Pemilu legislatif di Indonesia yang digelar Rabu (9/4/2014) cukup menarik
perhatian media-media besar di dunia, terutama dengan melesatnya
perolehan suara penghitungan sementara Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) yang mengusung Joko Widodo (Jokowi) untuk pemilihan presiden
nanti, meskipun PDIP gagal total menembus 20%.
“Penghitungan awal di Indonesia Memenangkan Partai Oposisi Terbesar,”
(Early Count in Indonesia Favors Largest Opposition Party), demikian headline di The New York Times.
Media legendaris ini mengulas bagaimana PDIP yang dalam 10 tahun
terakhir terlempar dari kekuasaan sangat berpeluang mendapatkan suara di
atas 20%, namun masih perlu merangkul mitra koalisi untuk bisa
mengajukan Jokowi sebagai capres.
Sedangkan CNN lebih memilih melompat ke calon presiden
paling favorit saat ini, Jokowi. Media televisi berita terbesar di dunia
itu mengutip seorang pengamat yang membandingkan Jokowi dengan Presiden
AS Barack Obama.
“Joko Widodo, mantan eksporter mebel berusia 52 tahun, mulai
membangun reputasinya selama menjabat sebagai walikota Surakarta di Jawa
Tengah,” tulis CNN.
“Kandidat yang dikenal sebagai Jokowi ini memiliki persamaan dengan
Obama, karena dalam kasus ini kandidat yang relatif tak terkenal bisa
menyedot perhatian nasional,” kata CNN mengutip pakar politik Douglas Ramage di Bower Group Asia.
Topik yang kurang lebih sama juga diangkat oleh media bisnis terkemuka, Financial Times, dengan judul “Widodo’s party set to win Indonesia parliamentary election” (Partai Widodo akan memenangi pemilu legislatif).
Keberhasilan PDIP memimpin perolehan suara sejauh ini “karena
keputusannya untuk menominasikan Joko Widodo, gubernur Jakarta yang
populer, sebagai kandidat presidennya,” tulis FT.
“Mr. Widodo, yang seperti Obama melesat dari semula orang tak
terkenal, masih menjadi yang terdepan untuk pilpres bulan Juli nanti,
dan partainya juga yang paling berpeluang untuk bisa memenuhi ambang
batas suara 25% (untuk mengajukan capres sendiri) atau 20% dari 560
kursi di DPR.”
Sayangnya, PDIP tidak maksimal menjual popularitas Jokowi guna mendongkrak perolehan suara legislatif.
“PDIP belum mulai mempromosikan Jokowi sampai saat-saat terakhir kampanye,” kata pengamat politik Paul Rowland, seperti dikutip FT.
“Baik Golkar maupun Gerindra akan merasa bahwa peluang mereka sekarang akan lebih baik dibandingkan dugaan mereka sebelumnya.”
The Wall Street Journal juga menganalisa bahwa peningkatan suara PDIP ini di luar harapan semula.
“Parpol di Indonesia yang semula diduga akan mendominasi hasil pemilu legislatif hari Rabu ternyata masih goyah,” kata WSJ.
Jika PDIP masih butuh berkoalisi untuk mengangkat Jokowi, maka itu akan menjadi kabar buruk buat perekonomian.
“Secara historis, pembentukan koalisi dan politik dagang kuda telah memperlambat program reformasi ekonomi,” jelas media itu.
Reuters juga mengulas bahwa hasil penghitungan mengindikasikan jalan Jokowi menuju RI1 akan lebih sulit dari dugaan awal.
PDIP “akan terpaksa berunding dengan parpol-parpol lain untuk mengajukan Jokowi di pilpres bulan Juli.”
Namun Reuters juga mencatat bahwa “kemungkinan Jokowi menjadi presiden telah mendongkrak nilai rupiah – mata uang yang menjadi best performer di Asia tahun ini – dan juga indeks harga saham.”
Sumber :
beritasatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar