Capres PDIP Jokowi mengedepankan penguatan presidensiil dalam
pembentukan koalisi Pilpres 2014. Jokowi tak ingin bagi-bagi menteri,
kata koalisi bahkan diganti jadi kerja sama, untuk menggambarkan tidak
adanya politik dagang sapi. Jokowi seolah menawarkan ikatan koalisi yang
didasari ketulusan membangun bangsa.
Selama ini di Indonesia
koalisi dijalin dengan pola power sharing. Selalu ada bagi-bagi jatah
menteri. Setelah seorang capres menang, berbagai pertemuan dilakukan
untuk deal kursi menteri. Apakah nantinya Jokowi bakal benar-benar
membangun tradisi baru?
"Itu sebagai retorika publik bagus,
memang itu yang diharapkan oleh publik," kata Guru Besar Psikologi
Politik UI Prof Hamdi Muluk, Rabu (16/4/2014).
Salah
satu negara yang menganut presidensiil murni adalah Amerika Serikat.
Konstitusi di sana mengatur ketatanegaraan bahwa presiden dan parlemen
tidak bisa saling menjatuhkan. Namun situasi sulit pernah dialami
Presiden Obama kala parlemen Amerika tidak menyetujui anggaran.
Akibatnya, pemerintahan sempat beku.
Di Amerika Serikat, pilpres
hanya diikuti dua partai saja, yakni Republik dan Demokrat. Sementara di
Indonesia masih multipartai. Hasil Pileg yang relatif merata juga
membuat partai punya daya tawar tinggi dalam pengusungan capres.
"Sekarang
ini dalam perspektif pencalonan presiden itu membutuhkan menghitung
suara di parlemen. Mau tak mau untuk mengusung capres-cawapres saja
dengan realitas kita multipartai harus ada koalisi. Hari ini perolehan
suara lebih ekstrim segmented, tidak ada pemenang mayoritas," kata
Hamdi.
"Tidak mungkin hanya mengatakan kami tidak akan
mengakodomasi maunya anda, kamu maunya apa, saya maunya ini. Pertama
memang yang penting memenangkan dulu pertarungan pilpres dulu, keduanya
setelah itu menang orang yang berkoalisi akan bertanya lagi, kami dapat
apa," imbuh Hamdi.
Namun gagasan Jokowi layak diapresiasi. Tapi,
pada intinya masyarakat sebenarnya tak mempersoalkan adanya power
sharing asalkan ada jaminan kabinet diisi kalangan profesional. Dan
sebagai presiden nantinya Jokowi harus mampu meyakinkan rakyat.
"Masyarakat
maunya kabinet itu diisi profesional karena itu ekspektasi publik.
Karena kabinet yang diisi parpol bekerja tidak efektif. Apa yang
dilakukan jokowi betul sekali. Anda tidak bagi-bagi menteri, tidak
dagang sapi, jadi selling poinnya dapat. Tapi in reality dalam
kenyataannya, partai lain kami dukung pak Jokowi, kami rela nggak dapat
apa-apa, apa mungkin? Itu poinnya," ungkap Hamdi menganalisis.
"Kalau
kita kritis berpikir, itu kan seperti kau mengajak koalisi tapi tak ada
jaminan dapat apa-apa. Malah lebih bahaya kalau power sharingnya bukan
menteri misalnya kebijakan apa.
Kalimatnya manis tapi dalam realitasnya saya tidak terlalu yakin partai tidak minta apa-apa," pungkasnya.
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar