"Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban saya sebagai
Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat,
nusa dan bangsa”.
Itulah kalimat janji Joko Widodo (Jokowi) saat
dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012 silam. Janji
ini menjadi polemik hebat, baik dikalangan politisi, masyarakat atau
media massa. Pemicunya, Jokowi menerima pinangan PDI Perjuangan untuk
menjadi calon presiden (capres) pada pemilu presiden (pilpres) 9 Juli
mendatang.
Bagi sebagian kalangan, penerimaan Jokowi menjadi
capres ini telah melanggar janji serta komitmen yang pernah ia kemukakan
sendiri.
Selain janji di atas, pada Kamis 20 September 2012 silam di
rumah Megawati Soekarnoputri, dalam pernyataan persnya, Jokowi pernah
mengeluarkan pernyataan bahwa dia tak akan menjadi “kutu loncat” dan
mengundurkan diri dari jabatan Gubernur DKI Jakarta selama lima tahun
untuk maju menjadi capres.
"Saya sudah jawab berkali-kali.
Sampai sepuluh kali, mungkin yang sekarang ini sudah belasan kali bilang
soal komitmen saya. Masa diomongkan lagi, wong sudah bolak-balik bilang
Jokowi itu komitmen" jawab Jokowi kala itu saat ditanya tentang
komitmen memimpin Jakarta selama lima tahun dan tak akan mundur untuk
maju menjadi capres.
Namun bagi sebagian kalangan lainnya,
penerimaan Jokowi menjadi capres bukan sikap yang melanggar janji.
Karena seandainya Jokowi nanti terpilih menjadi presiden, perbaikan
wilayah DKI Jakarta bisa lebih optimal. Hal itu disebabkan beberapa
kewenangan perbaikan wilayah DKI Jakarta menjadi domain pemerintah
pusat.
Akan tetapi, bukan polemik ini yang akan menjadi fokus
tulisan ini. Karena dalam dalam UU No 8 Tahun 2005 dan PP No. 6 Tahun
2005 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, seorang kepala daerah
memang diperbolehkan untuk berhenti saat masih menjabat. Kepala Daerah
bisa berhenti atau diberhentikan di tengah jalan, salah satu klausulnya
apabila ia mengajukan berhenti atas permintaan sendiri.
Yang
menarik untuk dianalisa adalah sebuah pertanyaan, kenapa Jokowi mau
melanggar janji dan komitmennya sendiri untuk menjadi capres PDI
Perjuangan?
Power-Seeking Politician
Untuk menjawab
pertanyaan di atas, tentu yang bisa memberikan alasan pasti adalah
Jokowi sendiri. Akan tetapi secara teoritis, sejatinya penerimaan Jokowi
menjadi capres dengan risiko ingkar terhadap janji dan komitmennya ini
bisa dijelaskan. Kerangka akademis yang dapat digunakan untuk merinci
hal ini adalah konsep power-seeking politician (politisi pemburu rente kekuasaan)
Model analisa power-seeking politician
ini memiliki asumsi dasar yang menyebutkan bahwa para politisi
merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan
untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari
para politisi adalah memaksimalkan semua sumber daya (resources) yang dimilikinya untuk mendapatkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang telah dimiliki.
Itu
sebabnya, orientasi keputusan yang diambil selalu merujuk pada
kalkulasi kepentingan jangka pendek. Untuk tujuan tersebut, maka para
politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya apa saja
yang dimiliki guna memberikan ganjaran (reward) kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman (punishment)
kepada siapa saja yang coba mengganggu. Terkadang, politisi bisa
mengabaikan etika politik dan norma sosial untuk menggapai tujuannya
tersebut (Grindle, 1989).
Kembali pada konteks penerimaan Jokowi
menjadi capres dengan resiko ingkar janji dan komitmen, yang perlu kita
garis bawahi adalah Gubernur DKI Jakarta ini merupakan seorang politisi.
Seperti disebutkan di atas, tujuan utama politisi adalah merengkuh
kekuasaan. Dan saat momentum untuk menggapai kuasa itu datang, maka ia
tak akan menyia-nyiakannya. Meskipun itu menabrak etika politik dan
norma sosial.
Hal itu sudah pernah terjadi saat Jokowi ditawari
menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh PDI Perjuangan kala ia masih punya
tanggung jawab tiga tahun untuk menyelesaikan jabatannya menjadi Wali
Kota Solo. Dalam konsep Grindle, inilah yang disebut ketersediaan sumber
daya (resources) untuk merebut kuasa, dan Jokowi memaksimalkan resources itu dengan menerima pinangan menjadi gubernur DKI Jakarta.
Kini,
hal serupa kembali terjadi. “Resources” untuk mencapai kuasa yang lebih
tinggi kembali tiba. Sekali lagi, Jokowi ditawari PDI Perjuangan maju
menjadi calon presiden, dan sekali lagi, Jokowi yang memang seorang
politisi, tak menyia-nyiakannya. Ia pun “mengorbankan” janji dan
komitmennya untuk mengawal Jakarta selama lima tahun guna maju bertarung
menuju istana.
Etika Politik
Hemat saya, memang tak ada yang
salah jika para politisi mengambil peluang untuk menggapai kuasa kala
momentum itu tiba. Karena tanpa power, politisi akan cukup kesulitan
untuk mengaplikasikan semua ide dan gagasannya untuk memajukan bangsa
dan negara.
Namun di sisi lain, ada garis etika politik dan
norma sosial yang mestinya juga harus diperhatikan oleh para politisi.
Bahkan yang bisa dijadikan catatan, perilaku politisi yang mengabaikan
kewajiban dan tanggung jawab serta melanggar komitmennya sendiri jangan
sampai dijadikan kebiasaan. Karena jika kondisi ini terus berlanjut,
bagaimana nasib kepemimpinan daerah bangsa ini kedepan?
Bisa
dibayangkan jika semua politisi negeri ini menjadikan rute kekuasaan
yang dilakukan Jokowi ini sebagai rule of model dalam pencapaian karir
politik mereka. Nasib daerah yang akan menjadi pertaruhan.
Itu
sebabnya, ada baiknya para politisi merenung sejenak untuk tetap
menyamakan perilaku dan wicara, tanpa harus mengabaikan tujuan menggapai
kuasa. Karena jika itu bisa dilakukan, para politis akan bisa menggamit
kuasa dengan cara elegan dan siap menjadi sosok negarawan yang patut
menjadi tauladan.
*) Abdul Hakim MS adalah Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), bisa dihubungi melalui email: aabprogress@yahoo.com [detik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar