Rabu, 23 April 2014

Kekuasaan, Politisi dan Power-Seeking Politician

"Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban saya sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Itulah kalimat janji Joko Widodo (Jokowi) saat dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012 silam. Janji ini menjadi polemik hebat, baik dikalangan politisi, masyarakat atau media massa. Pemicunya, Jokowi menerima pinangan PDI Perjuangan untuk menjadi calon presiden (capres) pada pemilu presiden (pilpres) 9 Juli mendatang.
Bagi sebagian kalangan, penerimaan Jokowi menjadi capres ini telah melanggar janji serta komitmen yang pernah ia kemukakan sendiri.
Selain janji di atas, pada Kamis 20 September 2012 silam di rumah Megawati Soekarnoputri, dalam pernyataan persnya, Jokowi pernah mengeluarkan pernyataan bahwa dia tak akan menjadi “kutu loncat” dan mengundurkan diri dari jabatan Gubernur DKI Jakarta selama lima tahun untuk maju menjadi capres.
"Saya sudah jawab berkali-kali. Sampai sepuluh kali, mungkin yang sekarang ini sudah belasan kali bilang soal komitmen saya. Masa diomongkan lagi, wong sudah bolak-balik bilang Jokowi itu komitmen" jawab Jokowi kala itu saat ditanya tentang komitmen memimpin Jakarta selama lima tahun dan tak akan mundur untuk maju menjadi capres.
Namun bagi sebagian kalangan lainnya, penerimaan Jokowi menjadi capres bukan sikap yang melanggar janji. Karena seandainya Jokowi nanti terpilih menjadi presiden, perbaikan wilayah DKI Jakarta bisa lebih optimal. Hal itu disebabkan beberapa kewenangan perbaikan wilayah DKI Jakarta menjadi domain pemerintah pusat.
Akan tetapi, bukan polemik ini yang akan menjadi fokus tulisan ini. Karena dalam dalam UU No 8 Tahun 2005 dan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, seorang kepala daerah memang diperbolehkan untuk berhenti saat masih menjabat. Kepala Daerah bisa berhenti atau diberhentikan di tengah jalan, salah satu klausulnya apabila ia mengajukan berhenti atas permintaan sendiri.
Yang menarik untuk dianalisa adalah sebuah pertanyaan, kenapa Jokowi mau melanggar janji dan komitmennya sendiri untuk menjadi capres PDI Perjuangan?

Power-Seeking Politician
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu yang bisa memberikan alasan pasti adalah Jokowi sendiri. Akan tetapi secara teoritis, sejatinya penerimaan Jokowi menjadi capres dengan risiko ingkar terhadap janji dan komitmennya ini bisa dijelaskan. Kerangka akademis yang dapat digunakan untuk merinci hal ini adalah konsep power-seeking politician (politisi pemburu rente kekuasaan)
Model analisa power-seeking politician ini memiliki asumsi dasar yang menyebutkan bahwa para politisi merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan. Kepentingan utama dari para politisi adalah memaksimalkan semua sumber daya (resources) yang dimilikinya untuk mendapatkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang telah dimiliki.
Itu sebabnya, orientasi keputusan yang diambil selalu merujuk pada kalkulasi kepentingan jangka pendek. Untuk tujuan tersebut, maka para politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya apa saja yang dimiliki guna memberikan ganjaran (reward) kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman (punishment) kepada siapa saja yang coba mengganggu. Terkadang, politisi bisa mengabaikan etika politik dan norma sosial untuk menggapai tujuannya tersebut (Grindle, 1989).
Kembali pada konteks penerimaan Jokowi menjadi capres dengan resiko ingkar janji dan komitmen, yang perlu kita garis bawahi adalah Gubernur DKI Jakarta ini merupakan seorang politisi. Seperti disebutkan di atas, tujuan utama politisi adalah merengkuh kekuasaan. Dan saat momentum untuk menggapai kuasa itu datang, maka ia tak akan menyia-nyiakannya. Meskipun itu menabrak etika politik dan norma sosial.
Hal itu sudah pernah terjadi saat Jokowi ditawari menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh PDI Perjuangan kala ia masih punya tanggung jawab tiga tahun untuk menyelesaikan jabatannya menjadi Wali Kota Solo. Dalam konsep Grindle, inilah yang disebut ketersediaan sumber daya (resources) untuk merebut kuasa, dan Jokowi memaksimalkan resources itu dengan menerima pinangan menjadi gubernur DKI Jakarta.
Kini, hal serupa kembali terjadi. “Resources” untuk mencapai kuasa yang lebih tinggi kembali tiba. Sekali lagi, Jokowi ditawari PDI Perjuangan maju menjadi calon presiden, dan sekali lagi, Jokowi yang memang seorang politisi, tak menyia-nyiakannya. Ia pun “mengorbankan” janji dan komitmennya untuk mengawal Jakarta selama lima tahun guna maju bertarung menuju istana.

Etika Politik
Hemat saya, memang tak ada yang salah jika para politisi mengambil peluang untuk menggapai kuasa kala momentum itu tiba. Karena tanpa power, politisi akan cukup kesulitan untuk mengaplikasikan semua ide dan gagasannya untuk memajukan bangsa dan negara.
Namun di sisi lain, ada garis etika politik dan norma sosial yang mestinya juga harus diperhatikan oleh para politisi. Bahkan yang bisa dijadikan catatan, perilaku politisi yang mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab serta melanggar komitmennya sendiri jangan sampai dijadikan kebiasaan. Karena jika kondisi ini terus berlanjut, bagaimana nasib kepemimpinan daerah bangsa ini kedepan?
Bisa dibayangkan jika semua politisi negeri ini menjadikan rute kekuasaan yang dilakukan Jokowi ini sebagai rule of model dalam pencapaian karir politik mereka. Nasib daerah yang akan menjadi pertaruhan.
Itu sebabnya, ada baiknya para politisi merenung sejenak untuk tetap menyamakan perilaku dan wicara, tanpa harus mengabaikan tujuan menggapai kuasa. Karena jika itu bisa dilakukan, para politis akan bisa menggamit kuasa dengan cara elegan dan siap menjadi sosok negarawan yang patut menjadi tauladan.

*) Abdul Hakim MS adalah Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), bisa dihubungi melalui email: aabprogress@yahoo.com [detik]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar