Calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Joko Widodo dikonfirmasi ulang soal pernyataannya bakal menghapus subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) selepas 4 tahun menjabat, seandainya terpilih sebagai presiden.
Gubernur DKI Jakarta ini tahu persis risiko tindakan dan kebijakan tidak populernya, rentan diserang oleh anggota legislatif. Tapi dia optimis, kebijakan itu bisa diwujudkan. Dia yakin DPR bisa diajak bicara kebijakan demi kebaikan rakyat.
"Ya nanti kita bicarakan ke DPR, ini kan untuk rakyat juga. Masa enggak bisa," kata pria akrab disapa Jokowi ini selepas menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional, di Jakarta, Rabu (30/4/2014).
Soal teknisnya, Jokowi tidak mau membahas terlalu detail. Dia mengatakan penghapusan subsidi yang selama ini membebani APBN lebih dari Rp 300 triliun per tahun perlu dihitung cermat. "Nanti kita lihat berapa-berapanya, pokoknya empat tahun saja, nanti dihitung," ujarnya.
Di forum yang sama, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menilai wacana menghapus subsidi tidak konstitusional. Soalnya, Mahkamah Konstitusi sudah memfatwakan bahwa subsidi harus diberikan pada rakyat, terutama untuk komoditas energi dan pangan.
"Kalau subsidi itu enggak boleh hilang, yang rakyat memerlukan subsidi. Kalau (subsidi) BBM-nya bisa secara bertahap, mungkin tidak hilang, MK itu kan sudah mengatakan tidak boleh hilang, harus ada sedikit. Karena tidak boleh harga pasar, istilah MK seperti itu lah," kata Hatta.
Menko lantas mengatakan bahwa pemerintahan saat ini pun sudah mengakui porsi subsidi energi di APBN memberatkan. Masalahnya, kebijakan itu tidak sepenuhnya mulus, karena ada hambatan politik di legislatif.
"Yang penting mendapat dukungan DPR. Cuma kan tidak mudah. Sedangkan listrik saja tidak mudah, (tarif) yang sekarang dinaikkan kan ribut. Jadi harus ada komunikasi baik dengan DPR," kata Hatta.
Sebelumnya, mantan Wali Kota Surakarta ini mendukung wacana Bappenas mengurangi subsidi energi di APBN. Tak sekadar mengurangi, dia bahkan menjanjikan penghapusan total anggaran
Jokowi mengaku tidak ragu menerapkan kebijakan non-populis itu saat terpilih sebagai presiden. Penolakan atas kenaikan harga BBM menurutnya sudah biasa.
"(Akan ada) guncangan ekonomi sosial, tetapi harus. Tapi dengan catatan subsidi itu bisa diberikan kepada yang menerima. Misalnya subsidi untuk petani, subsidi untuk nelayan yang dibutuhkan oleh mereka," kata pria yang datang di acara Bappenas sebagai Gubernur DKI Jakarta ini.
Tahun ini, subsidi energi menyedot porsi Rp 299 triliun di APBN. Kondisi itu dianggap tidak ideal, karena membebani kemampuan belanja pemerintah.
Bappenas, bersama Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan serta Dewan Energi Nasional, sedang merancang skema paling tepat. Ketiga lembaga ini bakal mengarahkan presiden baru mengucurkan lebih banyak anggaran kepada pembangunan infrastruktur.
"Saving dari pengalihan anggaran energi itu pasti diarahkan ke infrastruktur. BKF yang lagi ngitung itu, melihat-lihat indikasi terhadap inflasi dan macam-macam. Tapi tentu semua akan tergantung presiden baru," kata Direktur Divisi Energi, Sumber Daya Mineral dan Pertambangan Bappenas Monty Girianna. [noe/merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar