Isu penyelesaian Hak Asasi Manusia (HAM) dan hubungannya dengan
pemilihan calon presiden harus ditanggapi secara serius. Kedua capres,
Jokowi dan Prabowo, diharapkan tak hanya berfokus pada penyelesaian
problematika demokrasi dan birokrasi saja, namun juga pada permasalahan
HAM yang hingga saat ini masih banyak yang menggantung.
"Disadari
betul dewasa ini masih ada pelanggaran HAM berat yang belum
diselesaikan. Dua capres ini dengan caranya masing-masing mencoba
memaparkan persoalan.
Jokowi mau menciptakan perubahan, Prabowo mau
menciptakan sistem baru," ujar Direktur Eksekutif Human Rights Resource
Center for ASEAN (HRRCA), Marzuki Darusman, usai pemaparan kuliah umum
di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jaksel, Rabu (21/5/2014).
Lanjut
Marzuki, elektabilitas Jokowi memang lebih tinggi, namun apabila
dihitung di atas kertas hasilnya bisa saja berbeda. Jika salah satu
pihak berbuat kesalahan, elektabilitas tersebut mungkin akan mengecil
dan berbalik.
"Yang mewarnai kecemasan bagi orang kota, Jokowi
dianggap one of us, sosoknya dan simbolisasinya. Karena itu perdebatan
yang terbuka di antara 2 capres ini menurut saya tidak akan memberi
proyeksi yang sebenarnya tentang kekuatan salah satu capres, kalau
diukur dari kemampuan melakukan narasi," ungkap pria berusia 69 tahun
ini.
Dia beranggapan, hal seperti itu tidak dapat dijadikan
jawaban untuk membandingkan kedua tokoh ini. Bukan pada program, niat,
tujuan, dan sebagainya, tetapi artikulasi simbolik dari apa yang ingin
dilambangkan Jokowi.
"Di sisi lain, koalisi Prabowo menawarkan
kepemimpinan yang kuat. Kalau kita ambil studi andaikan SBY boleh maju
lagi, secara konstitusional dia akan menang. Itu menandakan bahwa tidak
betul rakyat menginginkan pemimpin yang kuat. Anxiety (kecemasan) ini
adalah soal masa depan HAM," jelasnya.
Saat ditanyakan capres
mana yang kemungkinan akan membawa peluang penyelesaian permasalahan HAM
lebih besar, Marzuki mengaku tak dapat menilai secara gamblang. Namun
mantan jaksa agung ini memiliki beberapa pendapat mengenai kedua
politikus tersebut dilihat dari pengalaman mereka bersinggungan dengan
HAM.
"Kalau Jokowi mungkin karena keterlibatannya minim bisa-bisa
dia bilang lakukan saja apa yang menurut kalian baik. Kalau Prabowo
yang memiliki pertalian dengan masalah-masalah HAM lebih banyak, mungkin
bisa punya konsesi negosiasi HAM yang lebih banyak. Ini sudah jadi
persoalan politik," tutur mantan ketua Komnas HAM ini.
"Ini (isu
HAM) perlu dikeluarkan supaya kita bisa memilih yang terbaik. Saya
hanya bisa melakukan bahwa banyak hal yang bisa dikonklusi mengenai apa
yang dilakukan masa lalu dengan sejarah. Kita harus bisa membedakan itu
karena tidak sama. Kita tidak pernah tahu secara faktual apa yang
terjadi di masa lalu, kecuali bisa diletakkan pembuktian secara hukum,"
tutupnya. [detik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar