Safari koalisi yang dilakukan Calon Presiden dari PDIP Joko Widodo ke sejumlah elit partai mulai dari menemui Surya Paloh dari Nasdem, Aburizal Bakrie dari Golkar, Muhaimin Iskandar dari PKB serta pengurus besar Nahdlatul Ulama (NU) akhir-akhir ini diketahui dan diwartakan juga oleh media.
Gaya safari koalisi Jokowi disebut media sebagai manuver terbuka. Sebaliknya gaya safari koalisi yang dilakukan Calon Presiden Partai Gerindra, Prabowo Subianto dilabel media sebagai manuver senyap karena sulit dilacak lokasi pertemuannya.
Sebagian kalangan menilai salut atas transparansi yang diakukan Jokowi dalam menjalin koalisi, sebaliknya sebagian kalangan menganggap cara senyap yang dilakukan mantan menantu Presiden Soeharto itu sebagai hak privacy seseorang dan media pun tidak berhak tahu.
Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi justru mengapresiasi langkah manuver safari koalisi yang dilakukan bekas Walikota Surakarta ini.
"Dari Jokowi kita bisa belajar sisi lain dari sebuah transaksi politik. Selama ini yang dipahami publik, koalisi penuh dengan deal kursi jabatan menteri. Ada pembedaan kelompok kementerian "basah" dan kelompok kementerian "kering" sehingga selalu mengemuka dalam setiap pertemuan antar ketua umum parpol atau capres. Publik bisa mengawal dan mengkritisi langkah politisi yang rawan KKKN,"ucap Ari Junaedi.
Menurut pengajar Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini, justru akses publik terhadap media yang gagal menangkap pergerakan Prabowo akan selalu bertanya-tanya apakah yang akan dihasilkan dari sebuah koalisi.
"Lekatan publik sebagai komoditi politik yang hanya dibutuhkan saat pemilu menjadi terbukti ketika elit-elit parpol menafikan suara-suara arus bawah. Yang dilakukan elit parpol hanyalah dagang sapi untuk memperebutkan posisi-posisi strategis. Rakyat menjadi tertutup hak informasinya atas pergerakan koalisi," pungkas Ari Junaedi.
Yang intens, terhadap gaya komunikasi politik sejumlah elit partai politik, lanjut Ari, umumnya capres yang berlatar belakang militer, lebih mengedepankan ketertutupan dalam menjalin komunikasi politik dengan elit parpol lain. Sebaliknya capres yang berasal dari kalangan sipil lebih mengutamakan keterbukaaan.
Lagipula, sambung Ari lagi, di era keterbukaan informasi sekarang ini, kecepatan arus informasi terjadi dalam hitungan detik. Maka lebih menguntungkan jika langkah-langkah manuver koalisi capres diketahui publik.
Publik, lanjutnya lagi, akan menginterpretasikan dengan pemahaman sendiri, dan media menjadi liar memberitakan fakta yang benar.
"Kasus pemberitaan Jakarta Post yang salah dalam memberitakan kunjungan Jokowi ke rumah Megawati Soekarnoputri, dan terlibat insiden dengan Puan Maharani, sebenarnya tidak akan terjadi jika elit PDIP mampu menjelaskan dengan benar. Manuver Prabowo yang diam-diam bertemu dengan Hatta Rajasa, direkayasa media dengan sumber informasi yang minim," kata Ari Junaedi yang juga pendidik di S2 Komunikasi Politik Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya dan Universitas Persada Indonesia (UPI YAI) Jakarta ini.
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar