Surat kabar mingguan terkemuka di Inggris, The Economist, berharap agar Prabowo Subianto tak memimpin Indonesia. The Economist menganggap Prabowo akan mematikan demokrasi yang sudah tumbuh berkembang selama 20 tahun di Indonesia.
"Ini
kemajuan yang mengagumkan. Dua dekade lalu Indonesia masih dipimpin
diktator. Sekarang 240 juta warganya antusias menghadapi pemilihan umum 9
Juli mendatang," demikian tertulis dalam artikel berjudul "Indonesia's
Presidential Election: Competing Visions". Artikel ini dirilis pada
Jumat (4/7/2014).
Prediksi The Economist, proses
demokrasi yang gemilang ini terancam kandas setidaknya bila Prabowo
memimpin Indonesia. "Ia tampaknya ingin mengembalikan waktu ke sebelum
masa demokrasi."
Tak seperti Joko Widodo yang disanjung setinggi langit, The Economist tampak
alergi memuji Prabowo. Dalam artikel tersebut, Prabowo hanya dipuji
sebagai sosok yang jantan dan kaya raya. Ia juga disebut pernah memimpin
satuan khusus komando militer (Kopassus), tapi The Economist enggan menyanjung prestasi yang pernah ia capai.
Alih-alih,
surat kabar ini malah memberi catatan tentang sejumlah pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang dilakukan Prabowo ketika masih berseragam
loreng. "Pertama di Timor Timur, lalu terhadap sejumlah orang saat
demonstrasi anti-Soeharto."
Tak hanya itu, The Economist juga
menyiarkan kabar jelek lain tentangnya. Prabowo dianggap lihai
memainkan politik uang, pandai memilih partner miliuner untuk memuluskan
segala cita-citanya: menjadi Presiden Indonesia. Dan yang paling
penting dari pandangan dunia internasional terhadap Prabowo adalah sikap
kerasnya terhadap investor asing.
Hal berbeda sampai 180 derajat ketika menyebut Jokowi, The Economist
mengelu-elukan calon presiden bertubuh kurus itu. Ia memang tak sekaya
dan sejantan Prabowo, tapi bukan berarti ia kalah tegas. "Ia berhasil
mengatasi masalah birokrat korup (di Solo dan Jakarta)," tulis The Economist.
Jokowi
juga disebut lebih ramah pada investor asing; pandai berkolaborasi
dengan elite politik lintas suku, agama, dan ras (SARA); dan yang
terpenting menurut surat kabar itu adalah Jokowi merupakan anomali baru
di dunia politik Indonesia. "Ia bukan berasal dari sarang dinasti
politik dan bisnis yang sudah malang melintang di Indonesia. Ia juga
bukan berasal dari kroni-kroni mereka yang kotor," demikian tertulis
dalam The Economist. Jokowi dengan visi kepemimpinannya disebut sebagai harapan baru bagi Indonesia.
Bukan kali ini saja The Economist menyanjung
Jokowi. Setidaknya dalam dua edisi pada Maret silam, ada dua artikel
yang mengelu-elukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu.
Artikel tersebut berjudul "Yes He Can!" dan "The Chosen One". Maka dengan mantap dalam artikel terakhirnya, The Economist menulis, "Jokowi adalah pilihan terbaik untuk Indonesia." [tempo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar