Berbagai tanggapan bermunculan terkait pencalonan Joko Widodo (Jokowi)
menjadi presiden pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014. Rona ketakutan
juga muncul calon presiden (Capres) yang diusung Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) juga mengikuti jejak Ketua Umum (Ketum) DPP
PDIP Megawati Soekarnoputri kala menjadi Presiden RI dengan menjual aset
BUMN ke konglomerat.
Keraguan ini mencuat setelah adanya
pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dan sejumlah pengusaha terkait
dukungan untuk pemenangan Capres PDIP Jokowi dalam pemilu 2014.
"Masyarakat
makin skeptis terhadap komitmen kerakyatan atau wong cilik PDIP.
Dalam
praktiknya, wong cilik lebih banyak menjadi jargon saja," kata pengamat
politik Universitas Islam Negeri (UIN), Hidayatullah Zaki Mubarak kepada
wartawan di Jakarta, Rabu (19/3/2014).
Menurutnya, pertemuan tersebut
menimbulkan persepsi negatif bahwa PDIP meminta restu pengusaha untuk
memajukan Jokowi. Sehingga timbul anggapan bahwa PDIP didukung oleh
konglomerat dan bukanya masyarakat kecil.
"Sangat ironis kalau di
balik pencapresan Jokowi oleh PDI-P yang menjadi panglimanya para
konglomerat besar atau cukong. Padahal, konstituen sejati PDIP itu wong
cilik, yaitu petani, buruh, nelayan, dan sebagainya," ujar Zaki.
Dikhawatirkan,
kebijakan masa Presiden Megawati seperti penjualan aset-aset BUMN dan
pemberian pelunasan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) akan
terulang jika Jokowi terpilih sebagai presiden.
Zaki menegaskan,
kebijakan tersebut tidak berpihak kepada rakyat kecil. "Tidak perlu
heran nantinya kalau Jokowi terpilih, dia akan memberikan service kepada
para konglomerat besar. Apa yang dilakukannya adalah meneruskan warisan
Bu Mega sebelumnya," tandasnya.
Dalam suatu kesempatan, Senin 29 Juni 2009 lalu, Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati mengakui pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri
jumlah utang memang kecil, bahkan pernah utang yang dilakukan pemerintah
hanya Rp 26 triliun.
"Namun kecilnya utang ini diimbangi dengan
privatisasi dan penjualan aset-aset eks BPPN," ujar Sri Mulyani saat
rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan DPR di Jakarta.
Dia
mengaku menyampaikan data ini bukan memiliki tujuan dan maksud apa-apa.
Namun, Sri Mulyani menekankan bahwa itulah kebijakan yang ditempuh
pemerintah pada saat itu dan disetujui oleh DPR.
Megawati
berkuasa pada 2001-2004. Pada masa ini, pemerintah memang sangat gencar
menjual aset-aset negara di BPPN dan BUMN. Beberapa aset strategis yang
dijual pemerintah saat itu adalah Indosat, Telkomsel, BCA, Bank Danamon,
Bank Internasional Indonesia dan lainnya.
Di masa
pemerintahannya, justru banyak kasus-kasus kontroversial terkait
pelunasan utang. Dengan alasan itu, Mega malah menjual aset-aset negara,
termasuk BUMN. Privatisasi juga dilakukan terhadap saham-saham
perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian
kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total nilai
BLBI.
Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang,
dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini
terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun pada 2001; Rp7,7
triliun pada 2002; dan Rp7,3 triliun pada 2003. Jadi, total sebanyak
Rp18,5 triliun yang berhasil didapatkan Mega saat itu.
Lagi, alasan Mega melakukan privatisasi itu adalah untuk menutupi utang negara yang makin membengkak.
Ketua Harian Forum Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu Prakoso Wibowo
menilai kekacauan terhadap sistim pengupahan buruh dan status kerja
buruh diperusahaan disebabkan oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 yang
dihasilkan oleh pemerintahan yang dipimpin PDIP, yaitu era Presiden
Megawati Soekarnoputri.
"Begitu pula sistim jaminan sosial bagi
masyarakat yang kacau akibt UU SJSN yang tidak berpihak pada rakyat
dihasilkan oleh pemerintah Megawati setiap tahun harus ada darah dan
airmata buruh yang menetes akibat memperjuangkan upah dan
keberlangsungan status pekerjaan," kata Prakosa dalam rilisnya, Sabtu
(2/11/2013).
Menurut dia, akibat Pemerintah SBY yang menggunakan
UU No 13 tahun 2003 untuk menghisap tenaga dan memeras keringat buruh
melalui upah murah dan sistem kerja kontrak. "Anehnya banyak kader PDIP
yang saat ini banyak menumpang isu perjuangan Buruh untuk mendapatkan
suara dengan mendukung kenaikan upah dan penghapusan sistim kerja
kontrak untuk dapet simpati buruh.Anehnya kader PDIP yang ada di DPR
tidak mau memotori untuk melakukan perubahan UU No 13 Tahun 2003 yang
sangat merugikan buruh," katanya.
Karena itu, menurut dia, kaum
buruh harus ingat dan jangan mau ditunggangi oleh kepentingan PDIP
karena sesungguhnya dari mereka datang kesengsaraan kaum buruh dan
diteruskan oleh pemerintahan SBY .
"Begitu juga tentang
privatisai BUMN secara jor-joran yang telah banyak menghabiskan aset
negara dimulai oleh pemerintahan jaman Megawati atau PDIP . Jadi buka
dulu topengmu dan jangan seperti malaikatnya kaum buruh," kata Prakosa.
Dijelaskan
kaum buruh harus sadar dan mengingat terus tentang kezaliman yang telah
dilakukan melalui penerapan UU no 13 Tahun 2003 yang mengarahkan upah
buruh murah, sistim kerja kontrak dan penjualan aset negara.
Dengan
kondisi di atas, penulis sangat memahami ketakutan komponen masyarakat
jika negara ini dipimpin Jokowi. Merujuk dari karakter, Jokowi tidak
akan pernah menolak keinginan Megawati Soekarnoputri. Bahkan Jokowi
disetir Ketum DPP PDIP tersebut dalam menjalankan negara serta mengambil
keputusan-keputusan.
Tapi, rasanya Jokowi bukanlah sepicik itu.
Pastilah ada jurus-jurus untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa
ini bersama calon wakil presiden (Cawapres). Asalkan jangan sampai
mundur di tengah jalan, seperti yang dilakukannya di Solo dan DKI
Jakarta. Kita lihat sajalah akhirnya.
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar