“Pahlawan tak memiliki cacat, tapi pemimpin mempunyai noda. Jarang
pemimpin tanpa kekurangan...Semua pemimpin terlalu manusiawi. Kadang
orang baik melakukan hal buruk, demikian pula sebaliknya.” (Joseph S Nye
Jr)Dalam sebuah diskusi informal yang sangat serius,
seorang anggota Komite Ekonomi Nasional berusaha meyakinkan semua yang
hadir bahwa Jokowi belum layak untuk menjadi presiden. Masih perlu jam
terbang untuk diuji oleh waktu. Sejumlah kelemahan diungkapkan. Bahkan
dia menuduh pers telah latah dan berlebihan dalam mempromosikan Jokowi.
Namun saya meyakinkan bahwa ini bukan soal latah atau berlebihan. Ini
masalah yang sulit untuk didiskusikan. Publik sudah telanjur mencintai
mantan wali kota Solo tersebut. “Yang membedakan Jokowi dengan para
kandidat lain adalah dia memiliki hati,” kata saya.
Hati. Itulah
sesuatu yang sulit ditemukan pada para kandidat yang lain.
Padahal...Jokowi orangnya kerempeng, pakaiannya orang kebanyakan,
kulitnya terlalu banyak terbakar matahari, nyengirnya khas orang umum,
bahasa tubuhnya juga tak asing bagi rakyat. Tak ada polesan (walau
akhir-akhir ini rambutnya sudah klimis). Semuanya alami. Ia wakil
sesungguhnya dari mayoritas rakyat Indonesia. Gaya bicara, struktur
kalimat, dan intonasinya sulit ditemukan pada pejabat kita. Saat
kampanye pilgub DKI Jakarta yang lalu ia tak membawa konsep yang muluk.
Ia cukup membawa contoh kartu untuk program kesehatan dan pendidikan. Ia
blusukan ke sana ke mari. Tanpa protokoler yang rumit. Namun senyum dan
aura yang ia bawa membuat siapapun merasa nyaman dan nyambung. Jokowi
tak membawa narasi, namun ia menghadirkan cinta kepada siapapun.
Sebaliknya,
Prabowo adalah figur yang dipenuhi gagasan. Sejak masih perwira
menengah, jika bepergian ke luar negeri, dia akan memborong banyak buku.
Tentu ini sesuatu yang langka bagi seorang tentara, bahkan bagi orang
Indonesia. Saat menjadi Danjen Kopassus, ia memperbanyak buku karya
Sterling Seagrave. Judulnya Lords of the Rim, buku yang
kemudian diterjemahkan oleh penerbit Alvabet menjadi Pangeran Pesisir
tersebut. Seagrave adalah pakar Asia Timur. Bukunya tentang Marcos dan
Dinasti Song menjadi best seller. Saat ia dalam pengasingan,
setelah dicopot dari kemiliteran, saya berkesempatan untuk melakukan
wawancara khusus. Tempatnya di sebuah apartemen di Kuala Lumpur. Untuk
memperkuat argumen dalam wawancara itu ia membuka sejumlah buku dan
menunjukkannya. Di antaranya buku Seagrave itu.
Narasi. Itulah
yang dibawa Prabowo. Gerindra adalah partai yang paling solid dalam hal
narasi. Warna, simbol, dan iklan yang disampaikan selalu berfokus pada
kedaulatan, pemerataan, nasionalisme ekonomi, serta nasib buruh, petani,
dan nelayan. Jiwa juang juga selalu digelorakan. Prabowo dan Gerindra
menjadi identik dengan semangat, patriotisme, dan ide-ide progresif.
Prabowo paling gemar mengenakan baju dengan warna dan desain yang dulu
banyak dikenakan oleh para gerilyawan setelah kemerdekaan. Hal itu
dilengkapi dengan intonasi dan bahasa yang lugas dan tegas.
Jokowi dan Prabowo seakan berada dalam kontras. Namun seperti kata Nye,
tak ada pemimpin tanpa cacat. Bukan berarti kita mengabaikan kekurangan
dan melupakannya begitu saja, namun ada hal lain yang patut kita
khidmati dari seorang pemimpin. Bung Hatta menyatakan matahari terbit
bukan karena ayam berkokok, tapi ayam berkokok karena matahari terbit.
Untuk itu, Bung Hatta mengingatkan, “Pergerakan rakyat timbul bukan
karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada
pergerakan, atau karena ada perasaan dalam hati rakyat...Menduga
perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu keluar, itulah
kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leiderschap.
Jadi, pemimpin akan dinilai dari efektivitasnya. Salah satunya adalah
dalam hal kemampuan menyelami hati dan pikiran rakyatnya. Apakah dia
berkokok seperti yang dimaui rakyatnya atau dia berkokok seperti maunya
sendiri atau bahkan maunya orang lain di luar kepentingan rakyatnya.
Pada titik inilah kita bisa menilai, pemimpin kita berkokok mengikuti
matahari terbit atau ia berkokok sesuka hati.
Walau hitung manual
oleh KPU belum dilakukan, namun hasil hitung cepat oleh lembaga survei
sudah bisa ditilik perkiraan perolehan suara pada pemilu legislatif Rabu
(9/4) lalu. Hasilnya cukup mengejutkan. Tak ada yang bisa mencapai
angka presidential threshold. Ada tiga partai besar, yaitu
PDIP, Golkar, dan Gerindra. Partai-partai Islam bangkit lagi, kecuali
PKS yang turun kurang dari satu persen. Namun kontestasi capres
diperkirakan belum bergeser dari figur Jokowi, Prabowo Subianto, dan
Aburizal Bakrie. Namun hasil perolehan suara tersebut membuat kandidat
cawapres memiliki kartu yang bagus terutama Hatta Rajasa, Jusuf Kalla,
Mahfud MD, dan kandidat cawapres yang bisa saja dikeluarkan Demokrat.
Variasi koalisinya bisa bergerak antara dua hingga empat pasang.
Situasinya memang saling mengunci.
Jika Prabowo tak diisolasi,
maka kontestasi tetap akan mengerucut pada pertarungan Jokowi melawan
Prabowo. Pertarungan yang sudah diprediksi sejak awal. Inilah
pertarungan antara kekuatan cinta dan narasi. Kita harus memilih
pemimpin yang bisa berkokok mengikuti “pergerakan dan perasaan hati
rakyat” seperti yang diingatkan Bung Hatta.
Suber :
republika.co.id
Aku suka artikel ini, bijaksana dan menyentuh hati, like it
BalasHapus