Rabu, 16 April 2014

Alasan Kenapa Investor Asing Pro Jokowi

Bank Standard Chartered Indonesia menguak alasan investor asing menyukai sosok calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo. Gubernur DKI Jakarta itu dianggap berani mengambil kebijakan tak populis buat menyeimbangkan anggaran.
Hal itu terlihat dari pernyataan Jokowi Desember tahun lalu, soal menghapus peredaran Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di wilayah Ibu Kota.
"Kalau kita lihat Gubernur Jokowi, Desember lalu ingin melarang BBM bersubsidi. Artinya menggunakan patokan itu, sebagai presiden dia tidak akan ragu-ragu mengurangi subsidi energi," kata Kepala Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan, di Jakarta, Rabu (16/4/2014).
Tak dipungkiri, isu mengalihkan anggaran BBM bersubsidi krusial di mata investor. Sebab anggaran pemerintah selama ini dirasa kurang untuk infrastruktur. Pemerintah perlu ruang fiskal, yang hanya bisa didapatkan kalau subsidi energi diturunkan.
Walaupun rencana ekonomi setiap partai rata-rata proteksionis dan populis, Fauzi meyakini semua perlu dukungan infrastruktur. Dan dana untuk memuluskan pembangunan sarana pendukung ekonomi, mustahil didapatkan selain dari menaikkan harga jual BBM.
"Setelah pemerintah baru terpilih, prioritasnya tentu infrastruktur, apapun strategi ekonominya, apakah memperkuat manufaktur, agrikultur, mendorong ekspor nasional, tetap saja infrastruktur jadi prioritas, apakah itu tol Jawa, membangun pelabuhan, atau bandar udara," ungkapnya.
Standard Chartered mengumpulkan pandangan lembaga-lembaga investasi internasional. Rata-rata sebenarnya tidak mempermasalahkan kebijakan proteksionis, asalkan ada kejelasan.
Masalahnya, akhir masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, justru dipenuhi kebijakan bernuansa nasionalis yang tidak sinkron. Di antaranya pelarangan ekspor mineral mentah, pembatasan impor perdagangan, dan tekanan untuk membatasi kepemilikan asing di perbankan.
"Menteri-menteri ekonomi memiliki agenda politik, tidak bisa terlalu fokus pd kebijakan yang komprehensif. Dan 2 tahun terakhir, semakin banyak investor asing mengeluh makin banyak keluar kebijakan proteksionis yang tidak terkoordinasi," kata Fauzi.
Padahal, Standard Chartered meyakini pemerintahan baru akan punya momentum positif mendorong perekonomian. Diramalkan ekuilibrium baru pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di kisaran 5,5-6 persen, walau Amerika dan Eropa menguat.
Karenanya, seiring perbaikan infrastruktur, pemerintah harus lebih menggenjot pembangunan manufaktur, ini untuk mengatasi tren pelemahan harga komoditas. Padahal ekspor Indonesia sampai sekarang 60 persen masih disokong bahan baku seperti batu bara, nikel, maupun kelapa sawit.
"Idealnya kita lakukan industrial reform. Sebab 65 persen PDB kita dari konsumsi domestik, dengan 56 persen didorong konsumsi masyarakat. Jadi selama suku bunga tidak naik, otomatis manufaktur harus jadi andalan," kata Fauzi.

Sumber :
merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar