Bakal calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo mengatakan sosok mantan Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono layak menjadi guru besar bidang intelijen.
"Ya tadi sudah dikukuhkan, tadi yang datang profesor, profesor senior
segitu banyaknya, masa tanya ke saya. Tanyanya ke profesor-profesor
yang menguji yang tadi memberikan apa gelar itu," ujar Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi di Balai Kota, Jakarta, Rabu (7/5/2014).
Mengenai bidang intelijen, Jokowi yang masih menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan pentingnya intelijen suatu negara
berlandaskan filosofi yang jelas.
"Bidang intelijen memang diperlukan dalam sebuah negara, tetapi
intelijen tanpa didsari sebuah filosofi yang jelas, bekerjanya juga
artinya dibutuhkan negara jadi harus dasar filosofi bekerja yang kuat
karena kalau ndak kepake kemna-mana," tutur Jokowi.
Seperti diketahui, hari ini, Rabu (7/5/2014), mantan Kepala BIN
Hendropriyono dikukuhkan sebagai guru besar bidang intelijen di Sekolah
Tinggi Intelijen Negara.
AM Hendropriyono, dalam pengukuhan guru besarnya, mengatakan dasar
berpijak aparat intelijen yang bersangkutan adalah moral yang merupakan
payung paradigmatik bagi segala macam alternatif siasat.
Mengutip pendapat Donny Gahral Adian, Hendropriyono mengatakan kedaruratan adalah dasar bagi jenis hukum dan keadilan baru.
"Dalam suatu realitas yang goncang, kita tidak perlu sibuk mencari
landasan hukum positif dalam menyelamatkan rakyat. Hal itu pada dasarnya
suasana kedaruratan sejak kelahirannya sudah berwatak hukum," ujar
Hendropriyono di Balai Sudirman, Jakarta, Rabu (7/5/2014).
Dalam kondisi demikian, aparat intelijen yang bertindak cepat dan
tepat dalam mencegah terjadinya bahaya terhadap keselamatan manusia
tidak sedang melanggar hukum. Intelijen juga tidak sedang mengeksekusi
hukum.
"Apa yang dilakukannya adalah mende-eksekusi hukum, sekaligus berada
dalam proses penciptaan hukum baru," kata dia dalam orasinya yang
berjudul 'Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia'.
Hendro melanjutkan contoh kedaruratan adalah ketika pasukan alat
negara melakukan penyergapan gerombolan bersenjata dimana terjadi tembak
menembak.
Hukum yang berlaku dalam pertempuran itu adalah membunuh atau dibunuh
(to kill or to be killed). Saat itu, hukum positif yang berlaku dalam
keadaan normal telah kehilangan daya rekatnya.
Baik buruknya intelijen harus dilihat dari lingkup realitas yang
goncang yang merupakan ruang hampa hukum atau keadaan dimana hukum tidak
mungkin lagi dieksekusi.
Keluhuran moral menjadi modal utama bagi intelijen untuk
menyelamatkan rakyat dari ancaman perang dalam bentuk dan sifatnya yang
baru. [tribunnews]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar