Anak muda Kota Pahlawan dengan usia 17-28 tahun, rupanya, kurang
berminat untuk berpartisipasi dalam pemilu legislatif 9 April. Mereka
ternyata lebih berminat memilih presiden daripada wakil rakyat.
Hal itu merupakan hasil survei jajak pendapat berjudul Persepsi Pemilih Muda Surabaya terhadap Pemilu 2014 yang diadakan Sociology Centre Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Ketua Sociology Centre Novri Susan memaparkan, data diambil dari 300
pemuda Surabaya berusia 17-28 tahun.
Mengenai hasilnya, laki-laki yang
menyelesaikan pendidikan doktornya di Doshisha University, Kyoto,
Jepang, itu mengatakan, poin yang menonjol adalah kekurangpercayaan
pemilih muda terhadap legislatif daripada eksekutif.
Hal itu bertolak belakang dengan kepercayaan pemilih muda terhadap
eksekutif dengan bukti tingginya persentase pemilihan presiden. ''Dari
situ bisa dilihat pola pemilih muda dari setiap pemilu. Sebagian besar
bukan melihat partai politiknya, melainkan figurnya,'' ujar Novri.
Dia dan tim juga mengeluarkan 15 besar tokoh yang sedang hangat
diperbincangkan publik terkait dengan pencalonannya. Hasilnya, dua nama
yang paling unggul adalah Jokowi dan Dahlan Iskan. Dilihat dari usia,
mereka memang berbeda generasi. Dengan demikian, lanjut Novri, bisa
disimpulkan bahwa para pemilih muda tidak melihat usia pemimpin.
Melainkan konten dan kualitasnya.
Menurut Novri, idealnya sebagai negara demokrasi, warganya
berpartisipasi dalam pemilihan, baik legislatif maupun eksekutif.
Seharusnya masyarakat tidak melulu melihat figur untuk memilih wakilnya,
melainkan juga partai politik. Dengan begitu, negara diatur eksekutif,
yudikatif, dan legislatif. Namun, hal tersebut bukan salah masyarakat
karena performa sebagian besar partai politik tidak bagus.
Dalam salah satu poin hasil survei menunjukkan, 54,5 persen pemilih muda
pernah ditawari gratifikasi dalam bentuk uang supaya mencoblos yang
berkepentingan. Nah, fenomena itu sama saja dengan lingkaran setan.
Susah sekali mencari tahu penyebabnya. Solusinya pun tidak mutlak. Untuk
sementara sebaiknya masyarakat lebih proaktif menjadi kontrol partai
politik. Parpol juga harus menunjukkan secara nyata bahwa mereka
benar-benar membela rakyat. ''Kalau secara teori, parpol itu kan berangkat dari isu masyarakat. Tapi, jangan cuma mengumbar halusinasi,'' tegasnya.
Untuk tingkat partisipasi pemilu, sejauh ini ada 85,62 persen anak muda
yang mengatakan akan berpartisipasi. Angka tersebut lumayan tinggi,
tetapi tidak berarti bisa bertahan. Hal tersebut bergantung pada proses
pemilu karena para pemilih muda bisa saja berubah pikiran.
Apalagi selama ini sosialisasi pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
belum optimal. Proses berlangsung dengan sangat normatif dan mainstream.
Menurut Novri, hal itu sudah tidak relevan dengan pikiran pemilih muda.
Seharusnya ada improvisasi seperti turun langsung ke publik.
Sumber :
jpnn.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar