Bank Standard Chartered Indonesia menguak alasan investor asing
menyukai sosok calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo. Gubernur
DKI Jakarta itu dianggap berani mengambil kebijakan tak populis buat
menyeimbangkan anggaran.
Hal itu terlihat dari pernyataan Jokowi Desember tahun lalu, soal
menghapus peredaran Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di wilayah Ibu
Kota.
"Kalau kita lihat Gubernur Jokowi, Desember lalu ingin melarang BBM
bersubsidi. Artinya menggunakan patokan itu, sebagai presiden dia tidak
akan ragu-ragu mengurangi subsidi energi," kata Kepala Ekonom Standard
Chartered Fauzi Ichsan, di Jakarta, Rabu (16/4/2014).
Tak dipungkiri, isu mengalihkan anggaran BBM bersubsidi krusial di
mata investor. Sebab anggaran pemerintah selama ini dirasa kurang untuk
infrastruktur. Pemerintah perlu ruang fiskal, yang hanya bisa didapatkan
kalau subsidi energi diturunkan.
Walaupun rencana ekonomi setiap partai rata-rata proteksionis dan
populis, Fauzi meyakini semua perlu dukungan infrastruktur. Dan dana
untuk memuluskan pembangunan sarana pendukung ekonomi, mustahil
didapatkan selain dari menaikkan harga jual BBM.
"Setelah pemerintah baru terpilih, prioritasnya tentu infrastruktur,
apapun strategi ekonominya, apakah memperkuat manufaktur, agrikultur,
mendorong ekspor nasional, tetap saja infrastruktur jadi prioritas,
apakah itu tol Jawa, membangun pelabuhan, atau bandar udara," ungkapnya.
Standard Chartered mengumpulkan pandangan lembaga-lembaga investasi
internasional. Rata-rata sebenarnya tidak mempermasalahkan kebijakan
proteksionis, asalkan ada kejelasan.
Masalahnya, akhir masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II,
justru dipenuhi kebijakan bernuansa nasionalis yang tidak sinkron. Di
antaranya pelarangan ekspor mineral mentah, pembatasan impor
perdagangan, dan tekanan untuk membatasi kepemilikan asing di perbankan.
"Menteri-menteri ekonomi memiliki agenda politik, tidak bisa terlalu
fokus pd kebijakan yang komprehensif. Dan 2 tahun terakhir, semakin
banyak investor asing mengeluh makin banyak keluar kebijakan
proteksionis yang tidak terkoordinasi," kata Fauzi.
Padahal, Standard Chartered meyakini pemerintahan baru akan punya
momentum positif mendorong perekonomian. Diramalkan ekuilibrium baru
pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di kisaran 5,5-6 persen, walau Amerika
dan Eropa menguat.
Karenanya, seiring perbaikan infrastruktur, pemerintah harus lebih
menggenjot pembangunan manufaktur, ini untuk mengatasi tren pelemahan
harga komoditas. Padahal ekspor Indonesia sampai sekarang 60 persen
masih disokong bahan baku seperti batu bara, nikel, maupun kelapa sawit.
"Idealnya kita lakukan industrial reform. Sebab 65 persen PDB kita
dari konsumsi domestik, dengan 56 persen didorong konsumsi masyarakat.
Jadi selama suku bunga tidak naik, otomatis manufaktur harus jadi
andalan," kata Fauzi.
Sumber :
merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar