Mantan KASAD Letjen (purn) Agus Widjojo yang sekaligus mantan komandan
Capres Prabowo Subianto mengatakan, rekam jejak HAM menyebabkan Prabowo
tidak layak untuk menjadi Presiden Indonesia berikutnya.
Dalam
wawancara khusus dengan ABC, Jenderal Agus Widjojo mengatakan,
mengatakan Prabowo memiliki kasus yang harus diselesaikan dalam
pelanggaran HAM di Indonesia tahun 1998.
Selama karirnya,
Jenderal Agus Widjojo merupakan Komandan Sekolah Staf Angkatan Darat
(KASAD) dan Kepala Staf Teritorial. Sebelum pensiun pada tahun 2003, ia
merupakan wakil ketua MPR Republik Indonesia.
"Saya kira ia
melakukan (pelanggaran HAM) karena sangat meyakinkan ia terlibat dalam
berbagai kasus yang tidak seharusnya dilakukan oleh perwira militer,"
ucapnya.
Aksi-aksi tersebut termasuk penculikan dan dugaan
penyiksaan terhadap sembilan aktivis selama kerusuhan 1998 menjelang
jatuhnya Suharto.
Pengadilan militer -- yang anggotanya termasuk
Jenderal dan kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -- menemukan bahwa
Prabowo "salah menafsirkan" perintah militer.
Ia dipecat dari tentara meskipun tidak ada tuduhan kriminal di dalamnya.
Ketidaksukaan terhadap Prabowo
Sungguh
merupakan suatu situasi yang tidak menguntungkan bagi seseorang yang
awalnya diprediksi akan menjadi pemimpin tentara selanjutnya dan mungkin
menjadi pelanjut Presiden Soeharto, yang merupakan mertuanya.
Akibatnya, Prabowo sudah berkampanye untuk menjadi presiden selama satu dekade terakhir.
Partai
Demokrat pimpinan Presiden Yudhoyono pada minggu ini sudah mendukung
kampanye Prabowo untuk melanjutkan kepemimpinan nasional pada bulan
Oktober nanti.
Saat Prabowo di militer, Agus Widjojo merupakan
komandan Prabowo lebih dari sekali dan ia bergabung dengan perwira
militer senior yang secara terbuka mengkritik rekam jejak Prabowo
beserta gayanya.
Widojo mengatakan kecenderungan Prabowo terhadap
gaya kepemimpinan yang otoriter terbukti selama pidato kampanyenya dan
keengganannya untuk meminta dan menerima nasehat.
"Menurut
pendapat saya, ia (Prabowo) bukanlah seorang demokrat, kedua ia bukanlah
manajer, dan ketiga ia bukanlah seorang pemimpin," tambahnya.
Widjojo
telah mengingatkan bahaya yang akan terjadi pada kepemimpinan nasional
bila Prabowo, yang juga memiliki reputasi sebagai sosok yang berkarakter
pemarah, memenangi pemilu pada 9 Juli ini.
"Karena ambisinya dan
latar belakang tersebut, kadang ia melenceng dari aturan-aturan dari
wewenang yang ia miliki," ucap Agus Widjojo.
"Seolah-olah, kita
mendapat kesan, ia menampilkan dirinya sebagai tokoh politik, daripada
sebagai perwira militer, bahkan pada saat itu, saat ia sebagai perwira
aktif militer," tambahnya.
"Kami juga lihat di media, bagaimana
senior-seniornya mengingatkan publik apa yang telah ia lakukan, selama
masa tugasnya bertahun-tahun silam. Dan akan menjadi keprihatinan yang
luar biasa bila karakter-karakter negatif dibawa ke tingkat nasional,
dimana kerusakan bisa semakin meluas dan lebih sering terjadi pada
bangsa ini," kata Agus Widjojo.
Survei terbaru menyebutkan bahwa
kompetisi menuju Istana Presiden semakin tipis, dengan pemimpin
sementara, Joko Widodo mempertahankan empat persen keunggulannya atas
rivalnya.
Masih ada sekitar 20 persen pemilih yang belum menentukan pilihan.
Meskipun
memilih bukanlah suatu kewajiban di Indonesia, angka partisipasi yang
sekitar 70 persen sangat bagus menurut standar internasional.
Namun angka ini turun terhitung sejak angka tertinggi pada pemilihan langsung presiden pada tahun 2009.
Pengamat Indonesia Greg Fealy, dari ANU Canberra mengatakan, pemilih perempuan kelihatannya tidak akan memilih Prabowo.
"Dalam
beberapa pidatonya ia berorasi dengan keras, yang bagi sebagian pemilih
(hal itu) menunjukkan ketegasannya, namun bagi perempuan hal itu malah
menjadi aneh," ucapnya.
"Saya kira sekitar 65 persen perempuan
akan memilih Jokowi di survei-survei tersebut, yang telah dikategorikan
sesuai preferensi gender," katanya.
Kebanyakan retorika Prabowo bisa dlihat sebagai apa yang disebut menggertak dalam rangkaian kampanye.
Tidak
mengejutkan bila kedua kandidat menggunakan sentimen nasionalis seiring
janji-janji untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di
daerah-daerah.
Namun sebagai orang Indonesia yang memikirkan
siapa yang terbaik untuk memimpin negara ke depan, Agus Widjojo
mengatakan kedua kandidat tidak sama bagusnya sebagaimana ketika ;
Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pada tahun 2010.
Ia
mengatakan SBY lebih siap untuk diplomasi internasional dan mengamankan
peran Indonesia di kawasan sebagai kekuatan menengah yang terus
berkembang.
"Keduanya jauh di bawah SBY dan kita harus realistis
dengan hal itu. Apa yang menggembirakan adalah Jokowi percaya dengan
timnya dan mau mendengar," katanya.
Agus Widjojo yang pensiun
dari militer pada tahun 2003 setelah berperan penting saat mereformasi
tentara dan mengurangi peran politik mereka.
Ia mengatakan tidak
memadainya pengadilan militer Indonesia pada tahun 1998, didesain hanya
untuk menyingkirkan pembuat masalah, yang berarti dibutuhkan
penyelidikan yang independen.
"Belum ada klarifikasi. Semua ini
dibuat hanya sebagai bahan untuk perdebatan politik dan ini tidak bisa
berakhir pada debat politik," tambahnya lagi.
"Saya kira hal ini
hanya bisa berakhir, mungkin, dengan pengadilan independen, yang
mengarah pada segala yang diperlukan, dan keluar dari hal itu." [detik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar