Minggu, 25 Mei 2014

Jokowi-JK Diyakini Bisa Bebaskan Indonesia dari Impor Pangan

Dalam dokumen visi-misinya, pasangan bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) mengaku mengedepankan soal berdikari ekonomi. Berdikari menekankan pada dua hal yakni berdaulat dan mandiri.
Duet Jokowi-JK sesumbar, Indonesia bisa mandiri dalam hal pangan, dan tidak tergantung pada impor dari negara lain.
"Bangsa atau negara dengan penduduk di atas 100 juta tidak mungkin menjadi berdaulat kalau pangannya bergantung dari impor," ujar penyusun Visi Misi Capres JKW Rohmin Danuri saat diskusi bertajuk 'revolusi mental pertanian sebagai landasan kemandirian Ekonomi' di JKW Center, Jakarta, Minggu (25/5/2014).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Gotong Royong ini mengutip pernyataan Presiden Soekarno bahwa pertanian dan pangan menjadi faktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Implementasinya dengan kemampuan negara menyediakan pangan bagi 240 juta penduduk Indonesia. "Pertanian dan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa," katanya mengutip pernyataan Soekarno.
Dia menjelaskan, pertanian merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar dibandingkan sektor industri pengolahan, transportasi dan jasa lainnya. Jika dikembangkan, dia yakin akan membantu pengurangan pengangguran dan kemiskinan.
Rohmin menyebutkan, 39 persen tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Berangkat dari gambaran itu, sudah seharusnya sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak ini lebih tertata dengan baik.
"Bila konsumsi bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri, maka ketergantungan impor itu akan hilang,"ucapnya.
Dia menuturkan, untuk 5 tahun ke depan, program realistis untuk kemandirian pangan adalah peningkatan daya saing produk. Melalui penerapan inovasi dan teknologi yang dilakukan secara komprehensif dan fokus.
"Jadi kalau negara ingin makmur dan bermartabat adalah di daya saing. Itu bisa ditempuh dengan memperkuat daya saing dengan sentuhan teknologi dan inovasi. Dalam 5-10 tahun yang lebih realistis adalah itu," paparnya.
Dia mengkritik soal peningkatan daya saing yang terus disampaikan pemerintah namun tak terlihat realisasinya. Semisal rendahnya produksi pangan karena alat pengolahan pertanian minim dan tidak ramah lingkungan. Masalah lain, kurangnya manajemen profesional yang meliputi kemampuan petani itu sendiri dan proses hulu hingga hilirisasi.
"Terus produk impor juga makin lama makin banyak. Karena setiap Impor 1 kg beras mendapat keuntungan Rp 300. Jadi kalau impor 2 juta ton itu untungnya Rp 800 miliar. Jadi memang lebih baik impor dari pada produksi," katanya tertawa.  [noe/merdeka]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar