Peneliti senior Founding Father House (FFH), Dian Permata mengatakan, tampilnya JK di pentas Pilpres 2014 tanpa dukungan Partai Golkar dinilai sebagai langkah berani. “Artinya ini kali kedua JK melakukannya seperti pada Pilpres 2004. Bedanya, ketika menang Pilpres 2004, JK bisa ambil komando Partai Golkar. Jadi kita lihat apakah JK bisa mengambil kembali Golkar,” ungkap Dian kepada INDOPOS, Senin (19/5/2014).
Namun, Dian menilai, kesuksesan JK di 2004, akan sulit terulang di Pilpres 2014. Pasalnya, andaikan menang di Pilpres 2014, maka sulit bagi JK untuk ambil alih Partai Golkar. Karena, di Partai Golkar seperti ada aturan tersirat bahwa tidak ada ketua umum menjabat dua kali. “Hal itu dikarenakan Partai Golkar adalah partai kader. Tapi bisa saja, orang yang memegang Golkar kedepan setelah Ical adalah kader binaan JK,” paparnya.
Sementara itu, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin menilai Golkar sebetulnya sedang memainkan skenario politik seperti pada Pilpres 2004 lalu untuk Pilpres 9 Juli mendatang. Lihat sejarahnya, kata Said, pada Pilpres 2004 lalu, secara formal Golkar mengusung pasangan Wiranto dan Salahudin Wahid. Namun diam-diam Golkar juga ikut menyukseskan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK).
Padahal pada Pilpres 2014, secara formal Golkar mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Secara diam-diam Golkar juga pasti mendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan JK. Alasannya, JK adalah kader senior partai berlambang pohon beringin ini. “Skenario politik yang dimainkan oleh JK dan Golkar persis seperti yang mereka praktikan pada Pemilu 2004 lalu, yaitu politik dua kaki,” papar Said pada INDOPOS (Grup JPNN.com), Senin (19/5).
Dia juga menjelaskan dalam konteks
pertarungan strategi politik, Golkar adalah pemenangnya. Golkar pada
akhirnya bisa masuk ke kubu Jokowi, tetapi juga ada di dalam kubu
Prabowo. “Mau Jokowi ataupun Prabowo yang memenangkan pilpres, Golkar
tetap akan masuk dalam pemerintahan mendatang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Said juga mengemukakan
mengapa Jokowi akhirnya memilih JK daripada Ketua KPK Abraham Samad.
Pertama, karena lobi dan dukungan politik pendukung JK kepada Megawati
lebih kuat daripada Samad. Kedua, JK juga lebih siap dibandingkan Samad
dalam soal pendanaan pilpres, karena dia adalah pengusaha besar dan
didukung pula oleh sejumlah konglomerat, sementara Samad duitnya cekak
dan cenderung dimusuhi oleh konglomerat.
“Ketiga, poros PDIP memperhitungkan
kelebihan lain yang dimiliki oleh JK terkait peluang bagi mantan wapres
itu untuk menarik dukungan Golkar di parlemen apabila Jokowi-JK
memenangkan Pilpres,” pungkasnya. [dmsjpnn]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar