Salah satu kasus korupsi yang menarik perhatian publik dan sarat dengan
kepentingan politis adalah kasus “pembobolan” Bank Century melalui
bailout sebesar lebih dari Rp 6,7 triliun. Kasus ini sarat dengan
kepentingan politis karena sebelumnya terjadi tarik menarik untuk
menyelesaikannya apakah diselesaikan melalui politik (DPR-RI sebagai
pengadilnya) atau melalui mekanisme hukum (KPK yang mempeloporinya).
Akhirnya, akal waras anggota legislatif menyepakati penyelesaian kasus
bailout Century melalui mekanisme hukum yang berlaku dimana KPK dan
lembaga penegak hukum lainnya sebagai leading sector.
Namun
setelah keputusan menyelesaikan kasus Century diserahkan kepada KPK
sejak lebih dari 1 tahun yang lalu, ternyata upaya KPK pimpinan Abraham
Samad untuk menyelesaikan kasus ini bagaikan “jalannya siput” alias
sangat lambat sekali, sehingga banyak kalangan yang mengira bahwa kasus
ini pasti melibatkan orang-orang top dan berkuasa, sehingga KPK juga
“keder” mengatasinya dan menunggu momentum tepat untuk menyelesaikan
yaitu ketika penguasa atau orang kuat tersebut misalnya sudah tidak
menjabat lagi.
Salah satu indikasi semakin menguatnya
penyelesaian kasus Century seiring dengan masa jabatan tokoh kuat yang
diduga terlibat dalam kasus ini akan berakhir juga semakin menguat,
antara lain melalui pendapat-pendapat yang dikemukakan opinion leader di
Indonesia.
Bambang Soesatyo yang juga anggota Timwas Century
DPR-RI mengatakan, saat bersaksi untuk terdakwa Budi Mulya di Pengadilan
Tipikor, mantan Gubernur Bank Indonesia, Boediono tidak memberikan
jawaban yang tegas tentang tanggung jawab atas pemberian Fasilitas
Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), sehingga terkesan melempar tanggung jawab
dalam pemberian FPJP kepada para deputi Gubernur BI dan menggunakan
tekanan krisis sebagai alasan. Boediono telah menggambarkan kepada
majelis hakim bahwa perannya hanya sampai pada tahap merubah Peraturan
Bank Indonesia, sedangkan penanggung jawab pemberian FPJP berada di tiga
Deputi Gubernur BI yaitu Budi Mulya, Budi Rochadi dan Siti Fadjriah.
Menurut Bambang Soesatyo,
pengadilan tipikor dan jaksa KPK untuk menghadirkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di pengadilan terkait kasus Bank Century dengan
terdakwa Budi Mulya. Kesaksian presiden merupakan konsekuensi logis,
karena mantan Gubernur BI, Boediono sudah memperjelas posisi presiden
dalam proses penyelamatan Bank Century tahun 2008. Selain itu, pengakuan
Boediono bahwa dirinya telah melaporkan kondisi dan status Bank Century
kepada presiden merupakan pembenaran atas pernyataan mantan Ketua Umum
Partai Demokrat, Anas Urbaningrum yang juga pernah menyatakan Presiden
SBY tahu seluk beluk skandal kasus itu.
Sementara itu, Misbakhun
yang juga inisiator hak angket Century mengatakan, keterangan mantan
Gubernur BI yang sekarang menjabat sebagai Wapres RI, Boediono juga
mengonfirmasi disposisi Siti Ch Fadjriahn pada 31 Oktober 2008 terkait
dengan surat dari Zainal Abidin yang mengatasnamakan Bank Centiry tidak
layak. Dalam kesaksian Boediono mempunyai kejanggalan untuk kasus
menjerat Budi Mulya di pengadilan tindak pidana korupsi dinilai telah
mengonfirmasi beberapa fakta yang muncul dalam persidangan terdahulu,
sehingga status Boediono layak untuk dinaikkan menjadi tersangka. Dengan
fakta-fakta persidangan yang ada, sangat jelas kelihatan keterlibatan
Wapres Boediono (Media Indonesia, 10 Mei 2014)
Selain Century,
masih banyak kasus korupsi yang belum terselesaikan di Indonesia antara
lain kasus Hambalang yang juga melibatkan beberapa orang top di negeri
ini.
Sebelumnya, kasus korupsi juga ditemukan melalui dokumen
audit BPK pada akhir Juni 2013 yang sudah diterima Kemenag, menemukan
dugaan penyimpangan penggunaan anggaran penyelenggaraan ibadah haji
tahun 2012 sedikitnya Rp 4 miliar. Penyimpangan terbesar terjadi pada
kelebihan bayar kegiatan operasional sebesar Rp 1,6 milyar. Penyimpangan
dalam pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi.
Nilai
pengadaan barang dan jasa plus biaya operasional penyelenggaraan haji
2012 mencapai Rp 88,33 milyar. ICW sudah melaporkan dugaan penyelewengan
dana haji sejak 2006 sampai 2012 kepada KPK mencapai Rp 5 triliun
(Koran Tempo, 12 Februari 2014).
Berdasar riset ICW tahun 2012,
dalam pengelolaan subsidi anggaran tahunan dari APBN sesuai amanat UU
Parpol, penyerapan dan penggunaan anggaran senilai Rp 9 miliar per tahun
untuk 9 DPP partai politik masih tidak transparan penggunaannya.
Capres Mana Yang Mampu?
Menurut
Lawrence Lessig (Harvard University, 2013), korupsi institusional
terjadi ketika ada pengaruh strategik dan sistematik yang legal, bahkan
etis yang menghambat efektivitas dan meruntuhkan kepercayaan publik pada
suatu institusi.
Dalam ilmu politik kontemporer, korupsi
konvensional biasanya digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu pemahaman
berdasarkan jabatan publik, kepentingan publik dan pasar. Berdasarkan
jabatan publik memandang korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik
untuk keuntungan personal.
Berdasarkan kepentingan publik,
memandang korupsi merugikan kepentingan publik, sedangkan pemahaman
pasar mempersepsikan korupsi sebagai berfungsinya pasar bebas dalam
transaksi kewenangan publik, terutama bila tidak ada aturan yang jelas
yang mengatur tindakan korup tersebut (Brown, 2004).
Kembali
kepada pertanyaan mendasar artikel ini adalah siapa figur capres yang
mampu untuk menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia ? Maka jawabannya
yang pertama adalah dilihat dari program kerjanya. Kalau pasangan
capres-cawapres tersebut menetapkan program kerja penegakkan hukum
menjadi andalannya, maka kasus korupsi kemungkinan dapat terlesaikan,
meskipun akan mendapatkan perlawanan dari kalangan “konglomerat hitam”
yang berkolaborasi dengan koruptor dengan beragam cara (at all means).
Capres
atau cawapres tersebut harus didukung oleh koalisi parpol yang “relatif
bersih” dari praktek-praktek korupsi, sehingga dapat memberantas
korupsi dengan cepat tanpa harus khawatir terkena dirinya sendiri atau
“air didulang terpercik muka sendiri”. Jika kriteria yang dipakai ini,
maka hampir semua parpol “dihinggapi” oleh kader-kadernya yang pernah
memakan uang korupsi.
Tinggal faktor selanjutnya yaitu pasangan
capres-cawapres yang ada juga harus memperhatikan lingkungannya, artinya
harus berhati-hati dalam memilih teman koalisi, karena koalisi politik
di era saat ini dapat ditujukan bukan hanya untuk bagi-bagi kursi, namun
tidak menutup kemungkinan untuk menutupi kasus korupsinya tidak
dibongkar-bongkar lagi setidaknya untuk 5 tahun kedepan, sehingga baik
PDIP ataupun Gerindra yang sedang menjadi primadona dalam pembentukan
koalisi harus waspada jangan sampai koalisi yang dibentuknya
“didomplengi” oleh kalangan koruptor untuk penyelamatannya.
Last
but not least, pemberantasan korupsi ke depan juga sangat ditentukan
oleh figur capresnya sendiri serta dana pemenangan Pilpres tersebut
apakah berasal dari dana yang bersih atau “dana siluman (termasuk dana
koruptor)” di dalamnya. Menurut penulis, sejauh ini tidak ada satupun
capres dan cawapres yang mampu untuk memberantas korupsi di Indonesia,
karena sebenarnya saat ini kita tidak memiliki stok pemimpin bangsa yang
baik hati seperti Soekarno, Hatta, Soedirman, Pangeran Diponegoro, I
Gusti Ngurah Rai ataupun Bung Tomo dll di era dulu yang berjuang tanpa
pamrih dan tanpa balas jasa.
Bangsa ini mengalami degradasi
peringkat dalam mempersiapkan kader pemimpin bangsa yang mumpuni, karena
praktek KKN yang sudah membumi dan talent of national leader spotting
yang berjalan di tempat. [tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar