Melihat hasil perhitungan suara dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014,
perolehan suara partai politik hampir merata dan tidak ada satupun
partai politik yang mencapai angka 20 % perolehan suara untuk perebutan
kursi DPR, sehingga partai politik yang ingin mengajukan calon Presiden
dan Wakil Presiden dalam Pilpres mendatang dipastikan harus melakukan
koalisi dengan partai lain.
Menjelang Pemilihan Presiden,
beberapa partai politik sedang gencar melakukan komunikasi politik untuk
penjajakan koalisi.
Saat ini, beberapa partai sudah mendeklarasikan
hasil komunikasi politiknya dalam artian resmi berkoalisi, diantaranya:
PDIP memperoleh dukungan dari Nasdem dan PKB, sedangkan Partai Gerindra
saat ini resmi mendapat dukungan dari PPP dan sedang membangun
komunikasi dengan PAN meskipun belum resmi dideklarasikan akan tetapi
hampi 99 % akan mengarah pada koalisi dalam Pilpres 2014.
Seperti
pernyatakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon :"Penjajakan
koalisi Gerindra dengan Partai Amanat Nasional (PAN) hampir final, Sudah
99 persen. dalam waktu dekat akan diumumkan".
Dengan maraknya
komunikasi politik yang dibangun oleh Parpol peserta Pemilu, koalisi
politik transaksional dalam Pemilu Presiden 2014 sangatlah berpeluang
terjadi, mengingat tidak adanya salah satu partai peserta Pemilu yang
mendominasi perolehan suara dalam Pemilu Legislatif.
Seperti
diketahui bersama politik transaksional sangatlah berbahaya dan
berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Senada dengan hal
tersebut Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
berharap partai politik tidak terjebak pada politik transaksional.
Menurutnya, politik dagang sapi semacam itu sangat membahayakan
demokrasi Indonesia.
Dalam sebuah wawancara dengan Michello
Loebuis, SBY pada 5 Mei 2014 lalu, mengatakan bahwa gaya politik
transaksional itu ibarat racun yang sangat mematikan bagi Demokrasi
Indonesia.
Selain mematikan demokrasi, politik transaksional juga
berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Hal tersebut
terlihat dari beberapa kasus-kasus pejabat dan politisi yang terjebak
dalam kasus yang menghianati amanah rakyat tersebut.
Politik
transaksional dikatakan dapat melahirkan pemimpin dan politisi korup
karena sifat dan gaya yang berpedoman pada nilai-nilai ekonomi dan
transaksi yang berujung pada keuntungan pribadi. Realitas tersebutlah
yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia politik itu sarat
dengan tukar-menukar jasa, atau dalam bahasa perniagaan (transaksional).
Artinya, ada tukar-menukar jasa dan barang yang terjadi antara para
politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik.
Dengan
demikian, semakin banyaknya politikus yang terjerembab dalam skandal
korupsi, menunjukkan kepada publik akan praktik politik transaksional
tersebut.
Berdasarkan hasil pemikiran yang dilahirkan oleh para
pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan Marxisme,
mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung
transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik
(kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih
kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat
menyejahterakan para politikus dan kelompoknya.
Sedangkan teori
ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak
kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber
kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik).
Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan
praktiknya masih jauh dari harapan.
Logika politik
transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut memengaruhi jalannya
kehidupan politik menjelang Pemilu Presiden 2014.
Meski demikian,
mewaspadai politik transaksional merupakan keharusan bagi seluruh warga
negara Indonesia yang mempunyai otoritas hak suara dalam pesta
demokrasi. Sehingga naluri dan kewaspadaan dalam memilih calon Presiden
harus benar-benar dikuatkan dalam setian pribadi calon pemilih, untuk
mencegah pemimpin-pemimpin yang korup.
Dalam perkembangan koalisi
menjelang Pemilu Presiden masyarakat harus lebih jeli dan peduli dalam
melihat partai politik dalam penjajakan serta komunikasinya. Partai
politik yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat harus dicoret dari
daftar kandidat yang hendak dipilih, karena motifnya sudah mengarah pada
keuntungan bukan menjalankan amanat rakyat.
Selain dari
penjajakan koalisi, visi misi kandidat yang nantinya akan maju sebagai
calon Presiden dan Wakil Presiden juga perlu untuk dikaji. Jangan hanya
melihat banyaknya janji yang diumbar karena mustahil akan terpeneuhi.
Hal yang paling cermat untuk mengkaji visi misi tersebut, skala
prioritas yang menjadi PR dalam visi misi tersebutlah yang perlu untuk
di bahas.
Apakah prioritas tersebut menjadi masalah utama bangsa
Indonesia dan apakah hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan
melakukan beberpa hal diatas diharapkan calon-calon pemimpin yang korup
akan gugur dan tidak mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. [tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar