Fenomena dan euforia Jokowi saat ini sebagai calon Presiden (capres)
dinilai sama momennya ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
hendak maju sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Direktur
Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti,
mengatakan bangsa Indonesia sebenarnya sudah punya pengalaman ketika
memilih pemimpin hanya berdasarkan faktor populer. Menurutnya saat itu
SBY sangat populer dan didukung koalisi besar, namun pada akhirnya tetap
tidak bisa apa-apa karena ada kepentingan politik.
Hal yang sama
dinilai juga terjadi pada momen pencapresan Jokowi saat ini, dimana
Jokowi dikenal sangat manut pada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
"Sejauh
mana Jokowi punya independensi kuat? Jokowi orang Jawa, senioritas
sangat melekat pada dirinya. Bagaimana dia (Jokowi) independen dari
Megawati? Megawati selain Ketua Umum, juga senior. Ada urusan struktural
dan kultural yang membatasi beliau. Ini problemnya," ungkap Ray saat
diskusi politik di d'Consulate Jakarta, Rabu (19/3/2014).
Ray
menuturkan dirinya belum melihat dalam diri Jokowi bahwa mantan Walikota
Solo itu bisa berdiri independen tanpa terpengaruh kepentingan partai.
Contoh Jokowi belum bisa independen dari partai, kata Ray, saat Jokowi
meninggalkan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta dan memilih mengikuti
Megawati.
"Jujur saya belum melihat Jokowi punya independensi
diluar unsur dirinya, yakni dari senior dan kepentingan partai. Sebagai
contoh, kedekatan dengan Megawati kemudian meninggalkan tugasnya sebagai
Gubernur," tuturnya.
"Mungkin itu cara Pak Jokowi untuk memikat
hati Megawati supaya diangkat menjadi capres. Bisakah Jokowi berpisah
dengan PDIP setelah jadi Presiden? Bukan berpisah struktural dan visi,
tapi berpisah kepentingan. Bisa tidak Jokowi independen dari PDIP?
Jokowi berani tidak katakan, sejak terpilih jadi Presiden, saya Presiden
RI bukan Presiden dari sebuah partai," tukasnya.
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar