Majunya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon
presiden (capres) dinilai pengamat politik akan membuka peluang
digelarnya kembali Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2015.
Sebab, pasangan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merupakan satu kesatuan dalam
membangun kota yang mereka pimpin menjadi Jakarta Baru. Bila terpisah,
maka kekuatan mereka akan terpecah, sehingga tidak memiliki legitimasi
untuk membangun Jakarta.
Direktur Eksekutif Cyrus Network Hasan Nasbi Batupahat mengatakan,
bila Jokowi meninggalkan Jakarta untuk maju menjadi capres, maka misi
membangun Jakarta Baru dalam kondisi terancam. Bahkan ditengarai
Indonesia Hebat yang tengah digaungkan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) yang mengusungnya tidak akan menjadi kenyataan.
“Jakarta Baru itu merupakan kekuatan dari Jokowi dan Basuki. Sehingga
inisialnya JB itu sesuai dengan kedua nama mereka. Kalau mereka
terpisah, maka Ahok yang ditinggalkan tidak bisa bekerja, karena enggak
punya legitimasi yang cukup. Begitu juga dengan Jokowi, meski punya
kemampuan tetapi yang punya legitimasi siapa?” kata Hasan dalam Diskusi
Media dengan tema "Mungkinkah Pemilukada 2015?" Di kawasan Jalan Sabang,
Jakarta Pusat, Kamis (27/3).
Mengapa demikian, terangnya, karena Jokowi mempunyai kemampuan
mendekati rakyat, sementara Ahok memiliki kemampuan untuk mendekati para
pemimpin satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Selama ini, yang bekerja
membenahi birokasi Pemprov DKI adalah Ahok.
“Kalau sudah terpecah seperti ini, bisa bahaya. Karena konsep
membangun Jakarta Baru harus terus menjadi agenda, maka lebih baik
Jakarta Baru dilaksanakan di bawah pemimpin yang baru. Jangan salah
satunya. Silakan dorong Ahok dampingi Jokowi menjadi cawapres atau
mendampingi Prabowo,” ujarnya.
Dengan ditinggalkan keduanya, Hasan menyarankan agar dilakukan
Pemilukada 2015. Langkah ini dinilai lebih efektif agar Jakarta tidak
lagi ditinggalkan kepala daerah di tengah jalan. Karena pemilu presiden
baru akan dilaksanakan pada tahun 2019. Sementara, gubernur dan wakil
gubernur hasil pemilukada 2015 bekerja hanya sampai tahun 2017.
“Daripada gambling, mending mulai Pemilukada 2015, sehingga Jakarta Baru dipimpin oleh pemimpin yang baru. Mungkin ini adalah win-win solution. Tetapi memang kalau kedua tokoh ini dipisah maka Jakarta terancam kolaps,” tegasnya.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Sahid
Sahaluddin juga mendukung dilaksanakan Pemilukada 2015. Alasannya, belum
tentu pengganti Ahok sebagai wakil gubernur memiliki kemampuan yang
sama dengan Jokowi atau Ahok.
“Kalau Jokowi jadi presiden, maka otomatis Ahok menjadi Gubernur.
Lalu pertanyaannya, apakah calon pengganti wakil gubernur DKI tersebut
memenuhi syarat yang telah dipenuhi oleh Jokowi atau Ahok?. Makanya
lebih baik mereka berdua maju dalam bursa pemilu presiden dan wakil
presiden. Lalu kita pilih pemimpin baru untuk Jakarta Baru yang tidak
meninggalkan kita lagi,” tegas Sahid.
Sumber :
beritasatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar