Kamis, 03 Juli 2014

Prabowo vs Jokowi, Priyayi vs Rakyat Jelata

Peneliti CSIS, Philips Jusario Vermonte, menyebut Pemilu Presiden 2014 ibarat pertarungan dua kubu yang tiada henti di tengah masyarakat feodal. Priyayi melawan wong cilik. Apa maksudnya?
"Kaum priyayi terganggu status quo-nya melihat orang yang bukan siapa-siapa amat populer dan mungkin saja jadi presiden," ujar Phillips dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (3/7/2014) malam.
Dalam perspektif feodalistik, kata Philips, kelas sosial dikategorikan menjadi priyayi, abangan, dan wong cilik atau rakyat jelata. Dari strata tersebut muncul hak, kewajiban, dan karakter yang berbeda dan cenderung timpang, yang melekat kepada orang yang berdiam di kelas-kelas tersebut.
Philips mengibaratkan pasangan nomor urut satu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sebagai representasi kelas priyayi berdasarkan paparan perspektif itu. Sementara pasangan nomor urut dua, Joko Widodo-Mohammad Jusuf Kalla, menurut dia adalah representasi kelas wong cilik.
Menurut Phillips, saat ini "perang" kian sengit bahkan tiada akhir. Dia pun berpendapat kalangan priyayi dapat melakukan apa saja demi mencegah wong cilik berkuasa. Sebaliknya, ujar dia, kalangan wong cilik hanya bisa menepis dan menyusun strategi lagi.
Jokowi, kata Phillips, "dihajar" kanan-kiri dengan pernyataan-pernyataan yang merendahkan martabat. "Sebagian besar bukan dari elite sang rival, memang. Namun dari tangan-tangan lainnya yang boleh jadi sengaja dibuat demi mempertahankan status quo," ujar dia.
Phillips berpendapat tak ada yang bisa dilakukan Jokowi selain fokus pada upaya meraup suara sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan kemenangan. Upaya itu, sebut dia, termasuk menyasar kaum priyayi sebagai target pemilihnya.
Meski demikian, Philips melihat kaum terdidik yang disasar Jokowi lewat debat di televisi dan beragam cara kampanye itu tetap berpendapat upaya itu tak pernah cukup. "Lihat saja reaksi mereka-mereka yang punya pemikiran feodal. Menghina penampilan fisik, cara bicara," lanjut dia.
Philips menyayangkan perspektif feodalisme masih tumbuh subur di Indonesia. "Alangkah indahnya demokrasi jika perspektif itu dihilangkan dan kompetisi dijalankan dengan fair," ujar dia. "Menyedihkan, menyaksikan ternyata feodalisme berurat-berakar demikian dalam di republik kita ini."  [kompas]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar