Selasa, 22 April 2014

Menelisik Ketiga Kandidat Cawapres Jokowi

Tak terasa laga Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 sudah dekat. Itu tandanya publik harus semakin cermat memilih calon presiden (capres) Indonesia baru pada Juli mendatang.
Salah satu sosok fenomenal capres yang terkemuka saat ini adalah Joko Widodo (Jokowi). Bahkan capres besutan PDI Perjuangan ini disebut-sebut bakal melenggang dengan mulus menjadi pengganti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Usai Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) lalu, PDIP berhasil menempati posisi paling tinggi dibanding partai politik lainnya versi hitung cepat. PDIP sesumbar bila ada parpol yang berkoalisi, maka partai asuhan Megawati Soekarnoputri ini enggan untuk bagi-bagi kursi menteri.
Bahkan pendamping Jokowi sebagai cawapres masih menjadi tanda tanya besar. Beberapa pengamat dan survei masyarakat juga sudah menyandingkan Jokowi dengan jagoan-jagoan dari parpol lain.
Ada tiga nama yang muncul, tetapi mereka mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, dan tentunya punya kelebihan kekurangan yang berbeda pula.

Berikut plus minus tiga sosok cawapres Jokowi seperti yang dibahas Metro TV Selasa (22/4/2014) :

Jusuf Kalla
Publik tentunya sangat mengenali dengan sosok yang satu ini, Jusuf Kalla atau kerap disebut JK. Pada periode 2004-2009, politisi Partai Golkar ini sempat menjadi cawapres dari pemerintahan SBY. Namun pada akhirnya JK ditendang oleh SBY dan digantikan oleh Boediono. Meskipun demikian diprediksi JK bakal mampu mengatur irama parlemen terutama irama yang akan didendangkan oleh Golkar, PKB dan Nasdem sebagai kekuatan inti pendukung Jokowi di kemudian hari.
Berdasarkan survei yang dikeluarkan oleh Pusat Data Bersatu (PDB), JK berpeluang kembali menjadi cawapres mendampingi Jokowi. Apalagi dari hasil survei yang telah dilakukan PDB menyebutkan bahwa pasangan Jokowi-JK paling diminati rakyat. Rakyat pun menilai JK pantas menjadi pendamping Jokowi karena dinilai sudah berpengalaman ketika pernah mendampingi SBY.
"Pasangan Jokowi dan JK memiliki elektabilitas paling tinggi dibandingkan pasangan lainnya. Namun masih banyak publik yang belum menentukan pilihannya," kata Pendiri PDB, Didik Junaidi Rachbini beberapa waktu lalu.
Namun lain halnya dengan analisis yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI). Pasangan Jokowi-JK dinilai tak cocok karena tiga hal.
Menurut Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargen, JK pernah menjadi bagian dari pemerintahan Presiden SBY. Menurut dia, ketika JK menjabat wakil presiden, PDIP babak belur digebuk.
"Dibongkar semua dan sasarannya kader PDIP," kata Boni.
Apalagi, dia menambahkan, saat JK menjadi wapres, posisi PDIP adalah oposisi. Sehingga ia menilai motivasi JK ingin menjadi cawapres Jokowi dicurigai untuk mencari kekuasaan.
Berikutnya, Boni menyebut, bahwa perusahaan yang bernaung di Kalla Grup, itu membesar ketika JK menjabat wapres dan ketua umum Partai Golkar. Boni khawatir ketika nanti JK jadi wapres bisa lebih dominan dari presidennya.
Terakhir, Boni menegaskan bahwa JK masih resmi sebagai petinggi Partai Golkar. Boni curiga dengan JK ingin jadi cawapres bisa menjadi pintu masuk Golkar ke dalam kekuasaan.
"Saya kira Golkar perlu belajar jadi oposisi," sebut dia.
Hal-hal yang meringankan JK dari tuduhan tersebut adalah pada saat JK menjadi Wapres SBY, Partai Demokrat hanya memiliki suara tak lebih dari sepertiga suara Golkar, sedangkan saat ini suara PDIP lebih besar dibandingkan Golkar. Kedua, adalah kenyataan bahwa JK adalah 'fanboi' Jokowi, ini dibuktikan dari sebelum pilgub DKI sampai dengan saat ini JK masih terus memuja-muji Jokowi. Ketiga, pada tahun 2004-2009 tak ada petinggi Partai Demokrat yang disegani oleh JK, sedang di PDIP ada Megawati Soekarnoputri yang merupakan tokoh yang disegani oleh JK, demikian juga keberadaan Surya Paloh yang ikut mengawal Jokowi maju sebagai capres akan ikut mengerem jika JK berbuat 'macam-macam' ketika menjadi wapres dari Jokowi. Keempat, trauma setelah didepak oleh SBY pada 2009 akan menjadikan pengingat JK untuk tidak bertingkah 'macam-macam' saat menjadi wapres dari Jokowi. Kelima, sikap terbuka yang dimiliki JK, akan menempatkan JK "seperti" Ahok, hal ini tentu menjadi nilai tambah yang sangat diinginkan Jokowi.

Mahfud MD
Wacana pasangan Jokowi-Mahfud MD ini mencuat hebat ketika Politikus PDI Perjuangan Sabam Sirait mengatakan akan menyampaikan kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menyandingkan bakal calon presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan tokoh NU.
Menurut Sabam, wacana pasangan capres-cawapres dari nasionalis dengan nahdliyin (Islam) bukanlah tak mungkin. Sebab secara historikal politik, NU memberi andil besar dalam membangun bangsa Indonesia sejak sebelum zaman kemerdekaan.
"Seingat saya kalau seandainya Presiden Soekarno saat itu tidak dekat dengan tokoh-tokoh NU, mungkin saja Pak Soekarno dekat dengan PKI yang justru ingin merongrong keutuhan NKRI," kata Sabam.
Di tempat yang sama, KH Salahuddin Wahid menyatakan, NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia selalu memperhatikan dan berusaha berkontribusi untuk bangsa.
Gus Sholah, begitu akrab disapa, menegaskan sejumlah tokoh NU mempunyai kemampuan untuk diberi amanah memimpin Indonesia. Namun, melihat kondisi Indonesia yang karut marut di bidang penegakan hukum, Ia menilai mantan Ketua MK Mahfud MD dinilai orang tepat untuk mendampingi Jokowi.
"Sebenarnya kalau tokoh NU yang banyak, tapi melihat kebutuhan saat ini kan soal penegakan hukum. Nah, di NU kita punya Pak Mahfud yang integritasnya sudah tak diragukan lagi dalam menegakkan hukum, terutama ketika memimpin MK," tutup Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur itu.
Kelemahan dari Mahfud MD ini adalah tingkat elektabilitas masih rendah dibanding Wiranto, Djoko Suyanto bahkan Aburizal Bakrie. Kelemahan berikutnya adalah Mahfud , diprediksi kesulitan dalam mengatur irama parlemen baik dari kalangan PKB sendiri apalagi irama dari partai Golkar. Selain hal tersebut, Mahfud juga belum mempunyai bukti dapat berkerja sebagai pemerintah yang baik, maklum sewaktu menjabat menteri tak ada prestasi yang menonjol yang ia tunjukkan. Hal berikutnya adalah sikap Mahfud tertutup dan selalu ingin tampak baik (cari muka saja) diprediksi akan menjadi benih persaingan dengan presidennya di kemudian hari.

Ryamizard Ryacudu
Selain Jusuf Kalla dan Mahfud MD, sosok ini tiba-tiba juga muncul diwacanakan untuk menjadi cawapres Jokowi. Salah satu pendiri PDIP, Gunawan Wirosaroyo mengusulkan agar Jokowi dipasangkan dengan tokoh dari unsur TNI. Unsur TNI tersebut diperlukan untuk melengkapi Jokowi yang dari unsur sipil.
"Kalau suara dari para sesepuh di sini ada beberapa nama. Salah satunya tokoh dari TNI. Yang dekat dengan partai ya Ryamizard Ryacudu," kata Gunawan di Karanganyar beberapa waktu lalu.
Menurut Gunawan, mantan Kepala Staf TNI AD yang sempat dicalonkan Presiden Megawati menjadi Panglima TNI tersebut memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Sosok tersebut sangat diperlukan Jokowi untuk memimpin Indonesia.
Namun sayangnya wacana Gunawan itu hanya ditanggapi biasa saja oleh Ryamizard. Dia terkesan belum secara gamblang memperlihatkan ketertarikannya untuk melenggang bersama Jokowi di pemerintahan.
"Jabatan (cawapres) itu bagi saya tidak penting, kerja yang penting. Dulu saya sudah keputusan presiden sebagai Panglima TNI tapi tidak jadi dilantik, saya tidak masuk rumah sakit jiwa," ujar dia di kantor DPP Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK), Jl Tebet Timur Dalam, Senin (14/4).
Dia mengungkapkan ada dua tugas utama menjadi pemimpin. Di antaranya, dapat menyatukan yang dipimpin menjadi merasa aman dan menyejahterakannya. [Metro TV, merdeka dan detik]

1 komentar:

  1. Dalam memilih wapres ini libatkanlah rakyat, rakyat jangan ditinggalkan. Karena ujung-ujungnya ya nanti yang memilih pasangan presiden n wakil presiden adalah rakyat. Nah dari berbagai survey sudah diketahuikan kehendak dari rakyat, yi JOKOWI = JK

    BalasHapus