Kamis, 27 Maret 2014

Kampanye Hitam Muncul Akibat Jokowi Terlalu Cepat Dicapreskan

Pencalonan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang terlalu cepat sebagai presiden, membuat dirinya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi sasaran tembak. Padahal seharusnya, pencapresan itu tidak dilakukan terlalu dini.
"Awalnya, langkah Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri yang tidak terburu-buru mencapreskan Jokowi sudah tepat. Seharusnya, Mega tetap bersabar mengumumkan, sekaligus menguji dinamika politik," kata peneliti LIPI Siti Zuhro, Kamis (27/3/2014).
Akibatnya, tidak mengherankan bila pencapresan Jokowi justru anti klimaks. Sebab, respon yang diperoleh bukan pada mengerucutnya elektabilitas terhadap Jokowi.
"Yang terjadi justru pengurangan elektabilitas Jokowi. Di sisi lain, peluru juga diarahkan kepada PDIP sebagai pengusung Jokowi," ujarnya.
Meski demikian, Zuhro menilai adanya black campaign maupun negative campaign memang biasa terjadi dalam dunia politik. Sebab, partai politik memang sedang berusaha mencari dukungan menjelang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
"Sehingga, meskipun pilpres belum dimulai, semua peluru diarahkan meski saat ini baru menjelang pileg. Salah satu yang paling mudah adalah dengan mengorek kekurangan yang terjadi saat Mega menjabat sebagai Presiden RI ke 5," paparnya.
Dia menambahkan, realitas politik bisa sangat berbeda dengan hasil survei maupun hiruk pikuk di dunia maya. Sebab, saat ini banyak pihak yang sedang mencari kekurangan yang dimiliki Mega, Jokowi dan PDIP.
"Ternyata, masih ada kekurangan dan celah dari era kepemimpinan Mega yang bisa digoreng. Antara lain kebijakan dan perjanjian yang pernah dilakukan oleh Mega di masa lalu," tandasnya.
Oleh karena itu, Zuhro kembali menyayangkan sikap Mega yang akhirnya memberikan mandat pencapresan terlalu tepat. Padahal, jika saja Mega mau menahan keputusannya sesaat lagi, maka lawan politiknya lebih kesulitan untuk menyerangnya. 
"Apalagi, PDIP memiliki massa loyalnya. Sehingga, tanpa adanya pengumuman pencapresan itu, suara PDIP tetap aman," tukasnya.
Zuhro menduga, keputusan mencapreskan Jokowi disebabkan karena PDIP juga ingin meraih massa mengambang. Sebab, massa mengambang telah jenuh dengan parpol yang ada.
"Wajar bila PDIP berharap massa mengambang itu memilihnya. Sehingga, dimunculkanlah ikon baru untuk menyedot suara massa," tegasnya.
Konsekuensinya, cepatnya PDIP mengusung Jokowi juga berakibat cepatnya musuh menyerang. Padahal, dalam konteks Indonesia, institusi parpol belum tentu tersambung dengan sosok atau ketokohan seseorang.

Sumber :
suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar