Wacana memperkuat sistem presidensial menyeruak jelang pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli mendatang. Wacana ini pertama kali diungkapkan oleh Puan Maharani sebagai visi politik PDIP. Lalu dipertegas oleh beberapa pernyataan capres PDIP Joko Widodo yang menolak politik transaksional atau bagi-bagi 'kursi' dalam membangun kerja sama politik dengan partai lain.
Sejauh manakah kemungkinan visi presidensial ini bisa terwujud?
"Ini memang tantangan, tapi sekaligus terobosan. Harus dimulai dari sekarang.
Karena di UUD disebutkan sistem politik kita (secara implisit) adalah presidensial. Kita sudah harus mulai mempraktikkan presidensial secara benar," ujar Ketua DPP PDIP Eva Kusuma Sundari saat berbincang dengan detikcom, Rabu (16/4/2014).
Eva meyakini pada praktiknya nanti jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah benar-benar untuk kepentingan rakyat, maka rakyat akan mendukung. Praktik bernegara secara rasional bukan berbasis jumlah orang, menurutnya sudah harus dilakukan. Jika rakyat rasional, pemerintah akan mendapat dukungan meski perlemen menggoyang.
"Kita ini bukan ingin adu kekuatan jumlah, tapi ini adu rasionalitas. Kalau yang dikeluarkan adalah sesuatu yang benar, rakyat akan memilih yang rasional," ucapnya.
Namun Eva juga tidak memungkiri banyak yang menyangsikan efektivitas sistem presidensial. Sebab, dinamika politik di parlemen Senayan sangat kuat dan dinamis. Sementara sampai saat ini baru NasDem yang menyatakan berkoalisi dengan PDIP.
Mengaca pada pemerintahan sebelumnya, dinamika parlemen seringkali mempengaruhi kebijakan pemerintah. Beberapa kali kebijakan pemerintah bahkan dimentahkan oleh DPR. Meskipun pemerintah sudah mengakomodir sejumlah partai politik dalam komposisi kabinet.
"Itu kan tergantung parlemen, dan itu pandangan yang sangat perlementer.
Ini yang mau diluruskan Jokowi. Bahwa di kabinet itu adalah otoritas
presiden. Tidak mesti harus mencerminkan dinamika parlemen, seperti yang
dicontohkan SBY dengan bagi-bagi kursi menteri," urainya.
Eva
mengakui terobosan yang dilakukan PDIP dan Jokowi sangat menyakitkan
terutama bagi partai-partai lain. Namun upaya memperkuat presidensial,
baginya bukan baru sekadar gagasan. Jokowi telah melakukan platform itu
dalam skala eksekutif yang lebih rendah yakni di DKI Jakarta.
"Meski
ada pelambatan APBD karena dinamika di DPRD, tapi pemerintahan tetap
jalan kan, tetap berlanjut. Kita ingin berlatih untuk tidak berbasis
pada transaksional," cetus Eva.
Eva juga menolak jika semangat
memperkuat sistem presidensial ini akan mengembalikan keadaan seperti di
era Orde Baru. Dia menegaskan, presidensialisme berbeda dengan
otoritarianisme.
"Wah enggak lah ya. Dulu kan otoritarianisme.
Presiden mendominasi. Relasi power asimetris. Sekarang demokratis,
simetris. UUD juga kan sudah direvisi empat kali," pungkas Eva.
Sebelumnya,
pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia Margarito Kamis,
mengatakan partai politik didirikan adalah untuk meraih kekuasaan. Salah
satunya dengan menjalin sebuah koalisi.
"Senang tidak senang,
suka tidak suka, koalisi antarpartai itu bertujuan untuk meraih
kekuasaan. Dan kekuasaan itu bukan di legislatif melainkan di eksekutif
di kabinet," kata Margarito saat berbincang dengan detikcom.
Dalam
praktiknya koalisi partai politik di Indonesia pascareformasi selalu
ada bagi-bagi kursi menteri di kabinet. Kabinet selain diisi kalangan
profesional, beberapa di antaranya merupakan kader sebuah partai
politik. Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II juga diisi oleh beberapa
kader partai anggota Sekretariat Gabungan yang dipimpin Partai Demokrat.
Namun
dalam perjalanannya, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang juga
Ketua Umum Partai Demokrat tak pernah sepi dari serangan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Ironinya, beberapa motor 'penggoyang' pemerintahan
SBY adalah kader partai anggota koalisi Setgab.
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar