Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) disarankan tidak berlebihan alias tidak
lebay dalam menangani dugaan pelanggaran aturan kampanye Pilpres.
Untuk
pelanggaran ringan yang sifatnya administratif, Bawaslu agar bekerja
secara proporsional, jangan terkesan malah menjadikan kasus dugaan
pelanggaran ringan sebagai panggung agar dianggap bekerja.
"Kenapa
malah ke hal yang sifatnya administratif, pelanggaran ringan, yang
bukan pidana pemilu justru seperti dijadikan panggung.
Sementara
untuk pelanggaran serius seperti politik uang, kampanye hitam, dan soal
dugaan mobilisasi Babinsa malah terkesan kurang serius," kata Pengamat
Politik dari Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti, Sabtu
(6/6/2014).
Hal itu dikaatakan Ray ketika ditanyakan soal
pemanggilan calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) oleh Bawaslu
atas aduan Tim Hukum Prabowo- Hatta yang menilai Jokowi mencuri star
kampanye karena mengajak memilih nomor dua saat memberirkan sambutan di
KPU dalam acara pengundian nomor urut. Jadi, kata dia, lebih baik
Bawaslu proporsional menangani setiap aduan.
"Hak semua pasangan
untuk melaporkan, yang terpenting, Bawaslu jangan membesarkan yang kecil
yang sifatnya administratif, dan jangan mengecilkan yang besar yang
sifatnya pidana pemilu," ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara Tim
Pemenanghan Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto mengatakan, Jokowi menjadi
korban politisasi hukum atas pengaduan dugaan melakukan pelanggaran
kampanye.
Namun begitu, Jokowi dipastikan akan hadir memenuhi undangan klarifikasi ke Bawaslu.
"Tim
hukum Prabowo menggunakan hukum sebagai alat. Apa yang terjadi di KPU
pada tanggal 1 Juni sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai
kampanye dini," katanya.
Hal ini, kata dia, mengingat bahwa apa
yang dilakukan Jokowi tidak ada pemaparan visi-misi, dan acara itu tidak
dilakukan oleh tim kampanye Jokowi, tetapi oleh KPU, serta tidak ada
upaya meyakinkan pemilih.
"Jokowi berpidato karena permintaan
Ketua KPU dalam kaitannya dengan agenda rapat pleno terbuka pengambilan
nomor urut. Karena itulah sambutan Jokowi pun terkait dengan nomor
urut," ujarnya.
Dia mengungkapkan, Jokowi memang memiliki
kepekaan politik karena kemampuannya mendengarkan suara rakyat. Pada
kesempatan tersebut sesuai kesempatan yang diberikan pimpinan sidang,
Jokowi menjelaskan makna nomor 2. Secara simbolik nomor 2 kemudian
dijelaskan oleh Jokowi merupakan simbol keseimbangan dan harmoni.
"Jokowi
dapat nomor 2 sehingga wajar jika disampaikan bahwa mereka yang
mendukung Indonesia yang lebih harmonis dan seimbang, silahkan coblos
nomor 2," jelasnya.
Hal sebaliknya, kata dia, karena kubu Prabowo
tidak menggunakan momentum tersebut dengan baik, kemudian merasa
"kecolongan". Untuk menutupi perasaan tertinggal, lanjut dia, maka
digunakanlah mekanisme hukum dengan melaporkan Jokowi ke Bawaslu.
"Padahal
kalau membaca PKPU No. 1/2013 pasal 1 ayat 17, pasal 4 ayat 2, pasti
dengan mudah ditegaskan tidak ada pelanggaran yang dilakukan Jokowi,"
jelasnya.
Justru, lanjut dia, sekiranya Tim Hukum Gerindra
jujur, pada hari yang sama, Pasangan Prabowo-Hatta justru telah
menyampaikan visi misi secara langsung di Partai Demokrat dan disiarkan
secara langsung. Dalam acara itu, kata dia, justru upaya meyakinkan
pemilih terpenuhi.
"Hal inilah yang nyata-nyata menjadi
pelanggaran pemilu. Sayang sikap fair ini tidak dimiliki sehingga Jokowi
menjadi korban sepihak akibat politisasi aturan kampanye. Pdhal Jokowi
itu taat hukum. Pada saat datang saja, Jokowi-JK menggunakan name taq,
sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh Prabowo-Hatta," katanya. [tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar