Kegagalan PDI Perjuangan (PDIP) mencapai target perolehan suara pada pemilu legislatif (pileg) 2014 dianggap gagalnya Joko Widodo sebagai calon presiden (capres) untuk mengatrol dukungan bagi partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu. Pria yang akrab disapa Jokowi itu dinilai tidak mampu memanfaatkan elektabilitasnya yang tinggi untuk mendongkrak suara PDIP.
Namun, pengamat dari UIN Syarif Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, pada pileg lalu Jokowi tidak diberi kesempatan untuk memanfaatkan kekuatan terbesarnya.Menurut Burhan, relawan atau voluntarism adalah kekuatan terbesar Jokowi. Namun, saat pemilu legislatif, pergerakan para relawan ini ternyata sangat dibatasi oleh PDIP sendiri. "Terjadi birokratisasi pemenangan Jokowi," ujar Burhan dalam diskusi bertema Strategi Merebut Suara Kaum Muda di acara temu nasional relawan Jokowi yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (Almisbat) di Jakarta, Sabtu (10/5/2014).
Burhan pun mengingatkan agar kesalahan yang sama tidak terulang lagi di pemilihan presiden (pilpres) bulan Juli mendatang. Jika Jokowi ingin menang, lanjut Burhan, seluruh relawannya di Tanah Air harus bekerja keras. "Mengandalkan mesin partai saja tidak cukup," tandasnya.
Burhan pun mencontohkan kesuksesan Jokowi pada Pemilukada DKI 2012 silam karena kerja relawan. "Waktu pilkada DKI Itu yang muncul di YouTube di media sosial relawan Jokowi, melawan 85 persen parlemen di DPRD, dan Jokowi yang menang," katanya.
Burhan menambahkan, Jokowi ibarat superstar dalam Pilpres 2014 ini karena kekuatannya tidak hanya pada partai pengusung, melainkan juga pada kekuatan relawan dan dukungan publik. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia itu bahkan menyebut Pilpres 2014 sebagai pertarungan antara kekuatan lama lawan kekuatan era reformasi.
Ditegaskannya, Pilpres 2014 merupakan momen bagi perubahan mendatang. Jokowi dicitrakan sebagai pemimpin baru bercirikan kejujuran, mau melayani dan tak ada batas. "Pilpres nanti merupakan moment of truth antara Orde Baru vs Orde Reformasi," ulasnya. [dil/jpnn]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar