Jumat, 11 April 2014

Jokowi vs Prabowo; Pergulatan Cinta dan Narasi

“Pahlawan tak memiliki cacat, tapi pemimpin mempunyai noda. Jarang pemimpin tanpa kekurangan...Semua pemimpin terlalu manusiawi. Kadang orang baik melakukan hal buruk, demikian pula sebaliknya.” (Joseph S Nye Jr)Dalam sebuah diskusi informal yang sangat serius, seorang anggota Komite Ekonomi Nasional berusaha meyakinkan semua yang hadir bahwa Jokowi belum layak untuk menjadi presiden. Masih perlu jam terbang untuk diuji oleh waktu. Sejumlah kelemahan diungkapkan. Bahkan dia menuduh pers telah latah dan berlebihan dalam mempromosikan Jokowi.
Namun saya meyakinkan bahwa ini bukan soal latah atau berlebihan. Ini masalah yang sulit untuk didiskusikan. Publik sudah telanjur mencintai mantan wali kota Solo tersebut. “Yang membedakan Jokowi dengan para kandidat lain adalah dia memiliki hati,” kata saya.
Hati. Itulah sesuatu yang sulit ditemukan pada para kandidat yang lain. Padahal...Jokowi orangnya kerempeng, pakaiannya orang kebanyakan, kulitnya terlalu banyak terbakar matahari, nyengirnya khas orang umum, bahasa tubuhnya juga tak asing bagi rakyat. Tak ada polesan (walau akhir-akhir ini rambutnya sudah klimis). Semuanya alami. Ia wakil sesungguhnya dari mayoritas rakyat Indonesia. Gaya bicara, struktur kalimat, dan intonasinya sulit ditemukan pada pejabat kita. Saat kampanye pilgub DKI Jakarta yang lalu ia tak membawa konsep yang muluk. Ia cukup membawa contoh kartu untuk program kesehatan dan pendidikan. Ia blusukan ke sana ke mari. Tanpa protokoler yang rumit. Namun senyum dan aura yang ia bawa membuat siapapun merasa nyaman dan nyambung. Jokowi tak membawa narasi, namun ia menghadirkan cinta kepada siapapun.
Sebaliknya, Prabowo adalah figur yang dipenuhi gagasan. Sejak masih perwira menengah, jika bepergian ke luar negeri, dia akan memborong banyak buku. Tentu ini sesuatu yang langka bagi seorang tentara, bahkan bagi orang Indonesia. Saat menjadi Danjen Kopassus, ia memperbanyak buku karya Sterling Seagrave. Judulnya Lords of the Rim, buku yang kemudian diterjemahkan oleh penerbit Alvabet menjadi Pangeran Pesisir tersebut. Seagrave adalah pakar Asia Timur. Bukunya tentang Marcos dan Dinasti Song menjadi best seller. Saat ia dalam pengasingan, setelah dicopot dari kemiliteran, saya berkesempatan untuk melakukan wawancara khusus. Tempatnya di sebuah apartemen di Kuala Lumpur. Untuk memperkuat argumen dalam wawancara itu ia membuka sejumlah buku dan menunjukkannya. Di antaranya buku Seagrave itu.
Narasi. Itulah yang dibawa Prabowo. Gerindra adalah partai yang paling solid dalam hal narasi. Warna, simbol, dan iklan yang disampaikan selalu berfokus pada kedaulatan, pemerataan, nasionalisme ekonomi, serta nasib buruh, petani, dan nelayan. Jiwa juang juga selalu digelorakan. Prabowo dan Gerindra menjadi identik dengan semangat, patriotisme, dan ide-ide progresif. Prabowo paling gemar mengenakan baju dengan warna dan desain yang dulu banyak dikenakan oleh para gerilyawan setelah kemerdekaan. Hal itu dilengkapi dengan intonasi dan bahasa yang lugas dan tegas.
Jokowi dan Prabowo seakan berada dalam kontras. Namun seperti kata Nye, tak ada pemimpin tanpa cacat. Bukan berarti kita mengabaikan kekurangan dan melupakannya begitu saja, namun ada hal lain yang patut kita khidmati dari seorang pemimpin. Bung Hatta menyatakan matahari terbit bukan karena ayam berkokok, tapi ayam berkokok karena matahari terbit. Untuk itu, Bung Hatta mengingatkan, “Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan, atau karena ada perasaan dalam hati rakyat...Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu keluar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leiderschap. Jadi, pemimpin akan dinilai dari efektivitasnya. Salah satunya adalah dalam hal kemampuan menyelami hati dan pikiran rakyatnya. Apakah dia berkokok seperti yang dimaui rakyatnya atau dia berkokok seperti maunya sendiri atau bahkan maunya orang lain di luar kepentingan rakyatnya. Pada titik inilah kita bisa menilai, pemimpin kita berkokok mengikuti matahari terbit atau ia berkokok sesuka hati.
Walau hitung manual oleh KPU belum dilakukan, namun hasil hitung cepat oleh lembaga survei sudah bisa ditilik perkiraan perolehan suara pada pemilu legislatif Rabu (9/4) lalu. Hasilnya cukup mengejutkan. Tak ada yang bisa mencapai angka presidential threshold. Ada tiga partai besar, yaitu PDIP, Golkar, dan Gerindra. Partai-partai Islam bangkit lagi, kecuali PKS yang turun kurang dari satu persen. Namun kontestasi capres diperkirakan belum bergeser dari figur Jokowi, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie. Namun hasil perolehan suara tersebut membuat kandidat cawapres memiliki kartu yang bagus terutama Hatta Rajasa, Jusuf Kalla, Mahfud MD, dan kandidat cawapres yang bisa saja dikeluarkan Demokrat. Variasi koalisinya bisa bergerak antara dua hingga empat pasang. Situasinya memang saling mengunci.
Jika Prabowo tak diisolasi, maka kontestasi tetap akan mengerucut pada pertarungan Jokowi melawan Prabowo. Pertarungan yang sudah diprediksi sejak awal. Inilah pertarungan antara kekuatan cinta dan narasi. Kita harus memilih pemimpin yang bisa berkokok mengikuti “pergerakan dan perasaan hati rakyat” seperti yang diingatkan Bung Hatta.

Suber :
republika.co.id

1 komentar: