Dukungan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golongan Karya Luhut
Panjaitan kepada pasangan calon presiden Jokowi - Jusuf Kalla, bukan
kepada Prabowo-Hatta sedikit mengherankan.
Bila ditinjau dari
semangat keprajuritan, ada semboyan yang sangat kental yakni semangat
satu korps, perasaan satu korsa. Esprit de Corps.
Luhut dan
Prabowo sama-sama pensiunan perwira tinggi TNI. Apalagi keduanya pernah
menyenyam pendidikan di bidang yang sama di TNI.
Mereka berdua juga
pernah menjadi perwira pertama pilihan yang diutus TNI mendalami ilmu
intelijen di Eropa. Keduanya juga komandan dan wakil Den Gultor
Kopassus. Lalu, mengapa Luhut tidak menyukai Prabowo?
Luhut
mengaku tidak mendukung Prabowo karena paham betul sosok Dewan Pembina
Partai Gerindra tersebut ketika meraka sama-sama berkarier di militer.
"Saya
tahu banyak tentang Prabowo, sebab saat saya Mayor dia bawahan saya,
ketika itu pangkatnya masih kapten. Tapi tidak etis saya buka, silakan
saja baca buku karangan Sintong Panjaitan," kata Luhut dalam wawancara
terbatas dengan TRIBUNnews.com dan KompasTV di kediamannya di kawasan
Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (21/5) pagi.
Mantan
Komandan Kodiklat TNI Angkatan Darat ini mengimbuhkan, penilaiannya
tentang Prabowo, "Dia tempramental, kita sudah sama-sama tahu."
Sehari
sebelumnya, dalam kesempatan jumpa pers mengayakan sikap yang berbeda
dari Partai Golkar dalam hal dukung-mendukung calon presiden, Luhut juga
mengatakan hal senada.
"Karena tahu Prabowo, makanya saya dukung
Jokowi. Saya kenal Pak Prabowo, tahu banyak. Dia pernah menjadi wakil
saya kurang lebih lima atau enam tahun. Jadi saya tahu A sampai Z
tentang beliau," ujar Luhut di Wisma Bakrie, Kuningan, Jakarta, Selasa
(20/5).
Luhut enggan mengatakan secara terrinci sosok seperti apa
yang membuatnya tidak mendukung Prabowo. Namun ketika disinggung
mengenai ketegasan, Luhut mengatakan setuju dengan pemimpin yang tegas.
Tapi, tegas pada tempatnya.
"Tegas itu tidak mesti mata melotot dan lempar handphone," ujar Luhut.
Dalam
bukunya berjudul "Perjalanan Prajurit Para Komando" terbitan Kompas,
Sintong Panjaitan, mantan Sekretaris Militer Presiden BY Habibie
mencatat peristiwa genting Maret 1983.
Saat itu, Komandan
Detasemen-81 Kopassus Mayor Infanteri Luhut Panjaitan dikejutkan aksi
wakilnya, Kapten Infanteri Prabowo Subianto. Prabowo mengatakan Jenderal
Benny Moerdani hendak kudeta.
Untung mengamankan presiden,
Prabowo akan membawa Presiden Soeharto ke markas pasukan antiteror
Kopassus di Cijantung. Peristiwa ini diceritakan Letjen (Purn) Sintong
Panjaitan dalam bukunya.
Saat itu pasukan antiteror Kopassus
sudah akan bergerak menculik Jenderal Benny Moerdani dan Letjen
Soedharmono serta beberapa jenderal lain.
Mayor Luhut mencegah
tindakan itu. Semua senjata dan radio disimpan dalam kamar kerja Luhut.
"Nggak ada itu. Sekarang kalian semua siaga di dalam. Tidak ada seorang
pun yang keluar pintu tanpa perintah luhut Panjaitan sebagai
komandannya," kata Luhut, seperti ditulis Sintong.
Namun kisah
itu telah dibantah Prabowo saat buku Sintong terbit tahun 2009. "Setiap
ada buku baru, saya dituduh mau kudeta lagi, mau kudeta lagi," kata
Prabowo.
"Anda nilai sendiri seorang kapten bisa bikin kudeta?
Sudahlah itu biar nanti sejarah yang bicara. Semua punya versi
masing-masing," kata Prabowo.
Mengenai karier Luhut dan Prabowo,
tidak lepas dari Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI Letjen TNI
LB Moerdani. Hal itu bermula dari peristiwa pembajakan pesawat Garuda
Douglas DC-9 Woyla di Bandara Don Muang, Bangkok, 31 Maret 1981.
Hari
itu, pesawat DC-9 Woyla bernomor penerbangan GA 206 terbang rutin dari
Jakarta menuju Medan, transit di Palembang. Di antara para penumpang
terdapat juga sejumlah warga negara asing, yakni seorang warga Inggris
dan AS.
Pukul 00.80, pagi, pesawat diterbangkan Kapten Pilot
Herman Rante dan Kopilot Hedhy Juwantoro lepas landas dari bandara
Talangbetutu, Palembang menuju bandara Polonia, Medan. Pesawat
dijadwalkan tiba pukul 11.00. Tidak ada menyangka, pesawat bermesin
ganda yang mengangkut 48 penumpang itu tidak akan mendarat di bandara
tujuan.
Penerbangan GA 206 baru diketahui dibajak berdasarkan
informasi Kapten Pilot A Sapari yang menerbangkan Fokker 28. Saat itu
dia baru lepas landas dari bandara Simpang Tiga, Pekanbaru. Sapari
menangkap komunikasi radio GA 206 yang berbunyi, "being hijacked. being
hijacked."
Berita tersebut lalu diteruskan ke Jakarta dan
diterima Sudomo, Wakil Panglima ABRI saat itu. Sudomo pun menyampaikan
keadaan darurat itu kepada Kepala Pusat Intelijen Letnan Jenderal Benny
Moerdani.
Kelompok bersenjata itu menyebut diri mereka Komando
Jihad yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein. Aksi pembajakan itu
dilakukan agar pemerintah Indonesia memenuhi tuntutan mereka yakni
membebaskan 80 orang tahanan yang memiliki hubungan dengan kelompok
mereka.
Tidak hanya itu, mereka juga menuntut tebusan uang
sebesar 1,5 juta dolar AS. Untuk menambah tekanan terhadap pemerintah
agar mengabulkan tuntutan mereka, sebuah bom terpasang di pesawat DC-9
tersebut.
Para teroris mengaku berasal dari kelompok Islam
ekstremis bernama Komando Jihad. Pada saat terjadinya peristiwa ini,
pasukan komando Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menangani
peristiwa terorisme pembajakan pesawat.
Kelompok khusus militer
Indonesia yang baru dibentuk saat itu, Kopassandha (Nama satuan Kopassus
saat itu), meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi. Tim
berjumlah sekitar 30 orang dengan berpakaian sipil diberangkatkan ke
Don Muang menumpang pesawat garuda jenis DC-10.
Operasi kontra
terorisme ini dilakukan Grup-1 Para-Komando di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan yang kemudian beserta timnya
dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali
Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi terebut dinaikkan pangkatnya
dua tingkat secara anumerta.
Mengantisipasi maraknya pembajakan
pesawat terbang, Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI Letjen TNI
LB Moerdani berkeinginan membentuk kesatuan baru setingkat detasemen di
lingkungan Kopassandha -belakangan berubah menjadi Komando Pasukan
Khusus.
Lalu 30 Juni 1982, muncullah Satuan 81 Penanggulangan
Teror (Sat-81 Gultor) kemudian menjadi Detasemen 81 (Den-81) Kopassandha
dengan komandan pertama Mayor Infanteri Luhut Binsar Panjaitan dengan
wakil Kapten Infateri Prabowo Subianto. [tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar