Capres PDI Perjuangan, Joko Widodo atau Jokowi telah dengan tegas mengatakan, koalisi tidak sama dengan bagi-bagi kekuasaan.
Sejumlah pengamat politik menilai, kabinet yang mendampingi Jokowi
jika terpilih nanti juga sebisa mungkin mengakomodasi unsur-unsur
kemasyarakatan seperti Nahdatulah Ulama (NU), Kristen dan tidak hanya
dari unsur kepartaian.
"Tetapi berdasarkan hak preogratif yang
melekat padanya, presiden boleh saja mengangkat menteri dari orang
partai atau dari unsur kelompok masyarakat, sepanjang orang-orang
tersebut bersedia melepas jabatan struktural dipartainya," ujar Direktur
Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin,
di Jakarta, Senin (14/4/2014).
" Lebih ideal lagi jika eksekutif,
mulai dari presiden, menteri, jabatan setingkat menteri, dan kepala
daerah dilarang rangkap jabatan di partai," tambahnya.
Kabinet
berbasis partai, lanjutnya, memang bisa mungkin menjadi ajang rebutan
kursi bukan kualitas. Padahal, figur-figur muda dan berintegritas dari
berbagai basis sosial seperti NU, Muhamadiyah, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, dan lainnya perlu menjadi bagian dari kabinet Jokowi.
Hal
senada dijelaskan oleh Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI)
Boni Hargens. Boni mengatakan bahwa sudah saatnya pemerintahan baru
2014 berbasis dukungan masyarakat bukan partai politik semata.
"Ali
Masyukur Musa misalnya Gusdurian muda NU yang sangat peduli dengan
pluralisme sehingga perlu dilibatkan untuk melanjutkan gagasan
Keindonesiaan Gusdur. Begitu juga org muda dari kelompok lain," saran
Boni.
Kualitas pemerintahan, katanya lagi, ditentukan oleh kerja
Kabinet. Jika Jokowi salah memilih anggota kabinet, maka bancakan
kekayaan untuk kepentingan parpol di kementerian akan terus berulang.
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar