Bakal calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo telah
mengeluarkan visi misi Jokowi dalam gagasan berupa Revolusi Mental.
Revolusi tersebut ditulis sendiri oleh mantan wali kota Solo ini.
Menurut
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said
Salahudin, konsep Revolusi Mental ala Jokowi itu cuma berisi unek-unek
Jokowi dan tim pendukungnya saja.
"Itu sesuatu yang sudah biasa
kita dengar. Mahasiswa semester I pun fasih kalau sekedar mereview
masalah, mengutarakan kegalauan, dan mengutip pemikiran orang lain,"
ujar dia saat dihubungi merdeka.com, Senin (12/5/2014).
Said
menegaskan gagasan besar Jokowi itu justru tidak menimbulkan efek yang
sangat besar. Pasalnya, gagasan tersebut sudah sering didengar oleh
masyarakat Indonesia lainnya.
"Soal cara melakukannya dimulai
dari diri sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerja, dan terus ke
lingkungan negara, itu pun sudah 'khattam' kita pelajari dari Aa Gym
sejak lama. Konsep Revolusi Mental Jokowi itu kering ide. Cuma keren di
judulnya saja. Tidak ada pemikiran yang maknyos di situ dari seorang
calon pemimpin bangsa," kata dia.
Sebelumnya, Jokowi yang diusung
PDIP mengonstruksikan pengalaman, pengamatan dan pemikirannya demi
mengangkat kembali harkat dan martabat bangsa Indonesia melalui gagasan
revolusi mental. Jokowi memilih revolusi mental ketimbang fisik lantaran
mental bangsa ini yang harus segera dibenahi.
Berikut wacana Revolusi Mental yang ditulis Jokowi
Revolusi Mental oleh: Joko Widodo
INDONESIA
saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari
para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa
masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam
istilah anak muda sekarang semakin galau?
Dipimpin
bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ
Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo
Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang
ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang
didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang
demokratis.
Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat
banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan
ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari
perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di
bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta
hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan
pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.
Namun,
di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti
yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan
kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media
sosial. Gejala apa ini?
Pemimpin nasional dan pemikir di
Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan
kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia
dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan
politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.
Izinkan
saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya
menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk
bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk
itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya
selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI
Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon
dimaklumi.
Sebatas kelembagaan
Reformasi
yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto
tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya
institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya
politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar
perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan
cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita
perlu melakukan revolusi mental.
Nation building tidak
mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa
melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan
sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia
ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa
kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana
salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar
nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita
membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan
otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah
undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu
secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam
rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.
Namun,
di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan
berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang,
mulai dari korupsi,
intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin
menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan
masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih
berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di
alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Korupsi
menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan
ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari
Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini
dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK
mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas.
Demikian
juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang
dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat
malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk
cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran
hukum.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor
kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke
arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa.
Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi,
intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan
hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera
lenyap bersama kehancuran bangsa.
Perlu revolusi mental
Dalam
pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip
paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai,
budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia
melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi
yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental
menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building
baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja,
dan berkesinambungan.
Penggunaan istilah "revolusi"
tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya
politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang
buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde
Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena
ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap
memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri
seorang pemimpindan selayaknya setiap revolusidiperlukan pengorbanan
oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental,
kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno
dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, "Indonesia yang
berdaulat secara politik", "Indonesia yang mandiri secara ekonomi", dan
"Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya". Terus terang kita
banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional
tentang relevansi dan kontekstualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan
rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan
di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui
pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan
bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah
sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan
intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu
sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang
dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut
pemain politik, yang lebih mengandalkan kete-
rampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Kita
juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang
benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan
pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang
penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya
dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan
terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang ekonomi,
Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang
mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga
pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor.
Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar
telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing.
Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama
para "komprador" Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun
tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi.
Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan
kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente
sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi
terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan
alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara ekonomi
seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat
Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang
sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana
dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor
ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk
menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga perlu meneliti
ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat
rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar
investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak
menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun
kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin
pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi
teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh
membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai
dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Sistem pendidikan
harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang
berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama
yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan
masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat
membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Dari mana kita mulai
Kalau
bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental,
pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya
dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan
lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas
menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Revolusi
mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk
mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil,
dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita
sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah
nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri
mereka.
Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin
Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah
teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya
masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas
sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang
diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi
Mental Indonesia baru saja dimulai.
Joko Widodo, Calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. [bal/merdeka]
Gue ngerti bgt sbg pekerja lapangan sprt Jokowi minim bgt waktu utk menuliskan ide. Sebagian besar waktu Jokowi digunakan melihat, mendengar langsung kondisi masyarakat setempat baru disitulah lahir ide. Ide pribadi seorang pemimpin sebagus apapun tanpa turun ke lapangan maka blm tentu konek bahkan bisa juga ditolak dg kondisi masyarakat dan daerah setempat. Membuat ide itu hrs melihat berbagai sisi sprt sosial, budaya, ekonomi, posisi geografis yg semuanya terkemas sbg wujud kearifan lokal (local wisdom). Jokowi sdh sering menggunakan local wisdom sbg fondasi pelaksanaan project sprt revitalisasi 85 bangunan di kota tua Jakarta ( bangunan PT Pos di Taman Fatahillah akan dijadikan sebagai museum kontemporer dan pusat informasi), mewajibkan PNS DKI menggunakan pakaian betawi di hari rabu, membuat MoU pengadaan daging sapi, beras dg propinsi lain. Itulah local wisdom yg selama ini kurang diperhatikan. Jadi bila kelak Jokowi terpilih sbg presiden, gue yakin daerah lain akan kebagian penguatan local wisdom. Indonesia adalah negara terkaya di dunia dg kearifan lokalnya dlm bentuk sejarah, pakaian tradisional, peninggalan benda2 dan bangunan kerajaan, makan khas, produk lokal, kesenian dan itu yg menjadi ide festival keraton se dunia dg tujuan menunjukkan kekayaan local wisdom Indonesia di mata dunia sekaligus ajang promosi serta pengakuan identitas local wisdom agar tdk dicaplok negeri lain.
BalasHapus