Kamis, 27 Maret 2014

Jokowi Cuek Ada Stasiun TV Beritakan Negatif Soal Dirinya

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) nampaknya cuek saja ketika ditanya mengenai siaran salah satu televisi partisan yang memojokkan dirinya yang kini telah dideklarasikan sebagai bakal calon presiden dari PDI Perjuangan.
"Biasa saja. Saya kan sudah sampaikan berulang kali. Biasa saja," kata Jokowi seusai menghadiri HUT Ke-52 Satpol PP dan Linmas di silang Monas, Jakarta, Kamis (27/3/2014).
Jokowi kembali menyampaikan, dirinya sudah kebal diejek, dicemooh oleh lawan politik. Ia mengatakan dirinya sudah tiga kali mengikuti Pemilihan Kepala Daerah, dua kali di Solo sebagai Wali Kota, sekali di Jakarta sebagai Gubernur DKI hingga putaran kedua.
Meski demikian, mantan Wali Kota Solo ini mengatakan, mengejek dan mencemooh bukanlah budaya Indonesia, sehingga ia mengimbau kepada setiap lawan politik mengedepankan budaya kerukunan.
"Alangkah lebih baik apabila kita bisa menunjukkan antar capres rukun-rukun, oh calon-calonnya saling sapa. Terus tarungnya di mana, adunya di mana? Ya adu program, adu gagasan gitu harusnya," ucap Jokowi.
Seperti diberitakan sebelumnya, media televisi nasional yang dimiliki segelintir orang membuat kekuatan pemilik media tak terbantahkan. Semakin banyak media televisi yang dimiliki, semakin besar pula intervensi terhadap konten dan pemberitaan di televisi. Apalagi, para pemilik media ini terafiliasi partai politik tertentu.
Tak ayal, media televisi yang frekuensinya adalah milik publik itu justru menjadi sarana narsisme dan alat menyudutkan lawan politik. Hal ini terungkap dalam penelitian yang dilakukan Pemerhati Regulasi dan Regulator Media (PR2Media).
“Televisi tidak hanya digunakan pemilik untuk meningkatkan citra yang baik, tetapi juga tanpa ragu digunakan untuk menggebuk lawan-lawan politiknya atau setidaknya menenggelamkannya dari liputan,” ujar peneliti PR2Media, Puji Rianto, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (25/3/2014) lalu.
Menjelang pelaksanaan pemilu, pemilik media yang terafiliasi partai politik, lanjutnya, mempunyai kepentingan untuk meningkatkan citranya sendiri dan menenggelamkan popularitas lawan politik. Salah satu kasus yang terbaru, imbuh Puji, terkait media yang secara sistematis berusaha menurunkan popularitas Jokowi.
“Bagi media, Jokowi itu diistilahkan sebagai media darling. Maka dari itu, pemberitaan terus-menerus Jokowi hanya akan membuat upaya meningkatkan citra pemilik media menjadi tidak begitu berarti. Oleh karena itu, televisi partisan berusaha mengerem pemberitaan Jokowi kalau ada kesempatan sampai menjatuhkannya,” ujar Puji.
Salah satu contohnya adalah ketika Jokowi berteriak soal mobil murah. Saat itu, RCTI tidak memberikan ruang sama sekali.
Sebaliknya, papar Puji, RCTI justru membuat berita yang bernada miring tentang Jokowi tanpa dasar argumen yang kuat. Kesimpulan ini didapat setelah peneliti PR2Media mewawancarai Dandy Dwi Laksono, mantan Koordinator Liputan RCTI.
Di dalam penelitian ini pula dipaparkan penjelasan dari Corporate Secretary MNC Grup, Arya Sinulingga. Ia membantah adanya intervensi dalam tubuh redaksi di media dalam jaringan MNC Grup.
Hal ini dibuktikan ketika jurnalis terlibat dalam partai politik, maka dia tidak boleh lagi terlibat dalam rapat-rapat redaksi. Menurut Arya, redaksi diberi keleluasaan untuk membuat agenda liputannya sendiri.
Selain bentuk intervensi langsung melalui pengarahan konten pemberitaan, penelitian PR2Media juga menjabarkan intervensi pemilik media secara tidak langsung. Bentuk intervensi secara tidak langsung dilakukan oleh orang-orang kepercayaan pemilik media atau yang disebut “raja-raja kecil”.
Raja-raja kecil ini berperan mengamankan agenda dari pemilk media yang perannya bak pemimpin redaksi karena bisa mengatur isi liputan. Contoh lain yang diangkat dalam penelitian ini yakni Metro TV yang memiliki “desk-khusus Nasdem” yang terdiri dari jurnalis yang khusus mencakup semua kegiatan politik pemilik Media Grup, Surya Paloh, yang kini menjadi Ketua Umum Partai Nasdem.
Dengan kondisi ini, parahnya, jajaran redaksi juga mulai disusupi budaya dan pemikiran serupa dengan pemilik media. Dengan demikian, meski tidak disuruh, jajaran redaksi berinisiatif untuk mengamankan isu tertentu atau mengangkat citra bosnya sendiri.

Sumber :
tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar