Jika Pilpres 2014 dilaksanakan hari ini, Selasa 8 Juli 2014, maka pasangan
Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan dipilih 47,6 persen
masyarakat. Pasangan nomor urut 2 itu mengalahkan pasangan nomor urut 1,
Prabowo-Hatta yang memperoleh dukungan dari 44,9 persen suara.
Hal itu disimpulkan dari riset yang dilakukan oleh Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC), sesuai rilis tertulis yang diterima di
Jakarta, Selasa (8/7/2014).
Dari survei itu, diketahui 7,5 persen suara menyatakan tidak atau belum tahu, rahasia, atau tidak menjawab.
Apabila pemilih yang 7,5 persen tersebut terdistribusi secara
proporsional pada kedua pasangan, atau cenderung ke pasangan Jokowi-JK,
maka pasangan ini yang akan terpilih. Sebaliknya bila suara yang belum
memutuskan itu seluruhnya atau hampir seluruhnya ke pasangan
Prabowo-Hatta maka pasangan nomor urut satu yang akan terpilih.
Temuan lainnya, perilaku pemilih mengambang (swing voters) masih bisa
berubah setiap hari. Sehingga pilihan mereka sangat tergantung apa yang
dilakukan para capres dan timnya selama lima hari sebelum pencoblosan.
"Sisa waktu pada hari-hari setelah survei hingga tanggal 9 Juli masih
bisa membuat pemilih berubah. Apalagi di antara yang telah menentukan
pilihan itu masih ada sekitar 14 persen yang merasa belum mantap dengan
pilihannya ketika survei dilakukan," ungkap penanggung jawab riset
Djayadi Hanan.
Dari 14 persen itu, jumlahnya merata di kedua pasangan calon itu.
Karena itu, Djayadi Hanan menyatakan bahwa sebenarnya hasil riset itu
belum bisa membuat pihaknya mencapai kesimpulan siapa yang akan
memenangkan pilpres yang pencoblosannya dilakukan besok.
Sebab selain karena margin keungggulan Jokowi-JK cukup rendah atau hanya sekitar 2,7 persen,
Lalu apa konsekuensi dari tipisnya margin kemenangan Jokowi-JK?
Menurut SMRC, keadaan itu dapat menarik kedua kontestan melakukan
berbagai cara untuk menarik pemilih, termasuk dengan cara ilegal atau
curang. Kecurangan ini bisa dalam bentuk seperti kampanye di hari-hari
tenang, intimidasi, keterlibatan aparatur negara, dan politik uang.
"Kontestan yang unggul dalam kegiatan ilegal itu bisa memperbesar
dukungannya, tapi juga sekaligus mencederai prinsip Pilpres itu sendiri,
yakni jujur, adil, bebas, langsung, dan rahasia."
"Bila kecurangan itu terjadi dan terbukti, kemungkinan akan memancing
emosi dan perlawanan pihak yang dirugikan. Keadaan bisa menjadi rawan,
dan bahkan bisa berujung pada chaos."
Karena itu, SMRC menyatakan kondisi itu adalah ujian bagi semua
elemen dan anak bangsa, terutama pelaksana Pilpres (KPU, Bawaslu, dan
lembaga-lembaga negara lain yang terkait), apakah bisa melaksanakan
Pilpres secara jujur dan adil.
"Apakah kita akan lulus dari ujian ini atau tidak? Bila tidak,
demokrasi Indonesia, bahkan negara-bangsa ini, bisa terperosok dalam
kehancuran," demikian Djayadi.
Survei itu dilakukan dengan melakukan wawancara tatap muka terhadap
2350 WNI yang memiliki hak pilih, dan tinggal di Indonesia selama
periode 30 Juni hingga 3 Juli 2014. Pengambilan sampel dilakukan secara
random atau multistage random sampling.
Respond rate atau responden yang dapat diwawancarai secara valid
sebesar 1997 atau 85 persen. Sebanyak 1997 responden ini yang
dianalisis.
Margin of error rata-rata dari survei dengan ukuran sampel tersebut
lebih kurang 2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen dengan asumsi
simple random sampling.
Biaya survei ini adalah Corporate Social Responsibility (CSR) dari SMRC sendiri. [beritasatu]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar