau negara.
Sudah bukan rahasia bahwa sebagian pemain yang akan berlaga di Piala Dunia Brasil kini sedang sibuk-sibuknya bermain di klubnya masing-masing. Liga sepak bola, seperti Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, dan Liga Italia, sedang memasuki fase-fase krusial. Di tiga liga itu, mayoritas pemain peserta Piala Dunia 2014 berkecimpung.
Karena liga memasuki fase yang krusial, para pemain yang memperkuat klub pun dituntut untuk total. Alhasil, karena dituntut bermain all out, pemain menjadi riskan terhantam cedera yang mengancam keikutsertaan mereka di Piala Dunia.
Contoh teranyar adalah gelandang timnas Belanda, Kevin Strootman, yang memperkuat AS Roma. Strootman, pekan lalu, dihantam cedera setelah bermain dalam laga keras antara AS Roma versus Napoli.
Apa yang dialami Strootman juga terancam dialami pemain lain yang diandalkan negara peserta Piala Dunia. Walhasil, negara peserta Piala Dunia 2014 menjadi harap-harap cemas menyaksikan pemainnya berlaga di klub.
Namun, ancaman cedera tak lantas membuat negara peserta itu nekat menarik pemainnya dari klub. Sebab, para pemain memang punya kewajiban kepada klubnya dalam jangka waktu sesuai kontrak. Tak ada alasan yang bisa membuat pemain mundur di tengah jalan demi memperkuat negaranya.

Rebutan Pemain
Sebab, FIFA punya aturan main soal pelepasan pemain untuk memperkuat negara. Walau FIFA sudah punya aturan, pelepasan pemain dari klub ke timnas tetap saja mengundang polemik.
Contoh teranyar adalah konflik antara pelatih Juventus Antonio Conte dengan Cesare Prandelli. Keduanya berkonflik soal etis atau tidaknya timnas Italia memanggil Giorgio Chiellini untuk memperkuat panji negara.
Prandelli merasa sikap Juventus yang menolak melepas Chiellini ke timnas Italia sangat tak berdasar. Menurutnya, adalah hak negara untuk memanggil anak-anak terbaiknya.
Terlebih, Prandelli merasa Chiellini sangat dibutuhkan Italia untuk persiapan menuju Piala Dunia 2014. Conte justru berpikir sebaliknya.
Selaku pelatih Chiellini di level klub, Conte paham betul bahwa pemainnya belum dalam kondisi layak untuk memperkuat Italia ke timnas. Sebab, saat itu ada sejumlah kewajiban dasar yang belum ditunaikan Chiellini.
Kewajiban dasar itu adalah pemulihan cedera kaki kiri Chiellini. Conte sadar kondisi fisik Chiellini masih cedera, sehingga pemanggilannya tak akan bermanfaat banyak bagi Italia maupun Juventus.
Menurut Conte, alangkah lebih baik jika Chiellini merampungkan sendiri kondisi fisiknya agar kelak dia bisa memperkuat Italia secara maksimal. Sebaliknya, jika Chiellini tetap memaksakan bermain bersama Italia, Conte khawatir cedera Chiellini akan semakin parah dan bisa memupuskan harapannya di Piala Dunia.
Di tengah polemik itu, Prandelli tetap memaksa memanggil Chiellini untuk persiapan laga persahabatan kontra Spanyol pada awal Maret ini. Pada akhirnya, Prandelli pun tahu kondisi Chiellini memang belum fit. Bek jangkung itu pun tak dimainkannya semenit pun di laga kontra Spanyol.

Contoh Nyata

Konflik antara Conte dan Prandelli bisa jadi hanya sepenggal contoh bagaimana kepentingan negara dan klub berkompromi. Sebab, tak selamanya klub bisa membatasi peluang pemain memperkuat negaranya di Piala Dunia. Sebaliknya, tampil baik bersama klub adalah jembatan pemain untuk tampil baik di Piala Dunia.
Sebagai contoh nyata, simak fakta bintang-bintang Piala Dunia berikut ini. Pada 1994 Romario tampil baik bersama klubnya Barcelona hingga menjadi finalis Liga Champions 1994.
Penampilan baik Romario bersama Barcelona itu berbuah manis bagi Brasil dua bulan berselang. Sebab, Romario jadi kunci bagi Tim Samba saat merebut Piala Dunia keempatnya.
Pada 1998 giliran Zinedine Zidane yang mencatatkan performa impresif bersama klubnya Juventus. Saat itu, Zidane sukses mengantarkan si Nyonya Tua meraih gelar Liga Italia dan finalis Liga Champions 1998. Performa maksimal di Juventus berbuah manis buat Prancis yang menjadi juara dunia di tahun yang sama.
Pada 2002, Ronaldo tampil baik bersama Inter Milan yang menjadi runner-up Seri A. Dua bulan berselang, Ronaldo menjadi bintang Piala Dunia yang mentantarkan Brasil juara.
Pun halnya pada 2006 dan 2010. Pada 2006 deretan pemain Juventus yang merajai Italia menjadi kunci Azzurri meraih titel Piala Dunia. Dan, pada 2010 giliran pemain Barcelona yang saat itu berjaya di La Liga menjadi kunci Tim Matador meraih gelar pertama Piala Dunia.
Semua itu menjadi bukti bahwa prestasi di klub akan berimbas manis ke negara peserta Piala Dunia. Karenanya, tak ada alasan bagi seorang pemain profesional untuk meninggalkan klubnya di tengah jalan demi persiapan Piala Dunia.
Situasi seorang pemain sepak bola ini jelas berbeda dengan seorang gubernur Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar