Pemilihan Presiden 2014 menjadi ajang pertarungan antara calon yang
mempresentasikan sosok pemimpin dan sosok pekerja. Sosok pemimpin
tampil tegas, pandai bicara, sedangkan pengabdi lebih terlihat kerja
keras tanpa banyak bicara.
“Sekarang ini pertarungan dua arus besar itu, yakni massa yang
mencari pemimpin dan yang mencari pengabdi kepada rakyat. Bagi sebagian
masyarakat menginginkan pemimpin yang tegas, berwibawa, bahasa Indonesia
dan bahasa Inggrisnya bagus. Tapi, bagai pencari pemimpin pengabdi,
pinter bahasa Inggris itu tidak penting, yang diperlukan adalah sosok
yang kerja keras mengurusi rakyat,” kata Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y
Thohari, di MPR, Senin (9/6/2014).
Hanya saja, Hajri tidak mempertegas siapa yang dimaksud dengan sosok
capress tipe pemimpin dan pengabdi. Namun, kalau diperhatikan secara
kesuluruhan, arahnya adalah Prabowo sebagai sosok pemimpin, sedangkan
Jokowi tipe pengabdi.
Menurut Hajri, sosok pengabdi mengedepankan kesahajaan, busana tidak
bagus-bagus, alat transportasi juga yang biasa saja, tidak perlu
pengawalan berlebihan. Bagi pemimpin tipe seperti ini, tidak penting
banyak bertemu dengan pemimpin asing, karena di dalam negeri saja
amburadul, dan banyak masalah.
“Kalau pengabdi merasakan lebih mementingkan rakyat, karena selama
pembangunan berjalan sudah berpuluh tahun, rakyat banyak belum mendapat
bagian deviden atau keuntungan dari demokrasi,” ungkapnya.
Ditegaskannya, dalam kondisi tertentu, bangsa ini sangat membutuhkan
sosok pemimpin, misalnya saja melihat anggaran dalam APBN yang sangat
tidak seimbang. Dalam APBN 60% untuk belanja rutin, hampir 20% untuk
membayar utang, dan hanya 20% sisanya untuk pembangunan. Hanya oleh
sosok seorang pemimpin perubahan komposisi anggaran APBN bisa diubah,
karena mereka punya sikap berani ketika harus berhadapan dengan
pihak-pihak yang teriak saat anggaran dikurnagi.
“Jumlah untuk ekspansi pembangunan masih kecil prosentasinya, maka
dibutuhkan ketegasan sosk pemimpin yang mampu mengubah kompisisi APBN
itu, misalnya 40% untuk belanja rutin, dan 40% untuk pembangunan,
sehingga dengan anggaran sebesar ini pembangunan makin kencang,” kata
Hajriyanto.
Kalau tipe pengabdi, maka akan melihat anggaran itu apa adanya. Dari
waktu ke waktu komposisinya seperti itu, lebih baik mengoptimalkan porsi
anggaran yang ada. Mereka akan melakukan penghematan dan mengoptimalkan
kerja.
Bagi pengusung sosok tipe pengabdi itu, mereka juga tetap akan
mempertahankan pilihannya meski dalam debat calon presiden yang digelar
KPU, ternyata kurang mampu membawakan pemikiran secara optimal.
“Bagi pendukung tipe pengabdi itu, kalau misalnya debat capres kalah,
mereka menganggap itu tidak penting. Pinter bicara belum tentu bisa
kerja. Wong dari dulu, banyak yang pinter bicara, buktinya mereka tidak
bisa kerja,” ujar Hajri. [winoto/Pos Kota]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar