Hujan dua hari berturut-turut, Sabtu (11/1/2014) dan Minggu (12/1/2014),
genangan dan banjir sudah menyebar di Jakarta. Bukan salah Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tentu saja. Namun, andai saja wacana pengusungan
Jokowi menjadi calon presiden tak semencuat hari-hari ini, barangkali
pemikiran untuk solusi banjir Jakarta akan dipikul rata oleh lebih
banyak tokoh. Apa hubungannya?
"Baru hujan dua hari, yang itu pun
belum paling lebat, kita sudah melihat banjir dan macet di Jakarta hari
ini. Tak beda dengan zaman Foke (Fauzi Bowo), mungkin malah memburuk,"
ujar Wakil Ketua DPP Partai Amanat Nasional, Dradjad Hari Wibowo,
memulai perbincangan soal banjir Jakarta, Senin (13/1/2014).
Dradjad
sedang tidak bicara soal kepentingan politik partainya. "Saya tahu akan
dicaci para pendukung Jokowi karena pendapat saya ini," kata Dradjad
sebelum mengemukakan pendapatnya lebih lanjut. "Tapi untuk kebaikan,
saya siap menerima," ujar dia.
Jokowi, kata Dradjad, adalah tokoh
politik yang cemerlang. Menurut dia, Jokowi punya kesempatan emas
menjadi Gubernur DKI Jakarta yang sukses, bahkan pemimpin nasional pada
saatnya kelak. "Sayangnya, Jokowi 'tersandera' oleh wacana pencapresan
yang terlalu awal. Dia disandera pendukung-pendukungnya sendiri yang tak
sabaran ingin 'ngatur negara'," papar dia.
Jokowi "sendirian"...
Implikasi
dari wacana yang terus bergulir bak bola salju tentang pencapresan
Jokowi, menurut Dradjad, menempatkan Jokowi pada posisi terjepit. Tak
hanya dia, banyak tokoh nasional pun yang menjadi canggung untuk turun
tangan membantu Jokowi menangani masalah Jakarta.
"Jokowi tidak
lagi mendapatkan dukungan penuh tokoh-tokoh nasional yang dulu 'membawa'
Jokowi dari Solo ke Jakarta," kata Dradjad. Prabowo dan Jusuf Kalla,
misalnya, menurut Dradjad, tidak akan nyaman sekarang ketika melihat
orang yang mereka orbitkan justru "menelan" mereka.
"Demikian
pula ibu Mega (Megawati Soekarnoputri)," imbuh Dradjad. Menurut Dradjad,
saat ini Megawati dipojokkkan oleh orang-orang yang tak paham etika
politik. Presiden dan para menteri yang notabene mayoritas berlatar
belakang partai politik menjadi "berhitung" kalau terkait dengan program
kerja Jakarta.
"Mereka (para pejabat) ingin memastikan bahwa
rakyat tahu program itu dari pemerintah pusat, bukan dari pemerintah
daerah DKI Jakarta, apalagi Jokowi," papar Dradjad. Padahal, persoalan
Jakarta tak akan bisa diselesaikan sendirian oleh Jokowi. "Jakarta butuh
usaha bersama kita semua. All out," tegas dia.
Jakarta,
kata Dradjad, adalah salah satu kota paling kacau di dunia. Sutiyoso,
sebut dia, sudah melakukan banyak terobosan, mulai dari membongkar
kekumuhan Monas dan Stadion Menteng, hingga memunculkan bus
transjakarta.
Fauzi Bowo, lanjut Dradjad, bagaimanapun adalah
pembangun jalan layang Antasari dan bahkan Casablanca. "Namun, dengan 12
juta penduduk pada siang hari, beban Jakarta jauh lebih berat daripada
Singapura bahkan London sekalipun."
Melepaskan kepentingan
pragmatis partai politik terkait pemilu, Dradjad berharap, banjir yang
sudah datang lagi di Jakarta, meski hujan belum lebat-lebatnya di
Jabodetabek, menjadi "wake up call" bagi para pendukung Jokowi untuk tak
buru-buru mengusung Jokowi ke pemilu presiden. "Berpolitik itu perlu
proses, tidak bisa instan," ujar dia.
Dradjad menegaskan
pendapatnya ini lagi-lagi bukan berdasarkan pertimbangan pendek
jabatannya sebagai wakil ketua umum partai kompetitor Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai pengusung Jokowi.
"Saya
akademisi dan profesional di bidang keuangan, bukan semata politisi,"
kata Dradjad. Sebagai pembanding, dia menyebutkan tokoh-tokoh nasional
di negara lain yang tak punya cerita "tiba-tiba" menjadi kepala negara.
"Lihat
pengalaman Bush, Clinton, bahkan Merkel dan Putin. Ada tahapannya,"
kata dia. Kembali ke soal banjir, Dradjad berkomentar singkat, "Saya
ingin Mas Jokowi berhasil memperbaiki Jakarta kita bersama."
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar