Sabtu, 07 Juni 2014

Ray Rangkuti: Bawaslu Jangan Berlebihan Soal Pemanggilan Jokowi

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) disarankan tidak berlebihan alias tidak lebay dalam menangani dugaan pelanggaran aturan kampanye Pilpres.
Untuk pelanggaran ringan yang sifatnya administratif, Bawaslu agar bekerja secara proporsional, jangan terkesan malah menjadikan kasus dugaan pelanggaran ringan sebagai panggung agar dianggap bekerja.
"Kenapa malah ke hal yang sifatnya administratif, pelanggaran ringan, yang bukan pidana pemilu justru seperti dijadikan panggung.
Sementara untuk pelanggaran serius seperti politik uang, kampanye hitam, dan soal dugaan mobilisasi Babinsa malah terkesan kurang serius," kata Pengamat Politik dari Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti, Sabtu (6/6/2014).
Hal itu dikaatakan Ray ketika ditanyakan soal pemanggilan calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) oleh Bawaslu atas aduan Tim Hukum Prabowo- Hatta yang menilai Jokowi mencuri star kampanye karena mengajak memilih nomor dua saat memberirkan sambutan di KPU dalam acara pengundian nomor urut. Jadi, kata dia, lebih baik Bawaslu proporsional menangani setiap aduan.
"Hak semua pasangan untuk melaporkan, yang terpenting, Bawaslu jangan membesarkan yang kecil yang sifatnya administratif, dan jangan mengecilkan yang besar yang sifatnya pidana pemilu," ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara Tim Pemenanghan Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto mengatakan, Jokowi menjadi korban politisasi hukum atas pengaduan dugaan melakukan pelanggaran kampanye.
Namun begitu, Jokowi dipastikan akan hadir memenuhi undangan klarifikasi ke Bawaslu.
"Tim hukum Prabowo menggunakan hukum sebagai alat. Apa yang terjadi di KPU pada tanggal 1 Juni sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai kampanye dini," katanya.
Hal ini, kata dia, mengingat bahwa apa yang dilakukan Jokowi tidak ada pemaparan visi-misi, dan acara itu tidak dilakukan oleh tim kampanye Jokowi, tetapi oleh KPU, serta tidak ada upaya meyakinkan pemilih.
"Jokowi berpidato karena permintaan Ketua KPU dalam kaitannya dengan agenda rapat pleno terbuka pengambilan nomor urut. Karena itulah sambutan Jokowi pun terkait dengan nomor urut," ujarnya.
Dia mengungkapkan, Jokowi memang memiliki kepekaan politik karena kemampuannya mendengarkan suara rakyat. Pada kesempatan tersebut sesuai kesempatan yang diberikan pimpinan sidang, Jokowi menjelaskan makna nomor 2. Secara simbolik nomor 2 kemudian dijelaskan oleh Jokowi merupakan  simbol keseimbangan dan harmoni.
"Jokowi dapat nomor 2 sehingga wajar jika disampaikan bahwa mereka yang mendukung Indonesia yang lebih harmonis dan seimbang, silahkan coblos nomor 2," jelasnya.
Hal sebaliknya, kata dia, karena kubu Prabowo tidak menggunakan momentum tersebut dengan baik, kemudian merasa "kecolongan". Untuk menutupi perasaan tertinggal, lanjut dia, maka digunakanlah mekanisme hukum dengan melaporkan Jokowi ke Bawaslu.
"Padahal kalau membaca PKPU No. 1/2013 pasal 1 ayat 17, pasal 4 ayat 2, pasti dengan mudah ditegaskan tidak ada pelanggaran yang dilakukan Jokowi," jelasnya.
Justru, lanjut dia, sekiranya Tim Hukum Gerindra jujur, pada hari yang sama, Pasangan Prabowo-Hatta justru telah menyampaikan visi misi secara langsung di Partai Demokrat dan disiarkan secara langsung. Dalam acara itu, kata dia, justru upaya meyakinkan pemilih terpenuhi.
"Hal inilah yang nyata-nyata menjadi pelanggaran pemilu. Sayang sikap fair ini tidak dimiliki sehingga Jokowi menjadi korban sepihak akibat politisasi aturan kampanye. Pdhal Jokowi itu taat hukum. Pada saat datang saja, Jokowi-JK menggunakan name taq, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh Prabowo-Hatta," katanya.  [tribun]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar