Selasa, 25 Maret 2014

Menakar Jokowi dan Prabowo

Menakar Jokowi dan Prabowo tentunya menarik, karena hingga detik ini, menurut saya, hanya dua figur ini yang  bakal bersaing ketat dalam pemilihan presiden yang bakal dihelat Juli 2014. Diluar kedua figur ini, barangkali hanyalah figuran yang hanya meramaikan perhelatan pemilihan presiden tersebut.
Figur Jokowi tentunya diharapkan bakal menaikkan elektabilitas PDI Perjuangan dalam pemilihan legislatif yang dihelat 9 April 2014. Begitu juga halnya dengan Prabowo, tak kebayang jika partai Gerindra tak ada mantan komandan Kopasus itu.
Barangkali Gerindra bakal ambruk, dan tak lolos ambang batas partai yang boleh ikut pemilu.
Itulah bedanya Jokowi dengan Prabowo.
PDI P tanpa Jokowi, boleh jadi masih bisa bernapas. Partai bergambar banteng moncong putih itu, barangkali tanpa kehadiran Jokowi - misalnya tak dicalonkan menjadi R1 - tetap bakal mendulang suara besar. Bersaing dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Berbeda halnya dengan Partai Gerindra, tanpa kehadiran Prabowo. Boleh jadi partai ini bakal menjadi partai gurem. Dan pada pemilihan berikutnya tak bakal bisa ikut pemilu.
Itu sebabnya Prabowo sangat vital bagi partai berlambang burung garuda ini.
Cuma, tanpa Jokowi, jika tak dicalonkan menjadi R1, maka PDI P barangkali , dalam pemilihan presiden bakal kalah. Bakal menjadi oposisi lagi selama lima tahun lagi.
Itu sebabnya Jokowi dijagokan menjadi capres oleh PDI P, karena berdasarkan survei berbagai lembaga namanya selalu menjadi nomor satu.
Singkatnya kedua figur itu begitu dibutuhkan untuk meningkatkan elektabilitas partai. Cuma boleh jadi kadarnya lebih kuat Prabowo dibandingkan Jokowi.
Hanya, selain menang dalam survei-survei, Jokowi barangkali tidak terlalu memiliki beban sejarah atau masa lalu yang berat dibandingkan Prabowo.
Prabowo masih dikait-kaitkan dengan penculikan mahasiswa menjelang runtuhnya rejim orde baru serta kerusuhan Mei 1998. Dua hal yang senantiasa dituduhkan kepada Prabowo, selain kudeta yang hendak dilakukan kepada presiden Habibie.
Tuduhan yang tentu saja menjadi beban sejarah yang tidak sedikit mempengaruhi elektabilitasnya di mata masyarakat.
Jokowi, sesungguhnya bukan tidak memiliki beban sejarah.
Keputusannya meninggalkan jabatan gubernur Jakarta yang belum separuh ia lakoni, bakal menjadi catatan tersendiri, khususnya bagi warga ibukota.
Namun diantara calon-calon presiden yang sudah beredar meski pemilihan legislatif (pileg) belum berlangsung, boleh jadi, figur Jokowi dan Prabowo menjadi terdepan. Yang lain cuma figuran. Kalaupun , ya…, paling banter,  menjadi kuda hitam. Wallahu alam.

Dikutip dari :
Tulisan Deni Hamkamijaya untuk Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar