Kamis, 20 Maret 2014

Problem Media, Pro Atau Anti Jokowi

Sehari setelah Jokowi dideklarasikan sebagai calon presiden PDIP, saya mendapat SMS dari mantan wartawan yang pernah menjabat kepala daerah. "He he merdeka.com kok jadi sangat Jokowi ya?" Segera saya jawab, "Lah barusan saya dapat SMS dari kawan aktivis mahasiswa dulu, katanya merdeka.com terlalu banyak mengutip orang-orang yang tak suka Jokowi nyapres."
Begitulah, tak gampang menjadi media yang independen dan netral di tengah pertarungan politik demokratis menjelang pemilu. Sejak Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009, selaku jurnalis dan pimpinan media, saya selalu mendapat komentar bahkan komplain dari banyak pihak yang merasa media tidak fair.
Mereka menuduh media saya, pro partai atau calon tertentu, anti atau setidaknya tidak simpati pada partai atau calon yang lain. Meski saya bisa menunjukkan bukti netralitas dan sikap adil, mereka tidak menerima setulus hati. Saya tahu, mereka ingin media saya memihak ke partainya atau calon yang diusungnya.
Bagi mereka yang belajar atau bekerja di dunia jurnalistik pasti tahu, terdapat lima prinsip jurnalisme: akurat, obyektif, fair, berimbang, dan netral. Lima prinsip itulah yang melandasi lahirnya kode etik jurnalistik, sehingga bisa dipastikan, jika salah satu prinsip itu dilanggar, maka sudah pasti media melanggar kode etik jurnalistik.
Sungguh tidak mudah menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme tersebut dalam praktik pemberitaan media sehari-hari. Terlebih pada masa pemilu seperti sekarang ini. Berusaha bersikap netral saja, masih dikritik, apalagi tidak bersikap netral.
Namun rupanya kritik terhadap netralitas itu hanya ditujukan kepada media yang memang berusaha bersikap netral. Media yang tidak bersikap netral, dibiarkan saja. Oleh sebagian masyarakat kita, hal itu dianggap masalah pejabat berwenang (Kominfo, KPI, KPU, Bawaslu, Dewan Pers), bukan masalah rakyat kebanyakan.
Percuma saja mengritik media yang jelas pemiliknya ikut menjadi pemain pemilu: ikut nyaleg atau nyapres. "Tapi, kami tidak bodoh dengan kampanye yang dilakukan pemilik media melalui medianya." Demikian kesimpulan obrolan di mulut gang rumah saya.
Lalu, bagaimana dengan dengan para wartawan yang bekerja di lingkungan media yang pemilik ikut bertarung dalam pemilu. Harus dikatakan, makan hati. Bagaimana tidak, sebelum menjadi wartawan mereka membayangkan akan jadi wartawan profesional: bergaji cukup, punya pengetahun dan ketrampilan memadahi, dan berpegang kode etik.
Tapi kini setiap hari mereka melanggar kode etik. Mereka harus menindih ke hati yang paling dalam atas nilai-nilai jurnalisme yang diyakini. Masih "untung" jika gaji berlipat, pengetahuan dan keterampilan pun mampat. Gaji besar pasti didapatkan para bos redaksi yang menjaga agar medianya tetap mengikuti kemauan pemilih. Pengetahuan dan ketrampilan juga tidak bertambah karena setiap misi liputannya satu: menyukseskan calon presiden atau partai pemilik media.
Ini cerita reporter merdeka.com atas kisah kawan-kawannya yang mengemban misi menyukseskan calon presiden atau partainya pemilik media tempat mereka bekerja. Reporter merdeka.com itu mendapat tugas meliput kegiatan KPK.
Katanya, kalau Gubernur Banten Ratu Atut dkk dipanggil ke KPK, maka beberapa wartawan media tertentu diam saja. "Percuma saja, tidak akan dimuat," katanya. Kalau Bambang W Soeharto dkk, sekelompok wartawan cuek saja. "Kayak gak tahu saja, hubungan Bambang W. Soeharto dengan pemilik media saya," katanya. Pun demikian halnya kalau Anas Urbaningurm dkk diperiksa, beberapa wartawan tampak santai-santai. "Tak tahu deh, berita Anas tak laku di kantor saya."
Anda pasti tahu wartawan dari media apa yang berkeluh kesah seperti itu.

Sumber :
merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar