Senin, 24 Maret 2014

Rakyat dan Pasar di Belakang Jokowi?

Setiap hari untuk menuju kantor saya melewati Sungai Cikeas. Dulu, di atas sungai ini hanya ada satu jembatan sehingga ketika jam sibuk arus lalu lintas menjadi tersendat.
Beberapa tahun lalu, seiring pelebaran jalan di kawasan Cibubur-Cileungsi, jembatan di atas sungai itu ditambah satu lagi sehingga mempercepat perjalanan orang-orang yang akan menuju Jakarta, termasuk tentunya Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tinggal di dekat wilayah itu.
Semenjak masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014 pekan lalu, di atas jembatan itu terbentang dua baliho raksasa berwarna biru cerah. Tergambar di situ foto Pak SBY yang sangat gagah dan tampan.
Selain itu, juga sederetan kalimat tentang pencapaian Partai Demokrat yang dipimpinnya. Ya, namanya juga masa kampanye. Namun, saya tidak akan membicarakan isi baliho tersebut. Pasti Anda sudah mengerti apa isi baliho tersebut lebih rinci.
Kala itu, Minggu siang pekan lalu, saya menyeberangi jembatan Sungai Cikeas itu bersama Tilottama, anak saya yang baru berusia 4,5 tahun. Seusai melewati baliho raksasa itu, dia bertanya,”Ayah, itu kan foto Pak Presiden yang mau diganti Pak Jokowi [Joko Widodo yang saat ini menjabat Gubernur DKI Jakarta] ya…?”
Agak kaget juga saya, anak TK Nol Kecil ini kok bertanya soal politik. ”Hlo, Nak, kok tahu soal Pak Beye dan Jokowi segala..?”
”Aku kan lihat di TV dan koran yang Ayah baca. Banyak banget gambar Pak Jokowi. Katanya mau jadi presiden…Nanti gantian dia dong yang nguing-nguing nyalip kita,”ujar dia lugu.
Saya hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Tak perlu membebani alam pikiran anak TK dengan aneka informasi yang belum saatnya dipahami. Banjir informasi soal pemilihan umum, baik legislatif dan presiden, di berbagai media massa mau tidak mau ikut merasuk ke benak anak-anak.
Terlebih saat nama Joko Widodo akhirnya diumumkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai calon presiden yang akan diusung partai itu. Reaksi masyarakat dan partai politik lain pun riuh rendah menyikapi pencalonan tersebut seperti yang terekam di media mainstream maupun media sosial di dunia maya.
Saat pengumuman pencalonan Jokowi oleh PDIP, kebetulan saya sedang berada di dekat meja seorang teman yang memantau perkembangan pasar modal dan pasar uang. Saat itu transaksi di pasar modal maupun pasar uang berlangsung datar-datar saja.
Mulai pukul 14.05 WIB, saat ada berita rapat di DPP PDIP, transaksi perdagangan saham mulai meningkat. Puncaknya, pada pukul 14.45 WIB saat nama Jokowi resmi disebut menjadi calon presiden partai oposisi itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) pun langsung melesat naik.
IHSG ditutup dalam kondisi melejit 152,47 poin atau 3,23% ke level 4.878,64 pada perdagangan Jumat (14/3). Nilai rupiah pun menguat 0,26% ke level Rp11.356/US$. Posisi mata rupiah tersebut sekaligus menjadi level penutupan terkuat sejak awal November 2013.
Kenapa reaksi pasar keuangan bisa sedemikian ”heboh” saat Jokowi dideklarasikan sebagai calon presiden? Kenapa reaksi serupa tidak muncul saat nama-nama lain, Prabowo Subianto, Anis Matta, Ahmad Heryawan, Aburizal Bakri, Gita Wiryawan atau lainnya yang berminat menjadi calon presiden disebut-sebut atau bahkan dideklarasikan?
Bagi saya, reaksi pasar keuangan–apalagi di tengah pasar global seperti sekarang ini—adalah faktor yang tak dapat dikesampingkan begitu saja. Mekanisme pasar—yang sering tak kasat mata—ini sering kali menjadi faktor yang ikut ambil bagian penting dalam naik turunnya seorang pemimpin, selain tentunya suara rakyat yang dimanifestasikan dalam pemungutan suara.
Sejarah juga mencatat, suara rakyat dan kemauan pasar sering kali bersinergi menentukan pasang surut kekuasaan. Kita sudah mengalaminya saat kejatuhan Pak Harto, yang selain didemo oleh masyarakat banyak, juga dihantam oleh kekuasaan pasar keuangan setelah nilai tukar rupiah jatuh hingga Rp16.000/US$.
Tidak hanya di Indonesia, di negara lain pun situasi seperti itu sering kali terjadi. Lantas, mengapa ketika Jokowi begitu diperintah Megawati Soekarnoputri [Ketua Umum DPP PDIP] untuk maju ke pemilihan presiden reaksi pasar begitu positif?

Asa Publik
Mas Tony Prasetiantono, salah seorang teman yang mengajar ekonomi di Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan Jokowi merupakan sosok yang menimbulkan kepercayaan investor di pasar. Menurut dia, dengan situasi seperti itu, bila Jokowi terpilih menjadi presiden, penanaman modal asing maupun dalam negeri akan ikut mengalir deras.
Faktor ini penting untuk mengakhiri periode wait and see dalam perekonomian kita. Senada dengan itu, salah satu deputi direktur Bank Indonesia menyatakan penguatan nilai tukar rupiah didorong harapan tinggi akan munculnya satria piningit yang memenuhi asa publik.
Pelaku pasar—khususnya asing–bertindak proaktif mendahului momentum. Pelaku asing secara konsisten mengalirkan dana ke Indonesia sepanjang tiga bulan pertama 2014 ini untuk belanja berbagai aset rupiah.
Di pasar saham, kepemilikan asing menggelembung sebesar Rp22 triliun dengan preferensi saham unggulan (blue chip) sektor keuangan.  Di pasar obligasi, asing menambah pundi-pundi kepemilikan Rp16 triliun hingga menguasai porsi kepemilikan 32%.
Apa artinya? Pasar berekspektasi Jokowi mampu memenangi pemilihan presiden. Dan bila ini terjadi, asumsinya mantan Wali Kota Solo ini bisa membawa perbaikan perekonomian Indonesia. Berikutnya, bila ini terjadi juga, prospek keuntungan yang diraih investor di pasar tentunya akan menjadi berlipat. Simple.
Bagaimana bisa para investor di pasar memiliki ekspektasi seperti itu? Pertama, track record Jokowi sendiri selama ini, baik selama menjadi Wali Kota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta telah membuat banyak orang kepincut.
Kedua, dari kepincut itu akhirnya berubah menjadi dukungan. Berbagai survei menunjukkan hal itu. Survei terbaru Roy Morgan yang dirilis pekan lalu menunjukkan Jokowi merupakan kandidat yang paling dipilih sebagai presiden pada Pemilu Presiden Juli 2014 dengan jumlah suara mencapai 40%, melebihi Prabowo Subianto (17%) dan Aburizal Bakrie (11%).
Memang survei belum tentu selalu benar. Jokowi sendiri mengalami hal itu saat maju ke pemilihan gubernur DKI. Ingat kan, seluruh lembaga survei kala itu menjagokan calon lain dan hasilnya jauh berbeda?
Namun, yang jelas, reaksi pasar keuangan dan hasil berbagai survei telah membuat pemilu legislatif April nanti menjadi kehilangan pesona, kalah oleh pemilu presiden yang akan berlangsung Juli. Partai peserta pemilu pun lebih berminat membicarakan siapa calon wakil presiden yang pantas disandingkan dengan Jokowi, seolah-olah dia pasti menang.
Tidak sedikit pemimpin partai politik—baik malu-malu kucing maupun terang-terangan—menawarkan diri untuk ikut menikmati sawab Jokowi. Saya jadi ingat pembicaraan dengan anak saya lagi.
”Memang Pak Jokowi mau jadi presiden, Nak?”
“Ya Ayah, kan wajahnya lucu, ndhesit. Nanti jadi…,”kata Tilottama.

Sumber :
solopos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar