Bagi sebagian masyarakat Indonesia terutama masyarakat Jawa mendengar musik campursari tentulah sudah tidak asing lagi. Sebuah bentuk musik yang lahir dari perpaduan antara musik tradisional dengan musik barat. Iramanya enak didengar dan seiring zaman campursari mulai mendapat penambahan dari jenis musik lainnya.
Musik campursari ini sepertinya juga mengena pada situasi politik nasional dalam beberapa hari ini.
Warna warni politik pencalonan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menjadi hangat ketika secara tiba-tiba KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan menjadi tersangka.
Setelah Presiden Jokowi hanya mencalonkan satu orang dalam pencalonan Kapolri, situasi politik menjadi tambah rumit karena pihak DPR RI ternyata gayung bersambut memuluskan langkah Komjen Budi Gunawan untuk dilantik oleh Presiden Jokowi menjadi orang nomor satu dalam Korps Bhayangkara di negeri ini, walaupun Budi Gunawan sudah menjadi tersangka oleh KPK.
Suasananya semakin ruwet dan memantik beragam kalimat-kalimat sarkasme dan satire di kalangan publik, baik mulai yang awam politik ketatanegaraan sampai yang pakar politik. Kali ini, Presiden Jokowi tidak berlebihan jika digambarkan solah berdendang irama campursari dengan lagu “Kapolri Oye”. Begitu tambahan kata pelengkap satire “oye” meminjam istilah dalang kondang, Ki Mantep.
Tentunya, semua tidak mau ingin berspekulasi dengan proses yang telah berjalan. Baik DPR maupun Presiden Jokowi telah jelas mengatakan mereka sama-sama ingin menjalankan sesuai dengan yang diatur oleh Undang-Undang. Persoalannya kemudian adalah apa makna penegakan hukum dan pemberantasan mafia seperti yang telah dikampanyekan oleh Presiden Jokowi manakala tetap melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri?
Banyak pihak kemudian mulai menelusuri hal ihwal kenapa sampai Komjen Budi Gunawan menjadi calon tunggal yang diusulkan oleh Presiden Jokowi ke DPR. Setelah melantik HM Prasetyo (Politisi Nasdem) sebagai Jaksa Agung, publik tentu tidak bisa menafikan bahwa pencalonan tunggal Komjen Budi Gunawan erat kaitannya dengan kedekatan Budi Gunawan dengan beberapa elite PDIP, terutama Ketum PDIP, Megawati Sukarno Putri.
Di sini letak awal masalahnya. Ketika ingin melantik menteri dalam kabinetnya, Jokowi banyak melibatkan KPK dan lembaga lainnya untuk menelusuri rekam jejak calon menteri. Walaupun kemudian penentuan calon Kapolri adalah hak prerogatif Presiden, akan tetapi dalam hal ini Presiden Jokowi sudah melakukan POLITIK STANDAR GANDA dalam menjalankan tugasnya.
Persoalan selanjutnya, juga menjadi hal yang aneh ketika KPK “ujug-ujug” menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka pada saat sudah diajukan oleh Presiden menjadi calon tunggal Kapolri.
Kenapa baru sekarang ditetapkan? Apakah karena KPK merasa dilecehkan oleh Presiden karena tidak dilibatkan dalam proses pecalonan Budi Gunawan? Kenapa hanya Budi Gunawan yang dijadikan tersangka, sementara pemberi suapnya tidak bersamaan ditetapkan sebagai tersangka? Ataukah ada POLITISASI dari kasus ini?
Persoalan yang tidak kalah peliknya adalah seolah-olah pemerintahan ini seperti tidak terkontrol dalam sebuah sistem bernegara yang baik dan benar. Masing-masing lembaga negara baik itu Lembaga Kepresidenan, KPK, DPR dan lembaga lainnya masing-masing sudah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai undang-undang. Oleh karena undang-undang kepolisian dan hak prerogatifnya sebagai Presiden, maka Jokowi berhak mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, oleh karena undang-undang KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, dan oleh karena undang-undang pula DPR tetap melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen Budi Gunawan.
Semuanya seperti menjadi irama campursari, warna warni politiknya semakin enak diikuti. Begitulah bangsa kita, selalu larut dalam huru hara politik atas. Sementara konsep bernegara yang sudah jauh-jauh hari dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dalam UUD 1945 dan Pancasila menjadi tercampakkan oleh sistem bernegara yang liberal. [lensaindonesia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar