Jumat, 04 Juli 2014

The Economist Tak Mau Prabowo Pimpin Indonesia

Surat kabar mingguan terkemuka di Inggris, The Economist, berharap agar Prabowo Subianto tak memimpin Indonesia. The Economist menganggap Prabowo akan mematikan demokrasi yang sudah tumbuh berkembang selama 20 tahun di Indonesia.
"Ini kemajuan yang mengagumkan. Dua dekade lalu Indonesia masih dipimpin diktator. Sekarang 240 juta warganya antusias menghadapi pemilihan umum 9 Juli mendatang," demikian tertulis dalam artikel berjudul "Indonesia's Presidential Election: Competing Visions". Artikel ini dirilis pada Jumat (4/7/2014).
Prediksi The Economist, proses demokrasi yang gemilang ini terancam kandas setidaknya bila Prabowo memimpin Indonesia. "Ia tampaknya ingin mengembalikan waktu ke sebelum masa demokrasi."
Tak seperti Joko Widodo yang disanjung setinggi langit, The Economist tampak alergi memuji Prabowo. Dalam artikel tersebut, Prabowo hanya dipuji sebagai sosok yang jantan dan kaya raya. Ia juga disebut pernah memimpin satuan khusus komando militer (Kopassus), tapi The Economist enggan menyanjung prestasi yang pernah ia capai.
Alih-alih, surat kabar ini malah memberi catatan tentang sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan Prabowo ketika masih berseragam loreng. "Pertama di Timor Timur, lalu terhadap sejumlah orang saat demonstrasi anti-Soeharto."
Tak hanya itu, The Economist juga menyiarkan kabar jelek lain tentangnya. Prabowo dianggap lihai memainkan politik uang, pandai memilih partner miliuner untuk memuluskan segala cita-citanya: menjadi Presiden Indonesia. Dan yang paling penting dari pandangan dunia internasional terhadap Prabowo adalah sikap kerasnya terhadap investor asing.
Hal berbeda sampai 180 derajat ketika menyebut Jokowi, The Economist mengelu-elukan calon presiden bertubuh kurus itu. Ia memang tak sekaya dan sejantan Prabowo, tapi bukan berarti ia kalah tegas. "Ia berhasil mengatasi masalah birokrat korup (di Solo dan Jakarta)," tulis The Economist.
Jokowi juga disebut lebih ramah pada investor asing; pandai berkolaborasi dengan elite politik lintas suku, agama, dan ras (SARA); dan yang terpenting menurut surat kabar itu adalah Jokowi merupakan anomali baru di dunia politik Indonesia. "Ia bukan berasal dari sarang dinasti politik dan bisnis yang sudah malang melintang di Indonesia. Ia juga bukan berasal dari kroni-kroni mereka yang kotor," demikian tertulis dalam The Economist. Jokowi dengan visi kepemimpinannya disebut sebagai harapan baru bagi Indonesia.
Bukan kali ini saja The Economist menyanjung Jokowi. Setidaknya dalam dua edisi pada Maret silam, ada dua artikel yang mengelu-elukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu.
Artikel tersebut berjudul "Yes He Can!" dan "The Chosen One". Maka dengan mantap dalam artikel terakhirnya, The Economist menulis, "Jokowi adalah pilihan terbaik untuk Indonesia."  [tempo]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar