Keberagaman Indonesia membutuhkan sekaligus kepemimpinan tipe solidarity maker dan tipe administrator. Siapa tokoh paling tepat mendampingi Joko Widodo (Jokowi)?
Dalam buku yang kian klasik, ‘The Decline of Constitutional Democracy’, Herbert Feith meniscayakan perlunya dua tipe kepemimpinan di Indonesia. Keperluan itu disebabkan fakta heterogenitas yang ada, yang memerlukan kesatuan bangsa yang solid.
Heterogenitas dan luasnya Indonesia memerlukan pemimpin yang dengan citra dan kharismanya bisa menyatukan rakyat. Indonesia perlu seorang solidarity maker, yang bisa memperkuat dan menyatukan solidaritas. Misalnya dengan memainkan simbol-simbol identitas bangsa.
Tetapi tentu saja, kesatuan bangsa tanpa diiringi kecakapan administratif yang bisa menjamin kelancaran implimentasi visi dengan menggunakan jaringan aparat negara, tak akan menghasilkan apa-apa. Di situlah diperlukan peran pemimpin bertipe administrator.
Jokowi memang bukan seorang orator, sebagainya Feith mencontohkan Soekarno untuk tipe solidarity maker itu. Tetapi saat ini siapa bisa menolak bahwa figur Jokowi dengan segala ‘kenaifan’ dan pembawaan sederhananya, mampu mengentalkan soliditas antarrakyat? Tokoh ini, dalam figurnya yang ‘ndeso’ telah mampu menjadi contoh dan panutan.
Tipe pembangun solidaritas juga dicirikan sebagai persona yang penuh moralitas, punya kesalehan ritual, dan peka secara sosial. Ia juga tegas, mau menanggung risiko alias risk taker, peduli, hangat, serta tak begitu peduli amat dengan citra.
Semua itu kini terwujud dalam diri Jokowi. Kalau pun ada yang mengaku bisa menafikannya, dijamin alasannya akan sangat panjang. Bisa sepanjang jalan raya Trans-Sumatra.
Baiklah, untuk Indonesia ke depan yang maju, kita anggap tipe pertama mampu diwakili Jokowi. Mungkin sedikit banyak juga bisa kita rujuk Prabowo sebagai pembanding.
“Pendamping Jokowi semestinya sosok dengan tipe administrator atau problem solver, agar bisa memastikan sistem pemerintahan bekerja baik dan efektif,” ujar pengamat politik M. Alfan Alfian. Nah, tinggal mari kita cari siapa yang bisa mendampinginya sebagai pemimpin bertipe administrator tadi.
Mungkin dengan pengalamannya sebagai wapres, Jusuf Kalla bisa. Kalla juga seringkali terjaring lembaga survei sebagai tokoh Islam yang paling diminati publik.
Persoalannya hanya faktor usia. Bila terpilih, saat dilantik nanti Kalla sudah berusia di atas 70 tahun. Terlalu renta, hingga wajar banyak pihak menganggapnya riskan.
Ada tokoh lain yang juga tak bisa dinafikan atau dianggap sepi. Dia tak lain Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Selama ini, Hatta tampaknya belum sepenuhnya mengeluarkan potensinya. Ia cenderung sedikit bicara. Sebagai tokoh pemerintahan, lulusan Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 itu dianggap lebih banyak berkata-kata dengan cara bekerja.
Mungkin saja, sebagai besan SBY, posisi itu justru membuat Hatta rikuh untuk bekerja maksimal. Maklumlah, SBY orang Jawa, yang konon percaya tak boleh ada dua surya di jagat raya.
Tapi tak bisa dibantah, pengalaman kerja orang ini di kabinet cukup paripurna. Sebelum menjabat Menko Perekonomian saat ini, Hatta pernah menjabat Menteri Sekretaris Negara 92007-2009), Menteri Perhubungan (2004-2007) dan Menteri Negara Riset dan Teknologi (2001-2004).
Atau mungkin ada tokoh lain yang lebih muda tapi punya rekam jejak cemerlang dalam bekerja? Bila memang ada, mari kita unjukkan dia untuk kebaikan bersama.
Sumber :
inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar