Kamis, 22 Mei 2014

Karena Paham Betul Kelakukan Prabowo, Spirit Korsa Luhut Entah Kemana

Dukungan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golongan Karya Luhut Panjaitan kepada pasangan calon presiden Jokowi - Jusuf Kalla, bukan kepada Prabowo-Hatta sedikit mengherankan.
Bila ditinjau dari semangat keprajuritan, ada semboyan yang sangat kental yakni semangat satu korps, perasaan satu korsa. Esprit de Corps.
Luhut dan Prabowo sama-sama pensiunan perwira tinggi TNI. Apalagi keduanya pernah menyenyam pendidikan di bidang yang sama di TNI.
Mereka berdua juga pernah menjadi perwira pertama pilihan yang diutus TNI mendalami ilmu intelijen di Eropa. Keduanya juga komandan dan wakil Den Gultor Kopassus. Lalu, mengapa Luhut tidak menyukai Prabowo?
Luhut mengaku tidak mendukung Prabowo karena paham betul sosok Dewan Pembina Partai Gerindra tersebut ketika meraka sama-sama berkarier di militer.
"Saya tahu banyak tentang Prabowo, sebab saat saya Mayor dia bawahan saya, ketika itu pangkatnya masih kapten. Tapi tidak etis saya buka, silakan saja baca buku karangan Sintong Panjaitan," kata Luhut dalam wawancara terbatas dengan TRIBUNnews.com dan KompasTV di kediamannya di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (21/5) pagi.
Mantan Komandan Kodiklat TNI Angkatan Darat ini mengimbuhkan, penilaiannya tentang Prabowo, "Dia tempramental, kita sudah sama-sama tahu."
Sehari sebelumnya, dalam kesempatan jumpa pers mengayakan sikap yang berbeda dari Partai Golkar dalam hal dukung-mendukung calon presiden, Luhut juga mengatakan hal senada.
"Karena tahu Prabowo, makanya saya dukung Jokowi. Saya kenal Pak Prabowo, tahu banyak. Dia pernah menjadi wakil saya kurang lebih lima atau enam tahun. Jadi saya tahu A sampai Z tentang beliau," ujar Luhut di Wisma Bakrie, Kuningan, Jakarta, Selasa (20/5).
Luhut enggan mengatakan secara terrinci sosok seperti apa yang membuatnya tidak mendukung Prabowo. Namun ketika disinggung mengenai ketegasan, Luhut mengatakan setuju dengan pemimpin yang tegas. Tapi, tegas pada tempatnya.
"Tegas itu tidak mesti mata melotot dan lempar handphone," ujar Luhut.
Dalam bukunya berjudul "Perjalanan Prajurit Para Komando" terbitan Kompas, Sintong Panjaitan, mantan Sekretaris Militer Presiden BY Habibie mencatat peristiwa genting Maret 1983.
Saat itu, Komandan Detasemen-81 Kopassus Mayor Infanteri Luhut Panjaitan dikejutkan aksi wakilnya, Kapten Infanteri Prabowo Subianto. Prabowo mengatakan Jenderal Benny Moerdani hendak kudeta.
Untung mengamankan presiden, Prabowo akan membawa Presiden Soeharto ke markas pasukan antiteror Kopassus di Cijantung. Peristiwa ini diceritakan Letjen (Purn) Sintong Panjaitan dalam bukunya.
Saat itu pasukan antiteror Kopassus sudah akan bergerak menculik Jenderal Benny Moerdani dan Letjen Soedharmono serta beberapa jenderal lain.
Mayor Luhut mencegah tindakan itu. Semua senjata dan radio disimpan dalam kamar kerja Luhut. "Nggak ada itu. Sekarang kalian semua siaga di dalam. Tidak ada seorang pun yang keluar pintu tanpa perintah luhut Panjaitan sebagai komandannya," kata Luhut, seperti ditulis Sintong.
Namun kisah itu telah dibantah Prabowo saat buku Sintong terbit tahun 2009. "Setiap ada buku baru, saya dituduh mau kudeta lagi, mau kudeta lagi," kata Prabowo.
"Anda nilai sendiri seorang kapten bisa bikin kudeta? Sudahlah itu biar nanti sejarah yang bicara.  Semua punya versi masing-masing," kata Prabowo.
Mengenai karier Luhut dan Prabowo, tidak lepas dari Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI Letjen TNI LB Moerdani. Hal itu bermula dari peristiwa pembajakan pesawat Garuda Douglas DC-9 Woyla di Bandara Don Muang, Bangkok, 31 Maret 1981.
Hari itu, pesawat DC-9 Woyla bernomor penerbangan GA 206 terbang rutin dari Jakarta menuju Medan, transit di Palembang. Di antara para penumpang terdapat juga sejumlah warga negara asing, yakni seorang warga Inggris dan AS.
Pukul 00.80, pagi, pesawat diterbangkan Kapten Pilot Herman Rante dan Kopilot Hedhy Juwantoro lepas landas dari bandara Talangbetutu, Palembang menuju bandara Polonia, Medan. Pesawat dijadwalkan tiba pukul 11.00. Tidak ada menyangka, pesawat bermesin ganda yang mengangkut 48 penumpang itu tidak akan mendarat di bandara tujuan.
Penerbangan GA 206 baru diketahui dibajak berdasarkan informasi Kapten Pilot A Sapari yang menerbangkan Fokker 28. Saat itu dia baru lepas landas dari bandara Simpang Tiga, Pekanbaru. Sapari menangkap komunikasi radio GA 206 yang berbunyi, "being hijacked. being hijacked."
Berita tersebut lalu diteruskan ke Jakarta dan diterima Sudomo, Wakil Panglima ABRI saat itu. Sudomo pun menyampaikan keadaan darurat itu kepada Kepala Pusat Intelijen Letnan Jenderal Benny Moerdani.
Kelompok bersenjata itu menyebut diri mereka Komando Jihad yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein. Aksi pembajakan itu dilakukan agar pemerintah Indonesia memenuhi tuntutan mereka yakni membebaskan 80 orang tahanan yang memiliki hubungan dengan kelompok mereka.
Tidak hanya itu, mereka juga menuntut tebusan uang sebesar 1,5 juta dolar AS. Untuk menambah tekanan terhadap pemerintah agar mengabulkan tuntutan mereka, sebuah bom terpasang di pesawat DC-9 tersebut.
Para teroris mengaku berasal dari kelompok Islam ekstremis bernama Komando Jihad. Pada saat terjadinya peristiwa ini, pasukan komando Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menangani peristiwa terorisme pembajakan pesawat.
Kelompok khusus militer Indonesia yang baru dibentuk saat itu, Kopassandha (Nama satuan Kopassus saat itu), meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi.  Tim berjumlah sekitar 30 orang dengan berpakaian sipil diberangkatkan ke Don Muang menumpang pesawat garuda jenis DC-10.
Operasi kontra terorisme ini dilakukan Grup-1 Para-Komando di bawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan yang kemudian beserta timnya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi terebut dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.
Mengantisipasi maraknya pembajakan pesawat terbang, Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI Letjen TNI LB Moerdani berkeinginan membentuk kesatuan baru setingkat detasemen di lingkungan Kopassandha -belakangan berubah menjadi Komando Pasukan Khusus.
Lalu 30 Juni 1982, muncullah Satuan 81 Penanggulangan Teror (Sat-81 Gultor) kemudian menjadi Detasemen 81 (Den-81) Kopassandha dengan komandan pertama Mayor Infanteri Luhut Binsar Panjaitan dengan wakil Kapten Infateri Prabowo Subianto.  [tribun]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar