Di masa kampanye pemilu legislatif, kata boneka banyak digunakan
untuk menyindir sosok Jokowi. Gubernur Jakarta ini dianggap tidak alami,
baik dalam hal citra maupun sepak terjangnya.
Banyak yang mengatakan citra Jokowi sengaja direkayasa agar terlihat
sempurna. Walhasil, apa-apa terkait sosoknya selalu tanpa cela.
Sekalipun faktanya baru beberapa bulan lalu banjir di Jakarta menewaskan
belasan jiwa.
Tidak sedikit pula yang menilai adanya aktor pengendali di balik
Jokowi. Ini yang membuat dia gemar mmeninggalkan tugas sebelum masa
jabatannya berakhir.
Jokowi pun kerap diibaratkan pemimpin yang hobi lari dari medan
perang. Dan kini bersiap meninggalkan prajuritnya di Ibu Kota yang
sedang berperang mati-matian melawan banjir dan kemacetan.
Sekalipun dengan tegas membantah ada pihak yang mendikte, namun pria
Solo itu mengaku senantiasa diberi arahan oleh Megawati sebelum
menjabat. Ya, taruhlah Jokowi tidak didikte melainkan diarahkan.
Kembali ke kritikan soal boneka, kubu Jokowi selalu menyatakan bahwa
tudingan boneka adalah sesat. Kinerja Jokowi pun dianggap nyata, seperti
popularitasnya. Pendukungnya mengklaim banyak capaian yang sudah
ditorehkan Jokowi di Jakarta, termasuk dengan pembangunan MRT dan
monorel.
Bahkan sejumlah jalanan Jakarta, sudah dipasangi papan penanda proyek
pengerjaan MRT atau monorel sudah dimulai. Entahlah, apakah papan-papan
itu hanya sebatas pencitraan atau bukan. Yang jelas, Jakarta sudah
pernah mendapat harapan palsu yang dimonumenkan dengan tiang-tiang
monorel bisu di Kuningan dan Senayan.
Dengan segala klaim itu, partai PDI Perjuangan dengan percaya diri
mengumumkan nama Jokowi sebagai calon presidennya, sebelum pemilu
legislatif dimulai. Harapannya adalah agar suara PDI perjuangan bisa
meroket.
Lantas muncullah sejumlah riset lembaga survei yang menunjukkan bahwa
popularitas PDIP dengan Jokowi bakal meroket setinggi langit. Salah
satu lembaga survei berbau asing, Roy Morgan Reaserch, bahkan memuat
survei ekeltabilitas Jokowi bakal meroket hingga 37 persen! Luar biasa.
Sebaliknya, ada propaganda masif bahwa kekuatan Partai Islam akan
tamat di 2014. Survei dari lembaga dipublikasikan sekitar sepekan
sebelum pencoblosan. Sekilas, Yang saya tangkap dari survei itu adalah
popularitas Jokowi nyata adanya.
Saya mengaku sempat tergiring oleh opini bahwa Jokowi benar-benar
telah sukses menjawab keinginan masyarakat. Bahwa Jokowi dan PDIP memang
dikehendaki untuk bisa maju langsung ke bursa pemilihan presiden. Saya
nyaris dibuat yakin oleh penggiringan opini bahwa percuma memilih parpol
Islam karena mustahil akan mampu mencalonkan presidennya.
Namun nyatanya, penggiringan opini itu sesat. Tak sepenuhnya rakyat
bisa direkayasa. Hasil-hasil survei itupun jadi lelucon setelah hasil
legislatif diketahui.
Faktor Jokowi yang digembar-gemborkan bakal meroketkan suara PDI
Perjuangan, nyatanya tak terbukti. Dari berbagai hasil survei, suara PDI
Perjuangan hanya sekitar 18 hingga 20 persen. Padahal untuk mencalonkan
Presiden, partai berlambang banteng itu butuh 25 persen suara sah, atau
total 20 kursi di parlemen.
Sebaliknya, suara Partai Islam tak mati. Justru makin tumbuh. Hanya
PKS yang suaranya relatif berkurang. Dan dengan gabungan suara Partai
Islam itu sangat memungkinkan untuk memunculkan calon presiden sendiri.
Mendadak, Poros Tengah jadi sebuah deja vu.
Di sisi lain, popularitas Gubernur yang paling sibuk kampanye di
Pemilu 2014 itu jadi dipertanyakan. Tudingan boneka pun kembali makin
mengemuka. Pertanyaan pun sontak muncul. Apakah benar, ada yang sengaja
merekayasa Jokowi agar terlihat sempurna? Apakah benar ada yang
merekayasa bahwa popularitas Jokowi tak ada tandingannya?
Apakah benar pula Jokowi merupakan seseorang yang dibutuhkan
Indonesia? Pertanyaan itu tidak bisa kita jawab buru-buru. Jangan pula
jawab pertanyaan itu dengan hasil survei baru. Yang jelas faktanya, di
Pemilu Gubernur Jakarta, Jokowi memang bisa meraih popularitas dengan
angka 53 persen.
Itu pun lawan Jokowi adalah salah satu gubernur incumbent dengan
citra yang paling babak belur se-Indonesia, Fauzi Bowo. Si lawan yang
citranya negatif di media itu pun masih bisa mencuri 46 persen dari
Jokowi. Lantas bagaimana nasib Jokowi jika diadu dengan pemimpin lain
yang jauh lebih populer, macam Prabowo?
Apa pun pertanyaannya, harus diakui kini rakyat kini jauh lebih
cerdas. Rakyat tak mampu dibohongi oleh propaganda lembaga manapun,
terutama asing, lewat survei-surveinya. Rakyat tahu pemimpin mana yang
dibutuhkan Indonesia, mana pula yang hanya sebatas pemimpin boneka.
Sumber :
republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar