Genap setahun Jokowi Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memimpin DKI Jakarta. Salah satu yang menjadi program andalan mereka adalah Kartu Jakarta Sehat (KJS). Program KJS merupakan program pertama yang diluncurkan Jokowi, sebulan setelah Jokowi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Bagaimana pelaksanaan realisasi fasilitas kartu kesehatan untuk warga tidak mampu itu?
Berikut ini investigasi detikcom:
Tubuh Sarbini, 62, terbaring tidak berdaya di tempat tidur ruang Kelas III Seruni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Budhi Asih, Jakarta Timur. Penyakit diare akut membuat wajahnya pucat dan harus sering bolak balik ke toilet di ruang perawatan.
Di sebelah Sarbini, ada istrinya Siti Maimunah, 50, yang setia menjaga. Lima hari perawatan di rumah sakit diakui Maimunah tidak dikenai biaya alias gratis karena menggunakan fasilitas Kartu Jakarta Sehat (KJS). Paling hanya membayar tebusan obat yang tidak ada di apotek RS Budhi Asih.
Maimunah dan Sarbini yang hanya bekerja sebagai penjual bensin eceran dengan pengasilan per hari hanya Rp 60 ribu, mengaku sangat bersyukur karena sekarang jasa dokter, rawat inap, tes laboratorium sudah ditanggung oleh KJS.
Mendaftar dan menyerahkan berbagai syarat untuk KJS sudah dilakukan Maimunah sejak delapan bulan lalu. Tapi, KJS baru bisa diperoleh pada pertengahan Agustus lalu. Sebelumnya, pada Juni lalu, Sarbini juga pernah dirawat selama tiga hari karena sakit yang sama. Namun, karena saat itu KJS belum jadi maka biaya rumah sakit sebesar Rp 2,5 juta ditanggung sendiri.
Maimunah memperkirakan biaya perawatan lima hari sudah sekitar Rp 4 juta dan itu ditanggung KJS. “Paling nebus obat di luar yang pakai duit sendiri," kata warga Kelurahan Jatipadang, Jakarta Selatan, ini saat ditemui detikcom, Senin (14/10/2013).
Secarik Kartu Jakarta Sehat sangat diharapkan oleh masyarakat ibu kota yang tak mampu. Tak ada asuransi dan jaminan pekerjaan tetap, KJS menjadi pegangan andalan masyarakat kecil untuk mengurus kesehatannya.
Agus Sulaeman, 46, warga Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek menganggap KJS untuk keluarganya adalah suatu rezeki yang luar biasa. Bapak lima anak yang hanya berpenghasilan rata-rata Rp 80 ribu per hari ini pernah diopname pada Juli lalu tanpa KJS.
Sudah tujuh bulan setelah mendaftar, KJS yang diharapkan tidak kunjung juga tersalurkan dari Puskemas tempat tinggalnya. Saat harus dirawat inap selama enam hari, pihak rumah sakit meminta surat rujukan dari Puskesmas yang menjamin dirinya benar adalah orang tidak mampu. Surat tersebut sebagai pengganti KJS.
“Juga pakai KK, KTP sama surat dari puskesmas. Waktu itu di rumah sakit habis Rp 3 juta, tapi gratis semua Alhamdulillah. Tapi, bolak-balik dan ngantre ke puskemasnya yang ribet,” ujarnya saat ditemui detikcom, Senin (14/10/2013).
Agus pun sangat berharap janji Ketua Rukun Tangga tempat tinggalnya yang mengatakan akhir tahun ini KJS sudah bisa disalurkan. Pasalnya, ia punya tanggungan keluarga yang tidak punya jaminan kesehatan. “Kalau ada KJS kan bisa tenang. Mudah-mudahan KJS cepat jadi,” katanya.
Keluhan senada dilontarkan warga Batuampar, Condet, Sukarti, 46. Ia mengatakan di wilayah RT-nya belum ada satu pun warga yang sudah menerima KJS. Padahal, pendaftaran dan penyerahan berkas sudah dilakukan sejak tujuh bulan lalu. Bagi Sukarti, persoalan kesehatan sangatlah penting karena dirinya hanya sebagai buruh cuci pakaian di rumah tetangganya.
"Penghasilan kita kan gak seberapa. Kalau sakit dirawat pake KJS kan bisa bantuin,” kata Karti yang harus menjadi tulang punggung keluarga sejak suaminya di PHK sejak tiga tahun lalu.
Kesulitan memperoleh KJS juga dirasakan Hartini, 40, warga Kelurahan Cipinang Melayu, Jakarta Timur, ini habis meminta rujukan Puskesmas dekat rumahnya yang menerangkan dirinya adalah keluarga tidak mampu.
Hal ini harus dilakukan karena putranya, Eko Permadi, 16, bakal rawat inap di ruang kelas III karena sakit demam berdarah dengue. "Rumah sakit minta rujukan dari puskesmas sekarang. Itu aja yang belum. Kalau yang lain sudah ada,” kata Hartini saat ditemui detikcom di RSUD Budhi Asih, Senin (14/10/2013).
Hartini dan putranya merupakan salah satu dari ribuan warga DKI yang mendapat KJS salah cetak nama. Seharusnya fasilitas sudah bisa digunakan namun tidak bisa karena mesti proses lagi karena kesalahan nama.
Padahal, kelengkapan surat mulai dari formulir, fotokopi KTP, kartu keluarga, hingga akta kelahiran sudah diserahkan ke Puskesmas sejak awal tahun. Tapi, tidak disangka ketika akan dibagikan pada Juli lalu malah banyak salah nama.
Menurut Hartini, saat itu hanya puluhan nama yang benar di KJS. Sisanya, semua salah cetak dan mesti diurus kembali. Kapan jadinya KJS? "Saya tidak tahu," ucap Hartini lemas karena harus bolak-balik ke Puskemas mengurus surat keterangan pengganti KJS.
"Mudah-mudahan pas dibagikan lagi nanti punya saya dan anak beneran ada,” lanjut penjual gado-gado ini yang juga berharap tak ada kesalahan cetak lagi dan urusannya dipermudah rumah sakit.
Ditemui detikcom Kamis pekan lalu, Jokowi mengaku masih banyak yang harus dibenahinya. “Ya kan macet, banjir, ya persoalan lain itu ya. Dipikirkan dan dikerjakan satu-satu bertahap,” tutur Jokowi seraya buru-buru masuk ke mobil dinasnya.
Carut marutnya pelaksanaan realisasi Kartu Jakarta Sehat (KJS) untuk warga ibu kota yang tidak mampu diakui Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emmawati.
Tak dipungkiri oleh Dien, program KJS memang masih punya berbagai persoalan yang terus diupayakan pembenahannya. Sejauh ini, menurut Dien, KJS sudah tersalurkan sebanyak 2,9 juta dari target 4,7 juta jiwa warga DKI Jakarta yang berhak menerima.
Dien menyebutkan beberapa persoalan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta yang palsu atau ganda mempengaruhi sistem pendistribusian KJS yang memang agak lama.
Dinas Kesehatan mendapati persoalan banyaknya KTP palsu atau ganda sering terjadi di beberapa wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara sehingga menghambat pendistribusian KJS.
Dien menjelaskan sebagai program yang dicanangkan untuk proyek nasional, KJS perlu disempurnakan. Penerapan yang sudah dilakukan di Jakarta selama ini memang perlu dievaluasi dari beberapa hal.
Salah satu yang penting adalah kemampuan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di setiap wilayah bisa menyaring warga yang berhak mendapatkan KJS.
"Caranya berkoordinasi dengan rukun tangga dan rukun warga masing-masing daerah," kata Dien kepada detikcom, Jumat pekan lalu. Hal ini, dia menegaskan, untuk menghindari warga bandel yang bisa menyalahgunakan segala cara untuk mendapatkan KJS.
Selain itu juga penambahan 25 persen dari jumlah tagihan serta pemberian fasilitas lain seperti penambahan tempat tidur untuk kelas tiga. Menurut Dien plafon di KJS sudah ditetapkan dan punya batasan tergantung penyakitnya.
Persoalan seringnya ada komplain dari rumah sakit terutama swasta akibat sistem pergantian pembayaran, menurut Dien, tidak benar. Ia menekankan setiap diagnosa penyakit harus sesuai termasuk obat yang menyesuaikan kebutuhan pasien KJS.
“Kalau ada yang paten yang sama mutunya kenapa harus obat generik. Kadang diagnosa dilebih-lebihkan. Ini udah gak benar dan saya hindarkan," tegasnya. "Iya dong, pembayaran ini diverifikasi diganti 100 persen sesuai prosedur tagihan sistem Ina CBGs yang berlaku buat rumah sakit kategori B, C, dan D,” lanjut Dien menjelaskan.
Dia menambahkan upaya lain adalah memaksimalkan peran puskesmas. Selama ini, rumah sakit sering membludak karena masyarakat tidak mengoptimalkan berobat di puskesmas. Padahal, dari diagnosa penyakit masih bisa diobati di puskesmas tanpa minta dirujuk ke rumah sakit.
Kepala Humas Rumah Sakit Budhi Asih, Hamonangan Sirait mengatakan sejauh ini pihaknya masih bisa mengatasi pasien KJS yang setiap harinya minimal 300 pasien untuk berobat.
Hamonangan mengakui pihak Budhi Asih memang sempat kewalahan menghadapi membludaknya pasien KJS saat awal tahun. Apalagi dalam pengobatan gratis, setiap warga berhak mendapatkan dua pelayanan pengobatan di dua poli klinik.
Pengalaman pernah menangani 900 pasien dalam sehari membuat petugas medis lembur sampai malam. Saat itu, jumlah perawat dan dokter umum serta spesialis tidak seimbang dengan jumlah dokter.
“Iya itu pernah. Satu dokter spesialis pernah 200 pasien sehari kayak Poli Mata. Tapi, itu kita layani,” ujar pria yang disapa Monang itu kepada detikcom, Senin (14/10/2013).
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar