Senin, 24 Maret 2014

Ulasan Detik: Memahami Ketakutan Jika Jokowi Presiden

Berbagai tanggapan bermunculan terkait pencalonan Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014. Rona ketakutan juga muncul calon presiden (Capres) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga mengikuti jejak Ketua Umum (Ketum) DPP PDIP Megawati Soekarnoputri kala menjadi Presiden RI dengan menjual aset BUMN ke konglomerat.
Keraguan ini mencuat setelah adanya pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dan sejumlah pengusaha terkait dukungan untuk pemenangan Capres PDIP Jokowi dalam pemilu 2014.
"Masyarakat makin skeptis terhadap komitmen kerakyatan atau wong cilik PDIP.
Dalam praktiknya, wong cilik lebih banyak menjadi jargon saja," kata pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN), Hidayatullah Zaki Mubarak kepada wartawan di Jakarta, Rabu (19/3/2014).
Menurutnya, pertemuan tersebut menimbulkan persepsi negatif bahwa PDIP meminta restu pengusaha untuk memajukan Jokowi. Sehingga timbul anggapan bahwa PDIP didukung oleh konglomerat dan bukanya masyarakat kecil.
"Sangat ironis kalau di balik pencapresan Jokowi oleh PDI-P yang menjadi panglimanya para konglomerat besar atau cukong. Padahal, konstituen sejati PDIP itu wong cilik, yaitu petani, buruh, nelayan, dan sebagainya," ujar Zaki.
Dikhawatirkan, kebijakan masa Presiden Megawati seperti penjualan aset-aset BUMN dan pemberian pelunasan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) akan terulang jika Jokowi terpilih sebagai presiden.
Zaki menegaskan, kebijakan tersebut tidak berpihak kepada rakyat kecil. "Tidak perlu heran nantinya kalau Jokowi terpilih, dia akan memberikan service kepada para konglomerat besar. Apa yang dilakukannya adalah meneruskan warisan Bu Mega sebelumnya," tandasnya.
Dalam suatu kesempatan, Senin 29 Juni 2009 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri jumlah utang memang kecil, bahkan pernah utang yang dilakukan pemerintah hanya Rp 26 triliun.
"Namun kecilnya utang ini diimbangi dengan privatisasi dan penjualan aset-aset eks BPPN," ujar Sri Mulyani saat rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan DPR di Jakarta.
Dia mengaku menyampaikan data ini bukan memiliki tujuan dan maksud apa-apa. Namun, Sri Mulyani menekankan bahwa itulah kebijakan yang ditempuh pemerintah pada saat itu dan disetujui oleh DPR.
Megawati berkuasa pada 2001-2004. Pada masa ini, pemerintah memang sangat gencar menjual aset-aset negara di BPPN dan BUMN. Beberapa aset strategis yang dijual pemerintah saat itu adalah Indosat, Telkomsel, BCA, Bank Danamon, Bank Internasional Indonesia dan lainnya.
Di masa pemerintahannya, justru banyak kasus-kasus kontroversial terkait pelunasan utang. Dengan alasan itu, Mega malah menjual aset-aset negara, termasuk BUMN. Privatisasi juga dilakukan terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total nilai BLBI.
Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun pada 2001; Rp7,7 triliun pada 2002; dan Rp7,3 triliun pada 2003. Jadi, total sebanyak Rp18,5 triliun yang berhasil didapatkan Mega saat itu.
Lagi, alasan Mega melakukan privatisasi itu adalah untuk menutupi utang negara yang makin membengkak.
Ketua Harian Forum Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu Prakoso Wibowo menilai kekacauan terhadap sistim pengupahan buruh dan status kerja buruh diperusahaan disebabkan oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 yang dihasilkan oleh pemerintahan yang dipimpin PDIP, yaitu era Presiden Megawati Soekarnoputri.
"Begitu pula sistim jaminan sosial bagi masyarakat yang kacau akibt UU SJSN yang tidak berpihak pada rakyat dihasilkan oleh pemerintah Megawati setiap tahun harus ada darah dan airmata buruh yang menetes akibat memperjuangkan upah dan keberlangsungan status pekerjaan," kata Prakosa dalam rilisnya, Sabtu (2/11/2013).
Menurut dia, akibat Pemerintah SBY yang menggunakan UU No 13 tahun 2003 untuk menghisap tenaga dan memeras keringat buruh melalui upah murah dan sistem kerja kontrak. "Anehnya banyak kader PDIP yang saat ini banyak menumpang isu perjuangan Buruh untuk mendapatkan suara dengan mendukung kenaikan upah dan penghapusan sistim kerja kontrak untuk dapet simpati buruh.Anehnya kader PDIP yang ada di DPR tidak mau memotori untuk melakukan perubahan UU No 13 Tahun 2003 yang sangat merugikan buruh," katanya.
Karena itu, menurut dia, kaum buruh harus ingat dan jangan mau ditunggangi oleh kepentingan PDIP karena sesungguhnya dari mereka datang kesengsaraan kaum buruh dan diteruskan oleh pemerintahan SBY .
"Begitu juga tentang privatisai BUMN secara jor-joran yang telah banyak menghabiskan aset negara dimulai oleh pemerintahan jaman Megawati atau PDIP . Jadi buka dulu topengmu dan jangan seperti malaikatnya kaum buruh," kata Prakosa.
Dijelaskan kaum buruh harus sadar dan mengingat terus tentang kezaliman yang telah dilakukan melalui penerapan UU no 13 Tahun 2003 yang mengarahkan upah buruh murah, sistim kerja kontrak dan penjualan aset negara.
Dengan kondisi di atas, penulis sangat memahami ketakutan komponen masyarakat jika negara ini dipimpin Jokowi. Merujuk dari karakter, Jokowi tidak akan pernah menolak keinginan Megawati Soekarnoputri. Bahkan Jokowi disetir Ketum DPP PDIP tersebut dalam menjalankan negara serta mengambil keputusan-keputusan.
Tapi, rasanya Jokowi bukanlah sepicik itu. Pastilah ada jurus-jurus untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini bersama calon wakil presiden (Cawapres). Asalkan jangan sampai mundur di tengah jalan, seperti yang dilakukannya di Solo dan DKI Jakarta. Kita lihat sajalah akhirnya.

Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar