Rabu, 16 April 2014

Menunggu Konsistensi Koalisi Tulus Ala Jokowi

Capres PDIP Jokowi mengedepankan penguatan presidensiil dalam pembentukan koalisi Pilpres 2014. Jokowi tak ingin bagi-bagi menteri, kata koalisi bahkan diganti jadi kerja sama, untuk menggambarkan tidak adanya politik dagang sapi. Jokowi seolah menawarkan ikatan koalisi yang didasari ketulusan membangun bangsa.
Selama ini di Indonesia koalisi dijalin dengan pola power sharing. Selalu ada bagi-bagi jatah menteri. Setelah seorang capres menang, berbagai pertemuan dilakukan untuk deal kursi menteri. Apakah nantinya Jokowi bakal benar-benar membangun tradisi baru?
"Itu sebagai retorika publik bagus, memang itu yang diharapkan oleh publik," kata Guru Besar Psikologi Politik UI Prof Hamdi Muluk, Rabu (16/4/2014).
Salah satu negara yang menganut presidensiil murni adalah Amerika Serikat. Konstitusi di sana mengatur ketatanegaraan bahwa presiden dan parlemen tidak bisa saling menjatuhkan. Namun situasi sulit pernah dialami Presiden Obama kala parlemen Amerika tidak menyetujui anggaran. Akibatnya, pemerintahan sempat beku.
Di Amerika Serikat, pilpres hanya diikuti dua partai saja, yakni Republik dan Demokrat. Sementara di Indonesia masih multipartai. Hasil Pileg yang relatif merata juga membuat partai punya daya tawar tinggi dalam pengusungan capres.
"Sekarang ini dalam perspektif pencalonan presiden itu membutuhkan menghitung suara di parlemen. Mau tak mau untuk mengusung capres-cawapres saja dengan realitas kita multipartai harus ada koalisi. Hari ini perolehan suara lebih ekstrim segmented, tidak ada pemenang mayoritas," kata Hamdi.
"Tidak mungkin hanya mengatakan kami tidak akan mengakodomasi maunya anda, kamu maunya apa, saya maunya ini. Pertama memang yang penting memenangkan dulu pertarungan pilpres dulu, keduanya setelah itu menang orang yang berkoalisi akan bertanya lagi, kami dapat apa," imbuh Hamdi.
Namun gagasan Jokowi layak diapresiasi. Tapi, pada intinya masyarakat sebenarnya tak mempersoalkan adanya power sharing asalkan ada jaminan kabinet diisi kalangan profesional. Dan sebagai presiden nantinya Jokowi harus mampu meyakinkan rakyat.
"Masyarakat maunya kabinet itu diisi profesional karena itu ekspektasi publik. Karena kabinet yang diisi parpol bekerja tidak efektif. Apa yang dilakukan jokowi betul sekali. Anda tidak bagi-bagi menteri, tidak dagang sapi, jadi selling poinnya dapat. Tapi in reality dalam kenyataannya, partai lain kami dukung pak Jokowi, kami rela nggak dapat apa-apa, apa mungkin? Itu poinnya," ungkap Hamdi menganalisis.
"Kalau kita kritis berpikir, itu kan seperti kau mengajak koalisi tapi tak ada jaminan dapat apa-apa. Malah lebih bahaya kalau power sharingnya bukan menteri misalnya kebijakan apa.
Kalimatnya manis tapi dalam realitasnya saya tidak terlalu yakin partai tidak minta apa-apa," pungkasnya.

Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar