Semua orang menunggu bagaimana calon presiden Joko Widodo (Jokowi)
bisa menangkis serangan tak terelakkan bahwa dia sekedar boneka, yang
hanya bisa di posisinya sekarang karena restu Megawati Soekarnoputri --
yang juga sudah terlanjur menegaskan di depan umum bahwa pria Solo itu
adalah “petugas partai.”
Sejak serangan itu bergulir, Jokowi tak pernah memberi jawaban tegas sampai dimulainya debat capres Senin (9/6/2014) malam.
Di hadapan rivalnya, Prabowo Subianto, Jokowi tidak berusaha membantah atau mencari exit strategy, sebaliknya dia malah membenarkan dan mengisyaratkan bangga atas fakta tersebut.
“Partai politik harus berani merombak, siapa yang baik itu yang diajukan,” mulai Jokowi.
“Saya bukan ketua partai, tapi diajukan karena ada rekam jejak dan --
menurut saya -- ada prestasi,” ujar gubernur Jakarta non-aktif itu
dengan nada penuh percaya diri.
Menurut Jokowi, kebijakan yang berbeda dengan mainstream yang ada
dalam konstetasi politik nasional itu justru menjadi preseden
revolusioner dan positif, bahwa yang pantas maju sebagai penguasa
politik tertinggi di negara sebesar Indonesia adalah “yang terbaik,
bukan ketua umum parpol.”
Logika ini sederhana tapi masuk nalar masyarakat awam sekalipun,
bahwa yang terbaik belum tentu ketua parpol-nya, sehingga psikologi
penentuan capres perlu diubah. Tapi tentu, untuk melihat apakah Jokowi
memang yang terbaik, perlu pembuktian lebih lanjut.
Soal koalisi yang seramping tubuhnya, Jokowi mengatakan itu sangat
bermanfaat untuk membuat platform kerja yang lebih efisien dan
mengutamakan kepetingan rakyat, “bukan bagi-bagi menteri di depan, bukan
bagi-bagi kursi di depan.”
Mitra veterannya, Jusuf Kalla, menambahkan bahwa koalisi di belakang
mereka berdua begitu efisien dan bisa langsung kerja kalau menang karena
“tidak ada janji siapa menjabat apa, dan biaya murah karena tidak ada
tekanan.”
Kembali ke soal petugas partai, dalam sejarah pemilihan presiden
secara langsung di Indonesia yang baru berlangsung dua kali, malah belum
pernah seorang ketua umum parpol bisa menjadi presiden. Susilo Bambang
Yudhoyono menjadi ketua umum Partai Demokrat baru empat tahun setelah
terpilih sebagai presiden untuk kedua kalinya. Ketika terpilih pada 2004
dan 2009, status resmi SBY di Demokrat adalah “petugas”, untuk menyebut
jabatan selain ketum.
Kasus di Negara Lain
Lalu bagaimana dengan negara-negara lain yang juga menganut sistem
presidensiil? Sebetulnya tidak banyak negara yang presidennya dipilih
langsung oleh rakyat, dan sebagian besar juga bukan ketum parpol.
Di Iran, presiden terpilih Hassan Rouhani bukan ketum parpol, dia
adalah mantan ketua DPR, pengacara, akademisi dan diplomat. Di Amerika
Serikat, Barack Obama bukan ketum Partai Demokrat, tapi bisa terpilih
dua kali. Presiden Rusia Vladimir Putin malah sebelumnya tidak
berafiliasi ke parpol mana pun, sebelum mendapat dukungan dari Partai
Persatuan (Unity Party). Presiden Irlandia Michael Higgins dulu
dicalonkan lewat konvensi 2011 Partai Buruh, yang ketuanya adalah Eamon
Gilmore.
Kasus agak berbeda adalah Prancis, di mana Presiden Francois Hollande
semula adalah pemimpin (di sana disebut sekretaris pertama) Partai
Sosialis.
Jadi yang dikatakan oleh Jokowi sebetulnya bukan fakta yang baru, sehingga disebut sebagai sebuah terobosan juga sulit.
Namun caranya memaksimalkan daya ledak ini cukup cerdas: dia menahan
diri tidak menjelaskan itu berulang-ulang setiap ada wartawan, namun
memilih menunggu di saat yang tepat, ketika ditonton puluhan juta
pemirsa, di hadapan lawannya langsung, dan dalam forum resmi di mana dia
memang diminta menjelaskan.
Dia mengubah citra petugas partai bukan lagi sebagai titik lemah yang
menjadi sasaran oleh tembak kubu lawan, namun justru senjata yang dia
banggakan.
Masih ada dua debat lagi yang mempertemukan dia dengan Prabowo, jadi menarik ditunggu siapa yang lebih unggul selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar