Selasa, 13 Mei 2014

Politik Transaksional Jelang Pilpres

Melihat hasil perhitungan suara dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014, perolehan suara partai politik hampir merata dan tidak ada satupun partai politik yang mencapai angka 20 % perolehan suara untuk perebutan kursi DPR, sehingga partai politik yang ingin mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pilpres mendatang dipastikan harus melakukan koalisi dengan partai lain.
Menjelang Pemilihan Presiden, beberapa partai politik sedang gencar melakukan komunikasi politik untuk penjajakan koalisi.
Saat ini, beberapa partai sudah mendeklarasikan hasil komunikasi politiknya dalam artian resmi berkoalisi, diantaranya: PDIP memperoleh dukungan dari Nasdem dan PKB, sedangkan Partai Gerindra saat ini resmi mendapat dukungan dari PPP dan sedang membangun komunikasi dengan PAN meskipun belum resmi dideklarasikan akan tetapi hampi 99 % akan mengarah pada koalisi dalam Pilpres 2014.
Seperti pernyatakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra  Fadli Zon :"Penjajakan koalisi Gerindra dengan Partai Amanat Nasional (PAN) hampir final, Sudah 99 persen. dalam waktu dekat akan diumumkan".
Dengan maraknya komunikasi politik yang dibangun oleh Parpol peserta Pemilu, koalisi politik transaksional dalam Pemilu Presiden 2014 sangatlah berpeluang terjadi, mengingat tidak adanya salah satu partai peserta Pemilu yang mendominasi perolehan suara dalam Pemilu Legislatif.
Seperti diketahui bersama politik transaksional sangatlah berbahaya dan berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Senada dengan hal tersebut Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berharap partai politik tidak terjebak pada politik transaksional. Menurutnya, politik dagang sapi semacam itu sangat membahayakan demokrasi Indonesia.
Dalam sebuah wawancara dengan Michello Loebuis, SBY pada 5 Mei 2014 lalu,  mengatakan bahwa gaya politik transaksional itu ibarat racun yang sangat mematikan bagi Demokrasi Indonesia.
Selain mematikan demokrasi, politik transaksional juga berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Hal tersebut terlihat dari beberapa kasus-kasus pejabat dan politisi yang terjebak dalam kasus yang menghianati amanah rakyat tersebut.
Politik transaksional dikatakan dapat melahirkan pemimpin dan politisi korup karena sifat dan gaya yang berpedoman pada nilai-nilai ekonomi dan transaksi yang berujung pada keuntungan pribadi.  Realitas tersebutlah  yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia politik itu sarat dengan tukar-menukar jasa, atau dalam bahasa perniagaan (transaksional). Artinya, ada tukar-menukar jasa dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik.
Dengan demikian, semakin banyaknya politikus yang terjerembab dalam skandal korupsi, menunjukkan kepada publik akan praktik politik transaksional tersebut.
Berdasarkan hasil pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan Marxisme, mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya.
Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan.
Logika politik transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut memengaruhi jalannya kehidupan politik menjelang Pemilu Presiden 2014.
Meski demikian, mewaspadai politik transaksional merupakan keharusan bagi seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai otoritas hak suara dalam pesta demokrasi. Sehingga naluri dan kewaspadaan dalam memilih calon Presiden harus benar-benar dikuatkan dalam setian pribadi calon pemilih, untuk mencegah pemimpin-pemimpin yang korup.
Dalam perkembangan koalisi menjelang Pemilu Presiden masyarakat harus lebih jeli dan peduli dalam melihat partai politik dalam penjajakan serta komunikasinya. Partai politik yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat harus dicoret dari daftar kandidat yang hendak dipilih, karena motifnya sudah mengarah pada keuntungan bukan menjalankan amanat rakyat.
Selain dari penjajakan koalisi, visi misi kandidat yang nantinya akan maju sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden juga perlu untuk dikaji. Jangan hanya melihat banyaknya janji yang diumbar karena mustahil akan terpeneuhi. Hal yang paling cermat untuk mengkaji visi misi tersebut, skala prioritas yang menjadi PR dalam visi misi tersebutlah yang perlu untuk di bahas.
Apakah prioritas tersebut menjadi masalah utama bangsa Indonesia dan apakah hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan melakukan beberpa hal diatas diharapkan calon-calon pemimpin yang korup akan gugur dan tidak mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia.  [tribun]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar