Sabtu, 22 Maret 2014

Pemilih Muda Tak Mau Tahu Jokowi Atau Dahlan Iskan

Anak muda Kota Pahlawan dengan usia 17-28 tahun, rupanya, kurang berminat untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif 9 April. Mereka ternyata lebih berminat memilih presiden daripada wakil rakyat.
Hal itu merupakan hasil survei jajak pendapat berjudul Persepsi Pemilih Muda Surabaya terhadap Pemilu 2014 yang diadakan Sociology Centre Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.

Ketua Sociology Centre Novri Susan memaparkan, data diambil dari 300 pemuda Surabaya berusia 17-28 tahun.
Mengenai hasilnya, laki-laki yang menyelesaikan pendidikan doktornya di Doshisha University, Kyoto, Jepang, itu mengatakan, poin yang menonjol adalah kekurangpercayaan pemilih muda terhadap legislatif daripada eksekutif.

Hal itu bertolak belakang dengan kepercayaan pemilih muda terhadap eksekutif dengan bukti tingginya persentase pemilihan presiden. ''Dari situ bisa dilihat pola pemilih muda dari setiap pemilu. Sebagian besar bukan melihat partai politiknya, melainkan figurnya,'' ujar Novri.

Dia dan tim juga mengeluarkan 15 besar tokoh yang sedang hangat diperbincangkan publik terkait dengan pencalonannya. Hasilnya, dua nama yang paling unggul adalah Jokowi dan Dahlan Iskan. Dilihat dari usia, mereka memang berbeda generasi. Dengan demikian, lanjut Novri, bisa disimpulkan bahwa para pemilih muda tidak melihat usia pemimpin. Melainkan konten dan kualitasnya.

Menurut Novri, idealnya sebagai negara demokrasi, warganya berpartisipasi dalam pemilihan, baik legislatif maupun eksekutif. Seharusnya masyarakat tidak melulu melihat figur untuk memilih wakilnya, melainkan juga partai politik. Dengan begitu, negara diatur eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Namun, hal tersebut bukan salah masyarakat karena performa sebagian besar partai politik tidak bagus.

Dalam salah satu poin hasil survei menunjukkan, 54,5 persen pemilih muda pernah ditawari gratifikasi dalam bentuk uang supaya mencoblos yang berkepentingan. Nah, fenomena itu sama saja dengan lingkaran setan. Susah sekali mencari tahu penyebabnya. Solusinya pun tidak mutlak. Untuk sementara sebaiknya masyarakat lebih proaktif menjadi kontrol partai politik. Parpol juga harus menunjukkan secara nyata bahwa mereka benar-benar membela rakyat. ''Kalau secara teori, parpol itu kan berangkat dari isu masyarakat. Tapi, jangan cuma mengumbar halusinasi,'' tegasnya.

Untuk tingkat partisipasi pemilu, sejauh ini ada 85,62 persen anak muda yang mengatakan akan berpartisipasi. Angka tersebut lumayan tinggi, tetapi tidak berarti bisa bertahan. Hal tersebut bergantung pada proses pemilu karena para pemilih muda bisa saja berubah pikiran.

Apalagi selama ini sosialisasi pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum optimal. Proses berlangsung dengan sangat normatif dan mainstream. Menurut Novri, hal itu sudah tidak relevan dengan pikiran pemilih muda. Seharusnya ada improvisasi seperti turun langsung ke publik. 

Sumber :
jpnn.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar