Hasil survei bertajuk Indo Strategy Political Series yang dilakukan
Deutsche Bank seolah memberi gambaran kepercayaan pelaku pasar modal
atau investor terhadap sosok calon presiden Joko Widodo dan calon wakil
presiden Jusuf Kalla. Disebutkan 50 persen investor mengaku percaya
pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla bakal menang.
Masih berdasarkan survei tersebut, apabila pasangan Jokowi-JK
memenangi pilpres, maka 74 persen investor akan melakukan aksi beli dan
hanya 6 persen akan melakukan aksi jual.
"Kepercayaan investor pada Jokowi-JK disebabkan klaim pasangan itu di
mana tidak melakukan transaksi politik dalam koalisinya sehingga
peluang melakukan reformasi lebih besar," tulis hasil survei tersebut.
Menanggapi hal ini, analis pasar modal Yanuar Rizki tidak menampik
bentuk dukungan dan harapan investor terhadap salah satu pasangan
kandidat atau calon presiden dan calon wakil presiden. Simpelnya, hasil
survei tersebut menunjukkan investor lebih pro dan mendukung Jokowi-JK
untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan.
Hanya saja, dia ingin mengingatkan bahwa tidak ada dukungan abadi
untuk capres dan cawapres jika berbicara dalam konteks pergerakan pasar
modal. Kalaupun saat ini pasar bergairah seiring dukungan terhadap
Prabowo Subianto ataupun Joko Widodo, itu hanya bersifat sementara.
"Tidak ada dukungan yang sifatnya konsisten dari market," tegas Yanuar kepada merdeka.com, Minggu (15/6/2014).
Yanuar mengajak memahami konteks ini dengan berkaca pada saat
melonjaknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ketika Jokowi menyatakan
maju sebagai calon presiden. Saat itu, pergerakan pasar disebut-sebut
terpengaruh 'Jokowi Effect'.
"Hati-hati dengan permainan Jokowi effect. Pasar itu kan fluktuatif,
ada kalanya positif, ada kalanya negatif. Kalau nanti Jokowi presiden
tapi tak berselang lama pasar bergejolak negatif, malah jadi tersandera
dengan anggapan itu," katanya.
Menurutnya, yang paling mempengaruhi fluktuasi pasar modal adalah
kondisi perekonomian global. Sentimen dari dalam negeri memang cukup
berpengaruh, tapi tidak dominan. Siapapun sosok yang nantinya didaulat
sebagai orang nomor satu di Indonesia, baik Prabowo Subianto ataupun
Jokowi, akan berhadapan dengan situasi yang tidak mudah.
"Misalnya kalau Jokowi presiden, tapi Bank Eropa turunkan suku bunga,
Bank China juga turunkan suku bunga, pasti akan bergejolak. Siapapun
presidennya akan hadapi fluktuasi pasar," jelasnya. [noe/merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar